right where you left me

2 years after bright departure to london.

“demi apa sih, kak! seneng banget loh aku dapet mentor kak pond!”

phuwin berjingkrak-jingkrak menyambut pond masuk ke halaman rumahnya, sementara yang lebih tua tersenyum kecil. tidak menyangka bahwa teman kecilnya ini sudah akan menginjak bangku kuliah. phuwin, yang dulu selalu mengikutinya, bright dan win bersepeda dan main futsal sampai malam, sekarang tingginya sudah hampir melebihi dirinya.

semenjak bright berpacaran dengan win di awal masa kuliah, bright sering mengajak pond bermain ke rumah win. dari situ pond tau bahwa ada seorang anak kecil bermata sipit yang selalu mengikuti win kemanapun win pergi. namanya phuwin, ia tetangga sebelah rumah win, konon katanya karena saat ia lahir, win adalah orang pertama yang menjenguknya selain orang tuanya, maka dari itu hingga kini phuwin selalu menempel dengan win.

dan semenjak bright pergi ke london dan putus dengan win, pond sudah jarang berkomunikasi dengan win, apalagi phuwin. pond sudah tidak pernah melihat postingan win di media sosial, ia juga tidak tahu dimana win bekerja, dan tak pernah berpapasan dengan win di seantero mall ataupun tempat umum lainnya di jakarta. sama seperti bright, presensi win seperti hilang di peredaran pond.

sebelum menginjakkan kaki di ruang tamu phuwin, pond mendengar sebuah isakan. bukan isakan yang heboh sih, lebih tepatnya suara orang sedang tersedu pelan diiringi alunan lagu yang sangat mellow. pond kemudian mengucap permisi, dan ketika ia masuk, ia melongo melihat win sedang menelungkupkan kepalanya di satu tangan sambil bersandar di sofa. saat melihat pond, ia buru-buru mengelap air matanya, kemudian berlari pergi. phuwin yang baru saja muncul dari dapur menatap tingkah tetangganya itu sambil geleng-geleng kepala.

“maaf ya, win! gue lupa bilang kalo hari ini ada kak pond! jangan tambah nangis lu!” – yang kemudian dibalas suara bantingan pintu.

“dia kenapa?” tanya pond.

phuwin menunjuk kalender besar di dinding rumahnya. “tanggal 28 nih sekarang, jadwalnya dia berduka,”

“aaah,” pond mengangguk paham.

“lo... ada kabar dari bright?” tanya phuwin.

pond menggeleng. “gue bener-bener terakhir kontak 2018. sekitar 6 bulan setelah dia berangkat. bright terakhir cerita, dia masih kepikiran win. habis itu dia tiba-tiba ilang aja,”

“temen lo tuh....” phuwin menuang segelas air mineral untuk pond. “bodoh, ya?”

pond tertawa. bahkan seorang anak yang baru mau lulus sma saja sudah bisa menilai bright bodoh. “agak,”

“bukan agak lagi, kak.” phuwin melirik ke kamar atas, isakan win masih terdengar samar. “lo udah tau belum kalo win sebenernya dateng ke bandara itu, dia mau jawab iya?”

“hah?”

“win mau jawab iya. dia udah bawa koper, visa dan lain-lain. semuanya udah siap di mobil. dia harusnya hari itu tinggal berangkat aja, sayangnya temen lo terlalu cemen,”

“win mau nerima lamaran bright?”

“ya iyalah. dia tuh tiba-tiba aja maunya. tiba-tiba ngajak tunangan, tiba-tiba ngajak pindah ke london. emang ada orang yang bisa secepat itu memutuskan sesuatu kalo berhubungan dengan masa depan? kenapa sih, dia gak sabaran banget?”

pond tertegun. selama ini berarti bright salah sangka? 6 bulan pertama di londonnya yang merana, bright habiskan untuk meratapi win yang tidak mau untuk ikut dengannya ke london. turns out it was all just in his head.

pond mengeluarkan ponselnya, ingin mengirimi bright pesan namun tangannya ditahan phuwin. “jangan,”

“kalo lo bilang ke bright, gue yakin dia pasti langsung terbang ke jakarta sekarang juga. gue kasian sama win, kayaknya dia belum siap. biarin mereka masing-masing dulu sampe dua-duanya sadar,”


today, 2023.

bayang-bayang dirinya menangisi bright dua tahun yang lalu muncul kembali di kepala win. entah setan apa yang merasukinya— atau mungkin malah malaikat, ia mengiyakan ajakan bright untuk bertemu malam ini.

masih menggunakan setelan kantor, win mengunjungi cafe tempatnya dan bright berpacaran dulu. tempat ia pertama kali melihat bright lagi setelah lima tahun, saat phuwin dengan santainya duduk di sebelah mantan calon tunangannya itu tempo hari. bright yang memilih cafe ini, win setuju saja. tempat ini tak lebih banyak menyimpan luka dibanding bandara tempat bright menarik ucapan dan meninggalkannya ke london lima tahun lalu.

lima belas menit kemudian, bright datang. ia duduk dengan ragu di depan win, matanya sayu. win menatapnya canggung, “udah pesen?”

bright hanya mengangguk. “nanti dianter,”

“lo... apa kabar?” bright melanjutkan ucapannya dengan suara yang lirih.

“baik...” win menjawab pelan, “lo..?”

“baik juga,” jeda sesaat, “win, gue.....”

“maaf,” bright menunduk. “maaf gue terlambat,”

“terlambat buat apa?”

“semuanya,” jawab bright. “gue terlambat.... terlambat sadar kalo apa yang gue lakukan lima tahun yang lalu itu adalah hal tertolol yang pernah gue lakuin,”

win menghela napas, “ya... baguslah,”

“bagus?”

“ya bagus lo udah sadar. gue lima tahun ini nunggu lo sadar tapi lo gak sadar-sadar. mati suri ya lo lima tahun ini?”

“win....”

win terkekeh. ia menepuk lengan bright pelan. “gue minta maaf waktu itu juga terlalu lama. gue nggak memposisikan diri di tempat lo yang harus segera berangkat. gue juga kalut sama pikiran gue sendiri kok, bright. kita sama-sama salah. kita sama-sama udah berduka masing-masing, kan? gue rasa semuanya udah impas.”

bright akhirnya berani mengangkat kepala begitu mendengar jawaban win yang lugas. setelah beberapa saat ia melempar pandang pada win, baru kali ini ia bisa melihat sosok win, orang yang pernah ia cintai dan mungkin masih sampai sekarang, terlihat seperti sosok yang jauh berbeda namun dengan rasa yang masih sama. entah bagaimana, tapi bright bisa merasakannya. win terlihat jauh lebih bijak, percaya diri dan dewasa, namun bright tahu di dalam hati win, gejolak bimbang dan gelisah pasti masih ia rasakan.

“mungkin waktu itu lo bener, win. it's too soon,”

win mengangguk setuju. “also we are too young and naive to understand each other,”

“i don't know it will be this easy,” ucap bright.

“apanya?”

“buat ngobrol lagi sama lo setelah lima tahun,”

“setelah KITA GAGAL TUNANGAN dan lo kabur gitu kali ya, maksudnya?”

bright tertawa. ia mengulurkan tangan, “bro?”

“bro.”