ON CLOUD NINE – AN EPILOG

One year later.

Win menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin. Ia membetulkan letak rambutnya yang agak berantakan, kemudian membenahi pula baju berkerah yang ia gunakan untuk manggung pagi ini. Asik, udah rapi.

“Udeh, cakep.” Celetuk Harit sambil menepuk bahu Win. “Hadeeeuh. Mau ketemu siapa sih, cakep amat?” tambah Toptap. Win hanya cengengesan, “Kan mau ketemu jamet Inbox, Kak.”

“Jamet inbox tuh mau lu kucel, bau iler, belum mandi juga tetep tergila-gila sama lo, Win.” Kata Harit. Win tertawa, “Ke backstage yuk! Keburu Paduka Gulf marah-marah lagi.” Win kemudian mengambil microphone miliknya sendiri (sekarang udah bisa beli mic mahal yang bikin suaranya tambah yahud, cuy!) lalu mengajak kedua seniornya itu beranjak ke backstage sebelum diteriakin Gulf si manager galak (iya, Gulf masih tetep jahat sampe sekarang).

Setahun berlalu sejak Win menduduki posisi sebagai vokalis di Lights Down Low, dan sudah setahun pula karirnya di dunia entertainment mulai berjalan mulus bahkan cenderung menanjak. Sejak kejadian debutnya yang dipenuhi hujatan dari netizen dan membuatnya sedih dan sempat patah semangat, dari sana Win belajar bahwa dalam setiap perjalanan pasti ada proses. Tidak semuanya serta-merta sempurna dalam kedipan mata, semuanya butuh waktu.

Dalam setahun terakhir, Win sudah mengabdikan dirinya dengan sungguh-sungguh di Lights Down Low. Ia mengambil banyak kelas vokal tambahan, belajar menulis lagu, dan jika senggang, sesekali ia belajar piano bersama Toptap dan gitar dengan Harit. Di samping jadwal manggung Lights Down Low yang padat, Win juga menerima beberapa tawaran iklan dan juga menerima kesempatan untuk menjadi cameo di beberapa film. Ya meskipun bukan peran yang penting-penting sih, kadang cuma jadi penyanyi cafe yang manggung di scene romantis pemeran utama yang lagi lamaran, jadi stranger ganteng yang ditabrak sama pemeran utama cewek terus pemeran ceweknya akhirnya ditabrak mobil dan malah jatuh cinta sama pengemudinya, dan pernah juga dia dapet peran jadi anak anggota dewan yang ketahuan korupsi terus kabur ke luar negeri.

Ngomong-ngomong, anggota dewan, jadi inget seseorang. Kalo di pikiran Win sih, ya siapa lagi kalau bukan Pak Bri Caleg. Jadi….. tentang Bright, ya. Hubungan Win dan Bright memang masih berjalan seperti biasanya, sama seperti satu tahun lalu. Tetap dekat. Masih saling berbagi kabar tentang kegiatan sehari-hari. Sesekali makan siang atau makan malam bareng, sesekali juga nonton bioskop berdua. Sesekali juga saling main ke indekos masing-masing (meskipun akhirnya digangguin Gulf, Harit, Toptap, Janhae dan Ciize), yang jelas hubungan mereka berdua masih baik-baik saja.

Tapi memang belum beranjak ke tahap yang jauh lebih serius.

Win sadar kesibukan Bright di dunia politik sekarang memang mengurangi waktu mereka berdua untuk saling mengenal. Namun, di tengah-tengah itu semua, Win bersyukur Bright masih mau meluangkan waktu untuk bertemu, meskipun hanya sekedar 10 menit (yang di awal pertemuan mereka ia bilang itu bukan date), sekarang Bright sudah mau menyebutnya sebagai ‘date’ singkat. Dan by the way, Bright sudah bukan caleg lagi sekarang. Ia juga bukan anggota DPR RI. Bright kalah dalam putaran pileg tahun lalu. Kini, ia masih ada di Partai Banteng Merah, menjadi politisi muda yang gencar menggemborkan pentingnya generasi Z untuk mengatahui dan belajar politik.

Bright menyebut kekalahannya sebagai sebuah pembelajaran. Dia sendiri sadar bahwa dirinya masih belum ada pengalaman yang lebih di dunia politik, ia masih baru dan masih harus banyak berproses. Kekalahannya tidak serta-merta membuat Bright jatuh dan menyerah, justru kini ia sedang berjuang mencari banyak pengalaman dan juga menambah ilmu untuk kembali maju dalam pileg 4 tahun mendatang.

Win tidak habis kagum dengan pola berpikir dan sikap Bright yang pantang menyerah. Bright sudah banyak habis waktu, tenaga dan juga harta semasa kampanye tahun kemarin, namun saat ia kalah, tak sekalipun Win melihat Bright bersedih. Ia masih ingat ketika akhirnya proses perhitungan suara ditutup dan Bright tidak masuk dalam jajaran posisi teratas, laki-laki itu sama sekali tidak menunduk, melalui siaran langsung Partai Banteng Merah di salah satu stasiun televisi, Bright justru tersenyum lebar, bertepuk tangan paling keras untuk kolega-koleganya yang berhasil menduduki kursi dewan, dan dengan besar hati memberi selamat pada mereka semua. Win yang menonton siaran langsung itu bersama Gulf, Toptap dan Harit, melihat ketiga seniornya di band tadi menangis jelek. Bukan menangis gara-gara Bright kalah, tapi menangis melihat Bright yang tetap tegar meskipun sudah rugi bermiliar-miliar rupiah.

Win! Kalo Bright bangkrut please jangan tinggalin dia, ya!

Gulf sempat menawarkan Bright untuk kembali ke manajemen, bukan sebagai vokalis Lights Down Low lagi, tentunya. Tapi untuk menjadi penyanyi solo. Namun Bright menolak dengan halus. Ia berkata, bahwa ia masih mau berjuang untuk mengejar mimpinya di dunia politik, sampai ia bisa duduk di kursi dewan, menyampaikan aspirasi masyarakat dan menepis anggapan bahwa para anggota dewan itu hanya bisa duduk-duduk cantik sambil makan uang rakyat. Lagi-lagi Win nggak habis pikir, bisa ya ada orang yang segigih itu buat mimpinya sendiri. Kalo gini, gimana saya gak jatuh cinta pada Anda, Kakanda Bright?

“Win!”

Tepat sebelum Toptap membuka penampilan Lights Down Low pagi ini dengan denting pianonya, teriakan seseorang yang familiar memecah fokus Win. Ia mencari-cari asal suara tersebut, dan dari ratusan jamet Inbox di depannya, Win menemukan seseorang dengan setelan jas formal mengangkat poster wajahnya, tersenyum sambil melambaikan kedua tangannya, “Semangat Win!”

“BRI?!!! LU NGAPAIN GABUNG SAMA JAMET-JAMET INBOX?!”


Selesai membawakan dua buah lagu, Win buru-buru turun dari panggung, di backstage, ia melihat Bright sudah duduk di dalam tenda, didampingi Kapook di sampingnya, terlihat tengah ngobrol dengan King Nassar.

“… iya, kadang-kadang bisa kunjungan kerja ke luar negeri, gitu deh.”

“Aduh… Keren banget lo, anak muda!” Nassar menepuk-nepuk bahu Bright dengan bangga, kemudian ia menoleh saat Win mendekat.

“Yang ini, nih, anaknya?” Bright mengangguk sambil mengedipkan sebelah mata, Win bergidik ngeri. Ape nih?!

Nassar kemudian bertepuk tangan. “Halo, Win ganteng! Duet yuk, kapan-kapan! Nyanyi lagu gue tapi, yang ‘seperti mati lampuuuu, ya sayang~~’ bisa lah ya? Bisa laaaah, elu kan multitasking!”

“Multitalent, King.” Koreksi Kapook. “Oh iya, multitalent.” Nassar merangkul Win, “Eh Neng Kapook, fotoin saya sama Win, dong! Terus masukin Lambe Turah! Bilang kayak ‘Eh ape nih, ape nih? Desas-desus project baru, nih?!

Kapook tertawa, “Saya udah bukan admin Lambe Turah lagi, King!”

“Eleeeeh. Tapi situ masih kenal sama adminnya yang baru kan? Atau masukin ubur.ubur.com? Bebas gue mah, yang penting exposure, exposure! Mayan lah, gue mau pansos dikit ama Win, banyak dia sekarang followersnya!” seru Nassar.

“Yaudah, sini saya fotoin.” Kapook akhirnya berdiri dan mengambil tempat untuk memotret Nassar dan Win.

“Gimana nih, Win, gayanya?”

Win kebingungan ditodong King Nassar kayak gitu, ia menatap Bright meminta pertolongan, namun Bright hanya tertawa sendiri sambil merekam tingkah Win yang canggung di samping King Nassar.

“Woi, gimana Win?”

“Aduh, saya juga bingung, King! Gaya seperti mati lampu aja, gimana?”

“Lah, kagak punya gaya gue! Gue bukan anggota BTS, gak bisa bikin koreo!”

“Gini aja, gini!” Bright tiba-tiba menyela, ia membentuk simbol hati dengan ibu jari dan telunjuknya, “Gaya sarangheyo!”

“Oh ya, boleh, tuh boleh!” Nassar mengikuti bentuk jari yang dicontohkan Bright, kemudian berpose ke arah kamera. “Ayo, Win! Satu, dua, tiga, Saranghae!”


“Mas, saya tunggu di luar, ya.” Kapook berbisik pada Bright, kemudian ia tersenyum kecil pada Win, dan beranjak pergi, meninggalkan Bright dan Win berdua di dalam tenda artis. Win memasang wajah memelas pada Kapook, seakan mengatakan “jangan ditinggal berdua, mbak!” tapi Kapook cuek saja dan tetap melangkah keluar. Bukan apa, sih. Cuma Win udah lama enggak ketemu Bright gara-gara politisi itu habis kunjungan kerja ke Makassar sekitar satu minggu lebih. Sekarang, ngelihat Bright lagi setelah lama gak ketemu bikin Win mules kayak baru pertama kali kasmaran.

“Kok diem?” tanya Bright pada Win. “Emm….” Win gelagapan, ia mencari-cari benda di sekitarnya yang bisa ia gunakan sebagai bahan pembicaraan. “Udah makan?” Win mengulurkan sekotak food support dari fansnya pada Bright.

“Udah gue icipin semua tadi, waktu lo masih main game di panggung.” Jawab Bright. Win garuk-garuk kepala salah tingkah. “Kangen juga dapet food support, semenjak resign dari band, sekarang gak pernah ada yang ngirimin gue food support enak-enak kayak gini, dari partai dapetnya nasi kotak mulu.” Kata Bright, ia akhirnya mencomot juga kotak makan di tangan Win.

“Kan ada Mbak Kapook.” Ucap Win. “Minta dimasakin aja.”

“Orang dia masak air aja menguap semua satu panci,” gerutu Bright. “Kapan-kapan masakin gue, dong.” Win melongo, “Aku?” Bright menggangguk.

“Mending lo tanya dulu deh, gue bisa masak apa gak,” ucap Win. Bright tertawa, “Apapun yang lo bikin, gue pasti makan, kok. Gak peduli rasanya, yang penting effortnya. Kalo buat gue, lo pasti bakalan masak pake cinta kan?”

Win merasakan wajahnya menghangat, ia buru-buru buang muka, memalingkan pandangannya dari Bright. “Ih, kok salting?” Bright menarik lengan Win, “Win? Lihat gue, dong!”

“Gak mauuuuu.” Win tetap memalingkan wajahnya, “Malu.” Bright tertawa. “Duh, kita udah kenal setahun kok lo masih malu-malu aja.” Win tetap geleng-geleng kepala, “Malu, Bri!”

Hening sesaat. Win melebarkan telinga, ia tidak mendengar suara apapun dari Bright. Jangan-jangan gue ditinggal lagi?! Tapi ia takut kalo noleh, wajahnya masih merah. Akhirnya, Win memanggil nama Bright, “Bri?”

Tidak ada jawaban.

“Bri? Lo pergi, ya?”

Tetap tidak ada jawaban.

“Gue mau noleh, awas ya kalo lo ngagetin gue.”

Win akhirnya memutuskan untuk menoleh, dan benar saja, ia langsung terjengkang ke belakang, melihat Bright masih ada dibelakangnya, tapi kali ini ia berlutut dengan memasang wajah tengil, sambil membawa sekotak cincin.

“LO NGAPAIN?????!!!!!!” Win berteriak histeris.

“Gue mau nembak lo. Ternyata lo udah sadar diri buat lihat kebelakang, yaudah deh gue gausah tipu-tipu buat nyuruh lo balik badan,” jawab Bright santai.

Win masih melotot melihat Bright yang berlutut, tidak tahu harus berucap apa, jadi ia hanya mematung di depan Bright sambil menggigit bibir.

“Win, sama gue terus, ya? Mungkin gue emang belum jadi apa-apa, sih. Ibaratnya yaaa.. Di karir gue yang sekarang gue masih merintis. Belum sukses-sukses amat, nggak kaya-kaya amat. Tapi dengan lo… Gue ngerasa cukup, Win. Gue ngerasa hidup gue rasanya udah lengkap.”

Bright kemudian berdiri, ia mengambil cincin dalam kotak, dan melingkarkan di jari manis Win. Kemudian ia memandang telapak tangan Win lekat-lekat, mengamati cincin darinya yang sudah melekat secara sempurna di jari Win. Cup. Tiba-tiba Bright mencium punggung tangan Win tanpa aba-aba, membuat jantung Win rasanya langsung melorot jatuh ke bawah dan tidak kembali lagi.

“Gue nggak terima penolakan. Gue udah kalah pileg, gagal dapet kursi dewan, masa lo tega bikin gue kalah juga buat dapet kursi di hati lo, Win?”

Stress! Win rasanya ingin membekap mulut Bright sekarang juga. Please diem atau gue pingsan sekarang!

“Win, kok diem aja?”

“Katanya nggak terima penolakan?” balas Win, ia menatap balik mata Bright yang sedari tadi menghujam pandangannya.

“Ya tapi jawab, kek. Jangan diem. Gue kan jadi bingung lo seneng apa enggak gue tembak,” Si goblok masih nanya!

“Gak ada orang yang bisa menangin kursi di hati gue selain lo, Pak Bright. Dari dulu, dari awal dan selamanya, ini,” Win menunjuk jantungnya sendiri, “Cuma buat lo seorang,” Win ganti menunjuk jantung Bright, meletakkan telapak tangannya disana dan merasakan degup jantung Bright yang berdetak sangat kencang. “Wei, wei, santai dong!”

Bright menghela napas lega, ia menangkupkan tangannya di atas telapak tangan Win yang masih bersandar di dadanya, “Gue yang nembak tapi lo yang bikin gue deg-degan, Win!”

Win tertawa. “Eh Pak, lo gak mau ngajak gue nikah sekarang kan?” Bright mengernyitkan kening, “Kenapa gitu?” Win menunjuk baju Bright. “Itu lo udah pake jas. Kayak udah siap ke penghulu.”

“Ooh.” Bright kemudian memandang setelan outfitnya sendiri. “Iya juga, ya? Ya kalo lo mau sekarang, ayok, sih Win? Mas Mew aja yang jadi penghulunya.”

“JANGAN GILA!” Win berteriak. Kapan sih Bright bisa berhenti membuat pergerakan yang tiba-tiba?! “Aduh, jangan dulu deh, Mas. Belum siap, aku tuh.”

“Mas?” Bright tertawa, “Lu bener-bener minta dikawinin deh kalo manggil gue Mas.”

“Kalo Mbak Kapook yang manggil Mas, nggak pengen ngawinin?” tanya Win.

“Gak lah,” ucap Bright. “Kan gue cintanya sama lo doang,”

Win memukul lengan Bright pelan, “Gombal!”

“Win.”

“Hm?”

“Lo happy gak, sama gue?”

Win kemudian mengalungkan lengannya di leher Bright, ia menatap mata Bright lekat-lekat, “I've been on cloud nine ever since I met you, Bri.”

Then Bright kissed Win's lips quickly, biting his lips gently and passionately, followed by the beating of their hearts, the rhythm of love that had long been longed for.


On cloud nine; an idiom; meaning to; very happy, extremely happy because something very good has happened to you, if you say that someone is on cloud nine, you are emphasizing that they are very happy.