how they met

sebenarnya, di usia berapa seseorang itu harus sudah menikah?

pertanyaan itu selalu mampir di benak bright. berkali-kali. berulang-ulang. bukan hanya karena setiap arisan keluarga ia selalu dihujani pertanyaan “kapan nikah?” oleh tante-tante dan saudaranya yang lain, dan bukan juga karena weekendnya yang selalu diisi dengan menghadiri undangan pesta pernikahan teman-teman sekantornya, tapi karena menurutnya, umur bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan patokan ideal bagi seseorang untuk menikah.

ada yang baru 22, tapi sudah siap mental, batin dan materi. ada yang sudah 25, tapi belum siap mental. ada yang 27, 28, 29, tapi belum siap materi. everyone has their own principles and everyone has their own struggle in their life, so bright think it's inappropriate to tell someone to get married when they already reach “that” age, but personally they are not ready yet.

and in the other hand, bright think marriage is not only about making a vow with someone that you love, but marriage is... sacred. dan tidak semudah itu menyatukan dua insan yang berbeda menjadi satu. tidak semudah itu menemukan orang yang akan dengan sukarela menyerahkan dirinya. seluruh hidupnya. untuk dihabiskan bersama. untuk saling menerima kurang lebihnya, saling memaklumi baik buruknya. kalau bukan bersama orang yang tepat, marriage only will be a disaster. it will be a useless ceremony to ruin your whole life.

kalau kita rubah pertanyaannya, kira-kira di umur berapa kita sudah harus menemukan orang yang tepat?

dan lagi-lagi pertanyaan itu muncul ketika bright menghadiri pernikahan seniornya di kantor sabtu ini. heck, bahkan bulan ini saja rasanya bright sudah hadir ke tujuh kondangan yang berbeda. dan ritualnya juga sama. datang, salaman, foto, makan, pulang. membosankan.

karena kali ini adalah pernikahan salah satu atasannya di kantor, bright dan teman-teman memutuskan untuk tinggal lebih lama. dari prosesi pemberkatan hingga after party. namun saat acara lempar bunga, bright langsung melipir ke belakang, tidak berniat ikut.

prosesi lempar bunga rasanya adalah momen yang ditunggu-tunggu semua orang. para tamu akan secara berebutan maju ke depan, berharap mendapatkan bunga yang dilempar oleh pasangan pengantin, seakan-akan buket itu menjadi kunci untuk membawa mereka dan pasangan menuju altar di hari selanjutnya.

bright sebenarnya tidak mempercayai mitos itu. namun pada kenyataannya, setiap orang yang ia kenal, benar-benar menikah setelah berhasil memenangkan prosesi lempar bunga oleh pengantin. hal itu membuat bright semakin tidak ingin mengikuti ritual tadi. untuk saat ini, ia belum mau menikah.

di belakang meja catering, ada seorang laki-laki yang bersandar di sebuah pilar sambil mengenggam segelas champagne, bright mengambil tempat di sampingnya, berniat menyaksikan prosesi lempar bunga dari jauh. laki-laki berjas navy itu menunduk ramah, menyapa bright yang berdiri di sebelahnya.

“gak ikut, mas?” tanyanya.

bright tertawa, ia menggeleng. “belum mau nikah,”

“sama,”

bright mangut-mangut, ia melanjutkan percakapan, “tamunya pengantin cowok?”

“iya, saya juniornya di kantor. masnya?”

“tamunya yang cewek. saya juniornya juga,”

di depan pangung, mc mulai berteriak 123 dan pengantin bersiap melempar bunga. suasana berubah riuh dengan orang-orang yang dengan semangat mengikuti prosesi tersebut, bright hanya geleng-geleng kepala melihat teman-temennya berebut bunga, begitu juga laki-laki di sebelahnya, sama terbahak-bahaknya sambil sibuk merekam adegan lempar bunga itu di ponselnya.

bright tertegun sesaat, suddenly he felt the clock hands stop ticking, and just like that, he realizes something.

this may sound cliche but,

for the first time, bright think that love at first sight it's undeniable.

he looks at him like he just realized what love is.

this time, he feels more connected to this stranger than anyone else.

is it.... him?