Refleksi Diri: Enggan Kembali ke Twitter Instagram dan Sejenisnya
Belakangan ini ada celetukan ajakan untuk menggunakan Twitter atau Instagram dari orang sekitar. Terakhir kali pakai Twitter adalah akhir tahun lalu, sedang untuk Instagram mungkin sekitar awal tahun ini, dan Facebook sudah bertahun-tahun yang lalu.
Hal yang berat dari meninggalkan platform besar tadi bukan karena fitur, melainkan orang-orang yang ada disana. Namun konyolnya, orang-orang disana juga lah alasan pribadi untuk meninggalkan platform tersebut.
Alasan Migrasi
Pada awalnya, migrasi dari Facebook ke Twitter karena pada saat itu Facebook terlalu panas dengan perdebatan yang ada, sekitar tahun 2018-2019. Sambil singgah di Facebook dan Twitter, sesekali singgah juga di Instagram untuk sekedar mendapatkan life update dari beberapa orang yang diikuti. Namun pada 2022-2023 ini sangat terasa bahwa sosial media sudah menjadi tempat yang berbeda, bukan sekedar tempat untuk berekspresi saja, namun juga tempat untuk menghasilkan uang.
Mereka yang Menghasilkan Uang di Sosial Media
Uang yang dihasilkan dari platform sosial media tidak terbatas pada uang yang diberikan langsung oleh pemilik platform. Tetapi juga uang yang dihasilkan melalui sponsor atau melalui task atau tugas yang diberikan. Contohnya, semakin besar atau populer akun kita, semakin besar pula kemungkinan brand akan menghubungi kita untuk minta promosikan produk atau brand mereka. Setiap akun biasanya memiliki segmentasi pasar tersendiri, misalkan akun yang digemari oleh pegiat teknologi, akun yang digemari oleh pembaca buku, dan sebagainya. Jadi pihak brand akan membayar si pemilik akun dengan syarat mereka posting produk atau brand mereka, entah sekali posting atau berkala, entah itu tersirat atau tersurat.
Sedang untuk yang menghasilkan uang dengan task atau tugas, biasanya syarat-syarat sesimpel misal follow akun tertentu, bikin postingan dengan hastag tertentu, atau komentar di postingan atau akun tertentu. Ya, hal-hal tersebut umum kita kenal dengan buzzer.
Segmentasi pengguna di sosial media semakin melebar, bukan sekedar menjadi tempat untuk berekspresi, tetapi menjadi tempat untuk mencari ketenaran dan menghasilkan uang. Karena memiliki sudut pandang yang berbeda antara orang yang ingin berekspresi dengan orang yang lain, akhirnya sering menjadi konflik atau debat online. Debat online yang dilakukan secara tertutup mungkin masih oke, tetapi sering kali debat online dilakukan secara publik atau dilakukan tertutup namun kemudian disebarkan ke publik. Hal ini juga membuat pengguna yang lain menjadi ikutan tersulut emosi.
Hari demi hari itulah yang terjadi sebagai pengguna sosial media.
Lantas apa bedanya jika kita berpindah ke sosial media lain, seperti Fediverse?
Migrasi ke Fediverse
Setelah berpindah dari Twitter ke Fediverse, ada hal-hal yang pribadi sadari berbeda. Di Fediverse kita bisa memiliki sosial media kita sendiri. Mungkin sudah banyak aplikasi sosial media open source yang lain, tetapi apa gunanya jika memiliki sosial media yang penggunanya hanya kita sendiri atau sedikit orang? Lebih baik buat group chat saja kalau bagi kebanyakan orang sekarang.
Di Fediverse tidak hanya kita bisa memiliki sosial media kita sendiri, kita juga bisa berinteraksi dengan sosial media lain. Ibarat Twitter dapat berinteraksi dengan Facebook dan Instagram. Apakah Twitter bisa begitu? Saat ini tidak. Jadinya ketika kita ingin berinteraksi dengan beda platform, kita harus memiliki akun di platform yang lain. Namun di Fediverse kita cukup memiliki 1 akun di 1 platform, kemudian kita bisa berkomunikasi dengan berbagai platform di Fediverse.
Selain itu, di Fediverse kita bisa seenak kita untuk melakukan moderasi pada sosial media kita atau pada akun kita. Misalkan kita ingin supaya pendaftaran tidak terbuka untuk publik, kita ingin memblokir sosial media lain karena mungkin terlalu sering debat online, dan sebagainya. Hal ini membuat kita menjadi lebih fleksibel untuk mengatur sosial media menjadi sesuai yang kita butuhkan sendiri.
Kesimpulan
Karena alasan alasan tadi, rasanya tidak ada alasan untuk kembali ke sosial media yang kita tidak memiliki banyak kontrol atau kebebasan untuk kebaikan kita sendiri. Untuk apa mengakses sosial media yang kemudian membuat kita pusing, marah, ataupun sedih setiap saat kita mengakses?
Semoga artikel ini bisa menjadi jawaban ketika ada orang yang bertanya kepada pribadi, mengapa tidak aktif di Twitter lagi atau mengajak pribadi untuk kembali ke sosial media yang lain.