setelah 20 chapter

Setelah membaca pesan dari Mix, Arm langsung bangkit dari duduknya dan bergegas masuk lagi ke venue. Ia harus menemukan Jumpol dan Tawan sebelum Mild menemui mereka lebih dulu. Dengan kelabakan, Arm mencari-cari sosok Jumpol dan Tawan di sekeliling venue. Sesekali ia melirik sekitar, tau-tau saja ia menemukan Gun, Jane atau Bright yang bisa ia suruh mencari Jumpol dan Tawan juga. Di tengah gelapnya venue yang hanya mengandalkan lampu sorot dari panggung, Arm terus membelah lautan manusia yang memenuhi venue, memandang satu per satu paras yang bisa ia lihat, siapa tahu ada wajah-wajah yang ia kenal. Namun nihil, dimana-mana ia tidak menemukan anak-anak buntutnya. Semakin Arm merangsek ke tengah venue, sinyal HT yang ia genggam semakin melemah, bercampur dengan sorak-sorai penonton yang semakin ribut.

Setelah pencarian yang cukup menguras keringat, Arm akhirnya mendapati sosok Jumpol dan Tawan sedang berdiri berdampingan, bersandar di sebuah pilar di belakang venue dekat tribun sambil berbagi sebungkus snack sponsor. Melihat raut wajah mereka berdua yang masih santai-santai saja dan cenderung masih bersahabat, Arm beranggapan Tawan dan Jumpol belum bertemu Mild.

“Heh!” Arm merangsek ke tengah-tengah Jumpol dan Tawan. “Tak goleki kon!” Meskipun capek karena sudah mencari mereka berdua ke seluruh penjuru venue, Arm bersyukur ia bisa datang tepat waktu dan berada di tengah-tengah mereka berdua kini, setidaknya jika nanti Mild benar-benar datang, ia bisa menengahi suasana.

“Lapo?”

“Gak popo.” Jawab Arm datar. “Aku ket mang ndek kene, enak gak rame ambek desek-desekan.” Ucap Jumpol. Arm hanya mangut-mangut, sambil mengunyah snack, ia terus memperhatikan keadaan sekitar, takut tiba-tiba Mild kecil luput dari pandangannya dan muncul di hadapan mereka.

“Lah jancok, band fakultas endi iki, cok? Lapo areke nyanyi Kepompong! Kon seng request yo, Arm?” tanya Jumpol.

“Hah?” Arm celingukan, bersamaan dengan intro musik dari band di panggung terdengar, dilanjut dengan vokalis yang mulai menyanyikan lagu “Kepompong.”

“Guduk aku, cok!”

“Yoweslah gapopo, apik lagune lagian.” Ucap Jumpol, kemudian ia dan Tawan mengikuti sang vokalis menyanyikan lagu Kepompong dengan heboh sambil berangkulan. Jancok, jancok. Sok-sokan kepompong, gak iling ae mari tukaran! Deloken ae yo kon lek marigini ketemu Mild, opo sek iyo kon kepompong-kepompongan.

Belum sempat Arm mingkem dari hasil ucapan batinnya barusan, tiba-tiba saja pundaknya ditepuk seseorang, tepat setelah band tadi menyelasaikan lirik terakhir dan pancaran kembang api muncul dari sisi panggung, Arm merasa jantungnya ingin meledak sekarang juga.

“Hai!”

Sosok Mild muncul saat Arm menoleh, ia melambaikan tangan tanpa perasaan bersalah. “Surprise!”

Arm menepuk jidat. Kan, benar. Ia terlalu larut dalam suasana konser sehingga tidak memperhatikan sekeliling. Melihat Mild yang tiba-tiba muncul, membuat raut muka Jumpol dan Tawan berubah, dari bahagia menjadi datar, cenderung terkejut, kaget, tidak percaya, entahlah. Arm tidak bisa mengartikannya. Tidak ada satupun yang berani bicara setelah itu, sampai akhirnya Arm memutuskan mengambil alih suasana, “Hei, Mild! Kok kamu di Surabaya?”

“Loh, kan aku udah bilang ke kamu Arm!”

Hash, jancok!

Jumpol dan Tawan bertatap-tatapan terlebih dahulu, bingung menyikapi situasi, kemudian keduanya memandang Arm dengan wajah penuh tanya. “Arm.”

“Anu..” Arm garuk-garuk kepala. Bingung mau menjawab apa.

NGINGGGGNGGGGGG.

Tiba-tiba terdengar suara microphone yang nyaring memecah suasana awkward diantara mereka berempat, dan bersamaan dengan itu, lighting di panggung mendadak mati. Jumpol dan Tawan refleks berjengit kaget, melupakan Mild di depannya dan beteriak-teriak di HT.

“New! Kok lampue mati? Aje, Jeje, ojok ngawur kon ayo urusi iku kabel e heh!”

“Woi! Maringene guest star e munggah, monitor backstage! Iki mati lampu opo yoopo?”

Keadaan HT menjadi ribut, semua orang sibuk meneriaki satu sama lain, Arm juga ikut kebingungan. Ia sempat berpikir mati lampu, namun layar besar di samping panggung masih menyala dan menampilkan iklan sponsor dengan benar. Mendengar Jumpol dan Tawan yang masih berteriak-teriak di HT, Arm hanya memandang Mild yang kini menatap heran mereka bertiga dengan pandangan bingung. Belum sempat Arm ikut berbicara di HT untuk menanyakan kondisi control room, tiba-tiba lampu sorot dari atas tribun menyala, menyinari panggung dan memperlihatkan bayangan seorang laki-laki sedang berdiri atas panggung sambil memegang gitar.

Arm mendelik melihat sosok yang sedang ada di atas panggung, tanpa pikir panjang ia melanggar peraturannya sendiri dan langsung berteriak di HT, “BRIGHT JANCOK! KON LAPO NDEK PANGGUNG?!!!!!!”

Bright yang sedang berdiri di atas panggung nampak sedikit berjengit, sepertinya suara Arm masuk ke dalam HT yang belum ia matikan. Sambil meringis, ia membuang HT yang berada di saku belakang celananya ke sembarang tempat di atas panggung, lalu menatap Arm dengan tatapan tengil.

“Halo semua, met malem. Bright disini.”

Suara nyaring ciwi-ciwi fans sejati Bright memenuhi aula. Arm menjambak kepalanya sendiri, fans Bright garis keras itu mana tau kalau yang sedang Bright lakukan sekarang sesungguhnya nggak ada di script malem ini!

“MONITOR HE BRIGHT LAPO ASTAGA!”

Setelah Arm berteriak, tiba-tiba keadaan saluran HT hening. Terdengar suara gemerisik beberapa saat, sampai kemudian suara yang tidak Arm sangka berbicara disana. “Halo, Prim disini. Semuanya bakalan aman kok ges, Ko Bright janji gak bakal ngerubuhno panggung. Mari kita saksikan pertunjukan lenong.”

Kemudian HT dimatikan. Terlepas dari wajah Jumpol dan Tawan yang masih panik, Arm melihat Bright yang sedang membenahi gitarnya diatas panggung, meskipun mungkin malam ini mungkin Bright memang akan melakukan sesuatu yang malu-maluin untuk dirinya sendiri, Arm yakin Bright nggak akan sampai hati untuk membuat pensi yang sudah ia bangun dengan taruhan nyawa (karena ngerjainnya bareng sama Tawan dan Jumpol) ini hancur dalam hitungan detik.

“Kalem, kalem.” Arm menenangkan Jumpol dan Tawan. “Satu orang tolong stand by deket panggung, aku tetep wedi adekku mencolot.”

“Ehem, ehem.” Bright menepuk microphone tiga kali. “Oke semuanya. Jadi, hari ini saya mau nyanyi. Fyi aja, saya ini sebenernya jebolan Indonesian Idol, tapi enggak dikasih golden ticket sama Mas Anang gara-gara pas itu saya nyanyi lagunya Krisdayanti. Yaudah daripada bakat terpendam saya ini sia-sia, saya nyanyi disini aja ya semua. Mas Anang kalo Mas lihat ini dan berubah pikiran, tolong datangi saya di Toko Emas Mulia ya, nanti saya bolehin kasbon emas deh,” Suara gelak tawa memenuhi aula. Jumpol geleng-geleng kepala. Bener Prim, Bright ini emang menampilkan pertunjukan lenong, bukan mau nyanyi.

“Oh iya. Sebenernya saya nggak mau nyanyi buat semua, sih. Saya cuma mau nyanyi buat satu orang.”

Lampu yang menyinari panggung sebelah kiri menyala dan berpindah haluan, menyorot Win yang berada di pinggir tribun, di layar LED, sosoknya terlihat berdiri sendirian sambil mengigit risol. Win yang kaget atas spotlight tiba-tiba tersebut, langsung keselek risolnya sendiri, membuat seluruh penonton tertawa. Dari atas panggung, Bright berkata. “Pelan-pelan makannya Win, aku nggak keburu ngajak kamu kawin lari, kok.”

“Oke semuanya. Siapkan telinga kalian baik-baik, ya. Semoga kalian semua bisa denger lagu yang saya nyanyiin malem ini, bener-bener ungkapan hati saya yang paling tulus dan paling jujur, buat seseorang yang sekarang wajahnya sedang tampil segede baliho partai politik di samping saya.”

Arm melongo. Disampingnya, Jumpol kayak kena serangan stroke mendadak. Ia mematung, tidak berkedip sama sekali melihat tingkah adiknya di atas panggung. Entah karena heran, bangga atau justru marah, Jumpol bahkan benar-benar sampai mengabaikan kenyataan bahwa di hadapannya sekarang sudah ada Mild, cinta matinya yang membuat ia perang dunia bertahun-tahun dengan Tawan. Tapi Jumpol sama sekali acuh, fokusnya berpusat pada Bright yang kini mulai memetik gitar dan bernyanyi.

Berjuta rasa rasa yang 'tak mampu diungkapkan kata-kata Dengan beribu cara-cara kau selalu membuat ku bahagia

Kau adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan Yang benar-benar kuinginkan hanyalah Kau untuk selalu di sini ada untukku

Maukah kau 'tuk menjadi pilihanku? Menjadi yang terakhir dalam hidupku Maukah kau 'tuk menjadi yang pertama? Yang selalu ada di saat pagi ku membuka mata

Izinkan aku memilikimu, mengasihimu, menjagamu, menyayangimu Memberi cinta Memberi semua yang engkau inginkan Selama aku mampu aku akan berusaha Mewujudkan semua impian dan harapan 'Tuk menjadi kenyataan

Win Metawin, Jadilah yang terakhir 'Tuk jadi yang pertama 'Tuk jadi selamanya...

Wajah Win yang tampil di LED paling besar di samping panggung pun sama seperti Jumpol, seperti terkena serangan stroke mendadak. Bahkan Win terlihat belum sempat menelan risol yang ia kunyah, terpana melihat penampilan mengejutkan dari Bright barusan.

Setelah lirik terakhir, Bright tersenyum genit, matanya menatap Win yang masih diam tak berkutik. “Tuh, sebentar aja, kan. Saya sebenernya nggak mau curi spotlight pensi ini lama-lama, karena enggak dibayar juga sama ketuanya. Tapi karena ini kesempatan sekali seumur hidup, dan saya juga udah terlanjur di depan, yaudah sekalian aja, ya.” Bright meletakkan gitar dan melepas microphone dari penyangganya. Lampu sorot kini secara bergantian menyinari wajah Bright dan Win, kemudian Bright berteriak di tengah panggung.

“Win Metawin, di depan ribuan bonek sak Suroboyo, aku bersaksi.”

“Aku mau jadi pacarmu, Win!”