WET CHIPS

mafia!win kang seblak!bright, rom-com, cw; g/u/n-sh00t, bl00d. for the prompter and readers, i hope you enjoy the story!


Dor!

Suara tembakan menggema di udara, diikuti dengan derap langkah kaki manusia yang beradu memecah heningnya malam. Seorang laki-laki dengan baju serba hitam berlari dengan kecepatan penuh, tanpa keraguan, melompati dinding pembatas dan meninggalkan sang pengejar jauh di belakang. Sekali lagi suara tembakan terdengar, kali ini lebih dari banyak dari sebelumnya, pemburunya memberondong dinding yang ia lompati dengan hujanan peluru, namun ia tidak peduli, tetap berlari, menjauhi tempat dimana ia mungkin akan tewas dihabisi.


“Bangsat, hampir aja ketauan lagi!” Win mengumpat, ia menebaskan debu dan tanah yang menodai celana hitamnya, sambil berjalan cepat, ia berkali-kali menoleh ke belakang, memastikan kawanan yang mengejarnya tidak mengikutinya lagi. Win kemudian menyalakan ear monitor dan melaporkan situasinya pada komplotannya, “Hear me out. Agent black is here. Gue ketauan, jadi gue kabur dan sekarang masuk ke perumahan.”

Signal received. Return to base ASAP, Win.

“Yep. Gue liat keadaan dulu.”

Setelah mendapat persetujuan dari markas, Win mematikan ear monitornya dan mengikuti jalan setapak yang ia ambil setelah melompati dinding pembatas tadi. Jalan itu menuntunnya untuk masuk ke perumahan. Dari kejauhan, diantara jejeran rumah dengan lampu-lampu yang menyala redup, mata Win menangkap sebuah tempat dengan lampu yang masih terlihat terang benderang. Penasaran, ia kemudian mendekati bangunan tersebut, dan menemukan sebuah gerobak makanan di depan ruko bertuliskan “Seblak Endul Abang Bright.

Jam tangan digital yang Win kenakan menunjukkan pukul 1.26 AM. Sudah dini hari. Kenapa warung seblak ini masih buka jam segini? Emang ada orang yang mau makan seblak pagi-pagi buta?

Aroma seblak mampir di indra penciuman Win ketika ia melangkahkan kaki masuk ke dalam ruko. Nampak seorang laki-laki dengan topi terbalik dan kaus putih sedang tidur dalam posisi duduk dengan kepala bersandar pada kedua lengannya sendiri di atas meja. Ini yang jualan, kali, ya. Soalnya dia bau seblak dan nggak ada orang lagi disini.

Merasa perutnya tiba-tiba keroncongan, Win akhirnya memutuskan untuk membeli seblak. Ia menggoyang-goyangkan bahu laki-laki yang sedang tidur tadi dengan pelan,

“Bang,”

Satu kali. Masih dengan suara pelan. Si abang tidak bergeming.

“Bang, bang,”

Dua kali. Volume suara mulai dinaikkan, goyangan di bahu lebih diperkuat. Tetap tidak merespon.

“Baaaaaang!”

Kali ketiga, kali ini intonasi dinaikkan sambil sedikit gebrak meja, yang dibangunkan akhirnya membuka mata, menoleh kanan-kiri dengan panik, saat maniknya menangkap sosok Win, ia refleks menundukkan kepala sambil berteriak, “Sumpah, sumpah, sumpah, gue udah mau tutup bang, sumpah sumpah, sumpah, gue gak ada duit jangan ambil gerobak gue! Jangan, jangan, jangaaaan, gue belum bayar cicilan ruko, rumah, motor, jangan bunuh gue baaaang, jangaaaaan!”

Win mengernyit heran, apa wajahnya ini seperti tampang maling? Ia menjitak kepala laki-laki di depannya sambil berseru, “Heh, gue bukan rampok!”

“Oh?” Lawan bicaranya mengangkat kepala, “Lu pake item-item, sih.. Gue kira rampok…”

Win memperhatikan outfitnya sendiri dari atas sampai bawah. Iya sih, all black termasuk masker yang ia kenakan sekarang. Gak salah orang di depannya ini menuduh demikian, tampilannya memang seperti perampok. Win membuka masker hitamnya, “Lo yang jualan kan? Pesen seblak satu,”

Si Kang Seblak mengernyit, “Masak sendiri aja,” ia menjawab singkat kemudian kembali tidur di atas meja.

Laaah?! Sinting nih orang. “Bang, elo kan tukang masaknya! Gue nih pelanggan, masa iya suruh masak sendiri? Lo gak tau istilah pembeli adalah raja, ya?” Win kembali menggoyang-goyangkan bahu Kang Seblak.

“Sssssst,” Kang Seblak mengangkat jari telunjuknya ke depan mulut, menyuruh Win diam. “Siapa juga yang mau makan seblak jam segini? Aneh,”

“Lah, elo juga kenapa jualan seblak jam segini?” balas Win.

“Sebenernya udah tutup jam sembilan tadi, tapi gue mager pulang.” jawabnya.

LAAAH. Win keheranan. Mana ada ceritanya orang jualan masih buka warungnya cuma gara-gara dia mager pulang? Terus kalo ada pembeli disuruh masak sendiri karena yang jualan ngantuk? Benar-benar aneh.

Bau kuah seblak kembali mencuat dan menggoda indra penciuman Win, perutnya meronta minta diisi namun si empunya warung tetap tidak beranjak dari tidurnya. Win berdecak, padahal ia benar-benar lapar setelah kejar-kejaran dengan gerombolan musuhnya tadi. Namun melihat Kang Seblak yang kini sudah mendengkur, Win merasa orang ini sama sekali sudah tidak memiliki minat untuk menerima pesanan Win.

Karena ia gagal makan seblak, Win memutuskan untuk pulang saja. Setelah memastikan jalanan sekitar sudah aman, Win pelan-pelan kemudian bangkit dan meninggalkan warung seblak dan si pedagang yang sudah lelap di alam mimpi.


Keesokan harinya, sebelum berangkat ke markas, Win memutuskan mampir di warung seblak lagi. Semalam, saat ia pulang, Win mendapati di daerah ruko warung seblak itu banyak sekali jalan tikus yang bisa ia lalui jikalau ia harus kabur dari casino lagi seperti semalam. Tapi, karena kemarin sudah dini hari dan minim penerangan, Win tidak bisa melihat jalan tersebut dengan jelas. Hari ini, ia berencana akan memperhatikan lalu memetakan jalan tikus itu dari warung seblak.

Warung seblak itu ada di dalam perumahan, berlokasi tepat di pertigaan jalan, sebenarnya cukup strategis, namun letaknya tersembunyi di balik dua pohon rimbun. Bagi orang yang tidak teliti, pasti mereka akan sulit menemukan tempat tersebut, kecuali keadaannya sedang ramai pengunjung seperti sekarang.

Terlihat antrian mengular hingga ke depan halaman ruko ketika Win sampai. Terang saja, ini sudah memasuki jam makan siang. Win kemudian ikut ambil antrian di belakang orang-orang yang lebih dulu sampai hingga tiba gilirannya.

“Seblak biasa pake telor ya bang, ga pedes.” Win berucap ketika sudah tiba gilirannya, “Iyeeee. Antri agak lama yeee, rame nih,” Si Kang Seblak tampak kerepotan memindah seblaknya dari panci ke beberapa mangkuk. “Lebih cepet kayaknya kalo yang beli lu suruh masak sendiri-sendiri aja, bang.”

Si Kang Seblak mengalihkan pandangannya dari panci dan berhenti mengaduk seblak, “Tar dulu…..” ia memperhatikan wajah Win lamat-lamat, “Kek pernah liat……”

Win berdecak, “Kapan coba?”

“Gak… tar dulu…” Ia mengangkat spatulanya dan mengarahkannya ke wajah Win, “Kayaknya lo kemaren ada di mimpi gue…. “ Ia kemudian berpikir, “Aaaaah iyaaa! Lu kemaren jadi begal! Di mimpi gue! Lu mau bawa kabur ni gerobak seblak! Ngapain sekarang lu kesini? Mau ngebegal gue beneran ya?! Maju lu! Gue gak takut, gue punya panci seblak gue!”

“Sssssst!” melihat banyak orang yang menoleh gara-gara Si Kang Seblak berseru heboh, Win menyuruhnya diam. “Apaan sih lo?! Gue dateng nih, cuma mau makan seblak! Dan fyi aja, gue kemaren beneran kesini! Jadi lo ketemu gue tuh bukan mimpi! Tapi lo aja yang kemaren ngigo waktu gue dateng!”

“Oh, ya?” Si Kang Seblak garuk garuk kepala, “Lu kemaren kesini? Gue kok gak inget ya, bikinin seblak buat lu?”

“Ya, soalnya lo suruh gue masak sendiri! Lo bilang lo ngantuk mau tidur!”

“Oh… Hehehe.” Kang Seblak terkekeh, “Yaudah sok sana duduk dulu bang, gue bikinin seblaknya.”

Win melengos, kemudian ia keluar antrian dan mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Ia kemudian mulai menggambar peta jalan dari casino beserta jalan tikusnya, memperkirakan jalan tercepat jika malam ini ia ketahuan dan harus kabur lagi.

Setelah beberapa menit, Si Kang Seblak datang membawa mangkok berisi seblak pesanan Win. Win buru-buru memasukkan gambar petanya ke dalam saku dan menyambut mangkoknya.

“Ini seblaknya, Tuan.” Sambil menunduk, Kang Seblak menggeser mangkok berisi seblak buatannya ke depan Win. “Tuan, Tuan.” cibir Win. “Kalo manggilnya Tuan tuh biasanya dibawainnya steak, potato mashed, oyster, atau caviar. Ada dipanggil Tuan tapi dianterin seblak.”

Si Kang Seblak tertawa, ia kemudian ikut duduk di depan Win. “Elu baru pertama kali kesini ya?”

“Kok lu tau?” Win meniup kuah seblaknya yang masih panas. “Eeeey, gue tuh udah jualan seblak belasan tahun, jadi gue apal sama semua pelanggan gue! Muka lu tuh asing, belum pernah nongol.” jawab Kang Seblak.

“Ya, gak pertama kali sih, kemaren kan, gue udah kesini,”

“Lu emang kemarin kesini jam berapa?” “Jam dua.” “Siang?” “Pagi.”

“Orang gilaaa. Titisan mbak kunti, lu? Ngapain ke warung seblak jam dua pagi?!”

“Ya, lo juga kenapa masih buka warung seblaknya sampe jam dua pagi? Pake pesugihan ya, lo?”

“Yeee, sembarangan!” Kang Seblak melempar tisu gulungan ke arah Win, “Sebenernya biasanya warung tutup jam sembilan. Gue kayaknya kemarin ketiduran aja,”

“Lo bilang, lo kemaren mager.” “Gue bilang gitu?” “Iya.” “Mmm. Gak inget.”

“Aneh. Emang semua pelanggan lo suruh masak sendiri juga gitu, kalo lo ngantuk?”

“Ya, gak sih. Biasanya gak ada yang dateng ke warung jam segitu. Gue tanya lagi, kenapa lo ke warung jam dua pagi?”

“Gapapa, ngidam aja.” “Ngidam kok jam setengah dua pagi. Ibu hamil kali,”

“Tar deh, lo jangan ngajak gue ngomong mulu. Gue mau coba seblak lo, nih.” Win berhenti bicara kemudian mulai menyantap seblaknya. “Enak?” tanya Kang Seblak.

“Hmmm.” Win menggumam. “Enak.”

“Bagus. Kalo lu bilang ga enak, gue balik ini meja.” Ucap Kang Seblak. “Serem amat!” Win bergidik sambil melanjutkan makan.

“Bang, gue nambah satu lagi dong seblaknya!” seorang pelanggan di kursi pojok berseru, “Iyeee bentar!” Kang Seblak balas berteriak, “Tuh sampe nambah-nambah kan, pelanggan gue? Emang sedep nih, seblak masakan gue.” Si penjual menyombongkan diri. “Iyain aja.” Win menjawab jutek.

“Gue tinggal masak dulu, ya. Habisin tuh seblaknya! Awas sampe masih nyisa!”

“Iyeee. Bawel banget sih, udah sana masak! Ditungguin, noh!”


Hari berganti malam ketika warung seblak mulai sepi dan Win masih berkutat dengan gambar peta miliknya. Mangkok seblak dihadapannya sudah habis dan ia memang tidak berniat untuk menambah porsinya karena setelah ini ia berencana akan menyerbu komplotan musuh di casino. Jangan sampai ia kalah cuma gara-gara begah seblak.

“Eh, lu!” Kang Seblak memanggil Win. “Ngapain masih disitu? Pulang sana kalo kaga nambah!”

“Mager.” Jawab Win singkat.

“Yeeee! Yaudah, daripada lu diem disana mending bantuin gue cuci piring!” Win merengut, namun kemudian ia berdiri dan menghampiri Si Kang Seblak. Win duduk di atas kursi pendek dan mulai ikut mencuci mangkok.

“Nama lu sapa?” tanya Kang Seblak. “Gue?” “Iyalah. Emang ada orang lagi selain elu?” “Win.” “Win?” “Hmm.” “Gue Bright.”

Win mangut-mangut. Iya juga sih, nama gerobaknya aja Seblak Endul Abang Bright. “Udah lama jualan?” tanya Win meneruskan percakapan.

“Udah dari gue kecil. Dulu aki gue, terus bapak gue, sekarang gue lanjutin. Usaha turunan, nih.” Jelas Bright.

“Ooooh.” Win menimpali singkat sambil terus mencuci. Sialan ni Kang Seblak, dia kaga tau apa pekerjaan asli gue apa? Enak aja disuruh cuci piring!

“Lo udah kerja?” Nah kan, baru aja dibatin.

“Kok kepo?”

“Nanya aja. Soalnya hasil cucian mangkok lu bersih, kalo belum, mau gue rekrut jadi kang cuci piring.” Emang anjing! Apa gunanya gue training tembak-menembak kalo ujungnya gue kerja jadi kang cuci piring di warung seblak? Sinting bener ni pedagang,

“Yee, berani bayar gue berapa lu?” todong Win. “Yaaa, bolehlah seporsi seblak gratis tiap hari,” jawab Bright.

Win mencibir, baru saja ia akan membalas perkataan Bright, ia mendengar suara dari ear monitor. Perintah untuk bergerak ke tempat target. Win berdeham satu kali, memberi tanda bahwa ia setuju. Kemudian bangkit dan mengelap tangan basahnya dengan tisu. “Dah bersih nih semua mangkok lo! Gue cabut dulu, ye.”

Bright menyeka keringatnya dengan satu tangan, “Mau kemana buru-buru amat? Tuh, meja belum di lap,” Win menjitak kening Bright satu kali hingga si pedagang mengaduh kesakitan, “Enak aja lo nyuruh-nyuruh gue, emangnya gue disini serabutan?!” Bright terkekeh, “Gak mau bungkus seblak?” Win menolak tawaran Bright dengan satu gelengan, “Gue duluan.”

“Balik sini lagi, ya!”

Suara Bright bergema dari belakang, namun Win tidak punya waktu untuk menanggapi. Telinganya penuh dengan sautan demi sautan dari jaringan ear monitor, beberapa melolongkan permintaan tolong, saluran lain menyerukan pasukan tambahan, disusul perintah mutlak bagi semua anggota untuk segera menyerbu target sekarang juga. Win mempercepat langkah kakinya, ia berlari menerobos jalan tikus yang sudah ia petakan di warung seblak tadi.

Nampaknya, hari ini akan kembali menjadi hari yang panjang.


Win berhasil merangsek masuk ke sebuah bangunan yang tak berpenjaga. Suara tembakan beradu dengan barang-barang jatuh terdengar dari luar. Bangunan yang Win injak ini adalah salah satu bangunan terbengkalai milik negara yang sudah lama sekali kosong. Dikarenakan telah lama tak berpenghuni, komplotan mafia yang diikuti Win menetapkan bangunan ini menjadi markas. Usut punya usut, seorang mata-mata negara mengetahui hal tersebut dan merencanakan penyerbuan markas hari ini.

“Win, awas!”

Mendengar salah satu koleganya berteriak, Win refleks menghindar ketika melihat sebuah kursi kayu melayang dan hampir saja mengenai dirinya. Ia kemudian memasang kuda-kuda dan mulai menghajar wajah-wajah yang tak ia kenal disana. Tanpa bantuan senjata api maupun alat tajam, Win menghabisi seluruh musuhnya dengan tangan kosong.

“Awas, bom!”

Win menginjak tubuh musuhnya dengan satu kaki, ia menoleh ke sumber suara teriakan, dan matanya menangkap sebuah bom yang diikat di bawah kaki meja sudah menunjukkan detik ke delapan. Delapan detik lagi seluruh bangunan ini akan hancur dan rata dengan tanah. Win hanya punya waktu delapan detik untuk pergi dan menyelamatkan diri.

“Win! Cabut, Win!”

Menyempatkan diri menendang musuhnya satu kali lagi, sekuat tenaga Win berlari keluar dari bangunan. Sialnya, saat ia sudah berhasil melewati pintu, sekelompok pasukan musuhnya sudah menghadang di depan sana. Sambil mengumpat, Win ambil langkah seribu dan bergegas lari ke arah yang berlawanan, disusul suara ledakan dari markasnya.

Langit malam mulai menggelap dan tidak ada cahaya lampu di sekitar bangunan markas. Win terus berlari setelah mengetahui beberapa orang dari komplotan musuh mengikutinya dan berusaha menangkap Win. Suara tembakan dari belakang membuat Win berkali-kali menunduk, berlindung di balik apapun yang bisa ia jadikan tameng. Pagar pembatas jalan, pohon, atau kendaraan warga yang di parkir sembarangan.

Win mengeluarkan pistol yang berada di pocket pinggang, melepaskan beberapa tembakan dari tempatnya berlindung, yang dibalas oleh belasan peluru dari musuh. Ia berdecak, apalagi ketika mendapati bahwa dirinya sedang sendirian, kawanannya pasti sedang terpencar, berusaha menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Win mengecek persediaan peluru dalam pistolnya yang mulai menipis, ia tidak mungkin bisa selamat sendirian dengan keadaan peluru yang hampir habis, sedangkan belasan musuhnya di seberang sana mungkin siap melawannya dengan senjata lengkap.

Tak ada pilihan lain, ia harus melompati dinding pembatas seperti yang ia lakukan kemarin. Setelah memperkirakan jarak tempuh dan juga kemampuan berlarinya, Win menarik napas dalam kemudian memberondong musuhnya dengan sisa peluru yang ia punya, membuang pistolnya, dan berlari sekuat tenaga ke arah dinding pembatas. Namun sialnya, ketika Win sampai, sekeliling dinding itu telah dililit oleh pagar berduri. Win berdecak kesal, satu-satunya jalan kabur terakhir sudah tak bisa ia gunakan. Ia berpikir cepat, mengingat jalan tikus terdekat yang ia temukan malam kemarin setelah mengunjungi warung seblak. Dan saat suara derap langkah dari musuhnya kembali terdengar mendekat, Win lantas berlari, mengambil jalan memutar dan kembali masuk ke perumahan.


Jalan berlumpur yang ia tempuh membuat Win terjerembab di sebuah lapangan rumput yang becek. Ia buru-buru bangkit, tak sempat lagi membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya, ia bersiap ambil langkah untuk kabur lagi, saat itulah tak sengaja matanya menangkap sosok yang familiar lewat di hadapannya. Bright, si pedagang seblak yang menyuruhnya cuci piring siang tadi, sedang mendorong gerobak seblaknya sambil bersenandung pelan.

“Bright! Bright!”

Win berseru rendah memanggil Bright, tapi nampaknya laki-laki itu tak mendengar. Samar-samar Win melihat sebuah benda di kedua telinga Bright, dan ya, terang saja, laki-laki itu sedang menggunakan earphone. Win buru-buru mengejar Bright lalu menahan kedua lengannya untuk menghentikan laju gerobak.

“Beegggaaaaal…”

“Ssstttttt!!!!!” Win menutup mulut Bright dengan satu tangan, “Win, ini Win!”

“Ho hahi hapahin…. AAAA..” Bright kesulitan bicara karena mulutnya masih dibekap oleh Win, sementara Win sibuk menoleh ke kanan dan kiri, menajamkan indra pendengaran dan penglihatannya untuk memantau keberadaan musuhnya.

“Pinjem hoodie lo,” bisik Win pelan. “Hhhhh?” Bright menatap Win kebingungan, saat mendengar derap-derap langkah yang semakin dekat, Win tidak punya pilihan lain selain melepas paksa hoodie Bright.

“Argh! Lu gila, ya! Kalo ternyata gue dalemnya gapake baju gimana?!” Bright berseru setelah Win melepaskan bekapan tangannya. “Ya gapapa biar gue bisa liat,” jawab Win datar. Ia kemudian mengambil alih gerobak seblak dari tangan Bright, “Gue pinjem gerobak lo. Lo disini aja, kalo nanti ada yang nanya apa lihat orang kayak gue, bilang aja gatau,”

“Hah?!!”

Suara langkah kaki itu semakin dekat, Win bersiap untuk kabur, ia menoleh ke Bright yang kini hanya berbalut kaus putih tipis yang robek di bagian lengan kanan dan kiri, “Gue bawa gerobak lo balik ke warung, nanti kalo orang-orang itu udah lewat, lo susul gue.”

Tepat saat bayangan musuhnya mulai terlihat di ujung jalan, Win mendorong tubuh Bright ke lapangan rumput, membuat laki-laki itu terhempas dan jatuh di kubangan lumpur, kemudian Win pergi meninggalkannya dengan membawa gerobak seblak milik Bright.


Argh!

Bright menggeram ketika melihat tubuhnya terbalut noda lumpur. Sambil bergidik jijik, ia mengucapkan sumpah serampah pada Win dan bersusah payah membawa tubuhnya untuk duduk. “Orang gilaaaaa! Bisa-bisanya doi abis ambil paksa hoodie gue terus sekarang gondol gerobak dagangan gue?! Pake dorong-dorong gue ke lumpur lagi, ewh….” Bright merasa seluruh tubuhnya lengket dengan lumpur, kotor dan bau.

Bener kan tadi dia belok sini?” “Iya, gue yakin. Pasti dia masuk perumahan!” “Ya udah cari! Cari sampe ketemu!

Sayup-sayup Bright mendengar suara dari arah yang berlawanan, ia menggeser duduknya dan bersembunyi di balik ilalang, dari kegelapan, ia melihat sosok-sosok kekar berbaju hitam lewat di jalanan. Bright bergidik ketakutan, apalagi ketika melihat masing-masing dari mereka memegang senapan api. Beberapa diantaranya mengenggam pisau dan benda tajam lain. Harus apa ia? Lari? Atau merendam dirinya saja di kubangan lumpur? Bagaimana kalau kawanan penjahat itu menemukannya lalu membunuhnya disini? Siapa yang akan meneruskan resep turun-temurun warung seblak?

Sebuah kilatan cahaya senter memantul di manik mata Bright, ia menyipitkan mata karena silau, selanjutnya tersentak kaget karena sebuah seruan, “Woy! Ada orang!” refleks, Bright cepat-cepat berdiri, berniat kabur, namun lengannya digenggam oleh seseorang berkacamata hitam, ia meletakkan tangan besarnya di dagu Bright, lalu memutar paksa kepala Bright untuk melihat sebuah potret di ponsel, “Lo liat orang ini di sekitar sini?”

Foto Win. Bahkan dalam cahaya yang minim di kegelapan malam, Bright bisa melihat dengan bahwa itu adalah wajah Win yang terpampang di layar. Bright ketakutan, untuk apa orang-orang bersenjata ini mencari Win, pelanggan baru warung seblaknya?

“Liat nggak?!!” Preman itu menyentak Bright, ia kini mencengkram ujung kaos Bright dengan erat, memaksa meminta jawaban. Mampus, mampus, harus apa ini gue?!

Pura-pura gila aja kali, ya?

Bintang kecil…..” Bright kemudian mulai bersenandung. Komplotan preman yang berdiri mengelilingi Bright melihatnya dengan keheranan, “Di langit yang biru….” Ia menatap langit. “Amat banyak…. Menghias angkasa….

Cengkraman di kaosnya melemah, si preman berkacak pinggang, masih memperhatikan Bright yang terus bersenandung, “Aku ingin… Terbang dan menari…. Jauh tinggi…. Ke tempat kau berada…

“Lah, ini mah orang kaga waras!” Si preman kemudian melepaskan cengkramannya pada kaos Bright. “Buang-buang waktu aja! Udah kita pergi dari sini, cari di tempat lain!” Salah satu dari mereka menendang lengan Bright sebelum pergi, kemudian tanpa mengucap apapun, mereka berbondong-bondong meninggalkan lapangan.

Bright menghela napas lega. Ia mengelus lengannya yang baru saja ditendang dengan sepatu boots yang keras, namun dalam hati kecilnya ia bersyukur, ia masih hidup, dan resep turunan seblak nggak jadi punah.


Sambil terseok, Bright berjalan kaki dari lapangan dan menghampiri Win di warungnya, sesuai perintah laki-laki itu. Dari ujung jalan, ia bisa melihat Win masih menggenakan hoodie miliknya yang ia rebut, duduk di depan ruko yang sudah tutup dengan gerobak seblak yang ia parkir di depan.

“Aman?” Win menyambut Bright yang datang dengan menyeret langkahnya,“Menurut lo aja!” Bright menggerutu, ia duduk di sebelah Win, menunjukkan kaus putihnya yang sudah tak lagi putih karena berlumur lumpur. “Nih, gara-gara lo!”

“Tapi, lo ketemu orang-orang yang nyariin gue?” “Heem.” “Terus lo bilang apa?” “Gue pura-pura jadi orang gila.” “Yang bener?” “Bener, lah! Lo kira gue bisa apa waktu dihadapin sama orang-orang yang bawa pistol kayak gitu?!”

“Hehe.” Win meringis, “Thanks, ya. Udah bantuin gue.”

Bright mendengus, ia membalik topi yang ia kenakan, lalu merebahkan tubuhnya di pelataran ruko. Sekilas, Win melihat luka lebam di lengan kanan Bright. Refleks, Win menyambar tangan Bright, “Lo dipukul?” Bright menggeleng, ia menarik tangannya lagi, “Ini?”

“Oh, tadi jatuh, gelap jalannya.” “Ckckckck. Lo ini kurang latihan militer,” “Ya buat apa juga kang seblak kayak gue latihan militer?!”

“Kunci ruko mana?” tanya Win. “Buat apa? Gue udah tutup ya, gak mau masak seblak.” Bright menolak.

“Ck, udah manaaa.” Win memaksa dan akhirnya Bright mengalah, mengeluarkan kunci ruko dari saku celana. Win kemudian masuk ke dalam ruko dan lima menit kemuidan, ia keluar sambil membawa sebongkah es batu.

Win menarik lengan Bright pelan, ia mengompres bagian yang lebam tadi dengan es batu. “Di dalem warung lo gak ada kotak P3K, jadi pake ini aja dulu,” ia membolak-balikkan es batu itu di luka lebam Bright, “Bahaya tau, kalo tiba-tiba lo keiris pisau atau kena wajan panas gimana coba pertolongan pertamanya kalo gaada kotak P3K,”

“Bahaya mana dari gue yang lo lempar jadi umpan preman?” tanya Bright sarkas. “Orang-orang itu ngapain ngejar lo, sih?” Win diam saja. Ia tak menanggapi pertanyaan Bright dan memilih sibuk mengompres.

“Rentenir ya, itu? Lo ngutang, ya sama mereka?” “Hmm.” “Lo ga punya duit buat bayar?” “Hmm.” “Kalo lo emang butuh duit, kan gue bilang, jadi kang cuci piring di warung gue aja…” “Dah.”

Win meniup lengan Bright, kemudian mengusapnya satu kali. “Besok juga ilang tuh lebam.”

“Ck, lo tuh. Kenapa lo malah lebih khawatir sama tangan gue daripada utang lo ke rentenir?”

“Kalo tangan lo sakit, nanti lo gak bisa masak seblak, gue gak bisa kenyang soalnya gak bisa makan seblak,” jawab Win santai, ia kemudian ikut rebahan di sebelah Bright.

“Kotor,” ucap Bright, namun Win cuek saja, “Gapapa.”

Keduanya kemudian larut dalam pikiran masing-masing, menatap langit yang hanya memancarkan sedikit cahaya bintang ditemani semilir angin malam, tubuh keduanya bersisian dalam interval jarak yang tak terlalu jauh.

“Gue capek kabur,” Win menerawang. Disebelahnya, Bright mendengarkan dengan seksama. “Kapan ya, gue bisa hidup aman dan tenang? Jadi gue nggak harus lari terus menerus sepanjang hidup,”

“Kenapa harus lari?” tanya Bright. Win menoleh, melirik Bright dari ekor mata kanannya, “Karena cuma itu yang gue bisa,”

“Kenapa nggak dihadapi?”

Win terdiam. Kenapa nggak dihadapi?

“Masalah itu kan ada buat dihadapi. Ujungnya lo berhasil apa enggak, lo gak akan tau sebelum lo menghadapinya sendiri. Kalo lo terus-terusan kabur dan lari, selesainya kapan?” Bright berkata bijak.

Win menaikkan alis, bisa aja nih, Kang Seblak.

“Hey, Bright,” “Hm?” “Kalo gue ternyata orang jahat, lo nyesel nggak, pernah kenal sama gue?” “Enggak,” “Kenapa?” “Kesukaan gue yang berandal dan kriminal. Semakin membahayakan umat, semakin naksir.”

Win tertawa, ia menyenggol lengan Bright pelan, “Suka yang kriminal tapi kok ketemu orang bawa senjata katanya takut,”

“Ya kalo itu tadi beda ya, tampangnya kayak preman.”

“Terus lo suka kriminal yang kayak gimana dong?”

“Yang kayak Robin Hood tuh, doi nyolong tapi buat dibagi-bagi ke warga. Kriminal tapi dermawan dalam waktu yang bersamaan,”

“Aneh deh, selera lo,” ucap Win. “Tar dulu, ini serius gak, sih?”

Gantian kini Bright yang tertawa, ia menoyor kepala Win, “Bercanda, lah. Siapa juga yang mau sama kriminal. Membahayakan hati enggak, menantang maut yang iya,”

Win tersenyum kecil, tak menanggapi kata-kata Bright barusan. Iyalah, siapa yang mau sama kriminal?


“Lu yakin dia bukan intel, Win?”

Thanat memperhatikan Win yang sedang mengeluarkan barang-barangnya dari tas, lalu menatanya di lemari markas yang baru. Baru saja, partnernya ini menceritakan bahwa ia berhasil menemukan jalan tikus tercepat untuk memotong jalan dari casino ke jalan raya, jalan itu Win usulkan untuk dilewati ketika operasi penyerangan markas musuh yang rencananya akan dilakukan malam ini. Win mengaku telah mengamati dam memetakan seluruh rencananya itu di warung seblak belakang casino selama dua hari terakhir. Win juga bercerita bahwa si pedagang seblak membantunya kabur dari komplotan musuh tempo hari.

“Bukan, Bang. Yakin gue. Ya kali sekelas intel negara jadi kang seblak?”

“Eh lu, sekarang intel tuh bisa jadi apa aja ya, nyamarnya! Orang dia jadi tukang fotocopy keliling aja bisa, apalagi cuma jadi kang seblak!” ucap Thanat.

“Tapi dia bukan, Bang. Gue udah pastiin gak ada HT kok di gerobaknya!”

“Intel sekarang mah canggih-canggih, Win. Sekarang jamannya tuh pake airpods!”

“Gak pake juga dia,” Win berusaha meyakinkan Thanat. Ia kemudian memandang peta yang sudah ia gambar, lalu menjentikkan jarinya di satu objek, “Gue mulai duluan siang ini di warung seblak, lo sama yang lain bakal nyusul setelah gue kasih aba-aba ‘safe’, oke?”

Thanat memandang denah gambaran Win yang dibentangkan di atas meja, meskipun instingnya ragu dan merasa kurang yakin, melihat Win yang optimis dan bersemangat, mau tak mau Thanat pun mengangguk dan setuju.

“Oke.”


Bright memarkirkan gerobak seblaknya di halaman warung, ia mengeluarkan kunci dan menarik rolling door ruko, tiba-tiba muncul lengan seseorang membantunya menaikkan rolling door.

“Hai.”

“Lah, elu.” Bright membalik topinya, ia menatap Win barusan muncul membantunya, “Pagi bener? Mau sarapan seblak? Bae bae mules lu,”

“Siapa yang mau makan seblak?” Win selesai menaikkan rolling door, ia membantu Bright mendorong gerobak seblak masuk ke dalam warung. “Terus lo ngapain disini?”

“Mau cuci piring,”

Bright memelototkan matanya lebar-lebar, “Udah gue bilang, butuh duit kan, lu?”

Win hanya angkat bahu, ia kemudian berjalan ke tempat Bright biasa mencuci barang kotor, menunjuk tumpukan mangkok dan panci yang ada disana, “Ini doang nih, yang harus gue cuci?”

“Yeee, itu kan bekas kemarin.” Ucap Bright sambil mengeluarkan peralatan masak dari dalam gerobaknya, “Nanti ada lagi, kan warung gue juga baru buka.”

Win mengangguk paham, ia mulai menggulung lengan kemejanya dan menyalakan kran air, “Lagian lu, udah tau mau kerja jadi kang cuci piring malah pake kemeja. Aturan kalo lu pake kemeja tuh daftar jadi sales noh, di toko elektronik!” celetuk Bright.

“Ya gapapa, kali. Coba mana ada tukang cuci piring yang pake kemeja selain gue? Gak ada! Ini tuh bisa jadi penglaris buat warung lo, tau gak,”

“Penglaris penglaris, emangnya gue pake pesugihan,” Bright menggerutu. “Titip cuci wajan gue sekalian ya,”

“Iyeeeee, bos!”


Entah bercanda atau tidak, tapi memang, hari itu warung seblak Bright lebih ramai dari biasanya. Bright cukup kewalahan bolak-balik memasak sembari menghampiri Win untuk mengantar mangkok kotor, begitu juga Win yang bertugas mencuci peralatan masak, ikut kewalahan karena rasanya dari tadi rombongan mangkok, sendok dan garpu kotor itu terus berdatangan. Kalo bukan karena gue mau ngintel tuh musuh gue, gak bakal mau gue susah-susah jadi kang cuci piring kayak gini!

“Wah, bang, sekarang udah ada yang bantu?” pelanggan seblak Bright yang berdatangan berkali-kali menanyakan tukang cuci piring baru yang menarik perhatian di ujung ruangan, sementara si penjual yang terus-menerus dilempari pertanyaan yang sama mulai bosan menjawabnya, “Iya, baru hari ini dia disini. Masih magang, tuh.”

“Diliat dari punggungnya aja kayaknya orangnya cakep, bang,”

“Iya. Eh, udah jangan diliatin terus! Nanti lu sawan,” Bright kemudian memberikan dua bungkus seblak pada mbak-mbak spg toko kosmetik langganannya itu, “Nih, pesenan lu,”

“Makasih, bang! Titip salam ye, ke kang cuci piring lu!”

“Iya nanti gue sampein! Udah, hush hush, antri nih!” Bright mengusir pelanggannya itu, dan ya, memang ia tidak berbohong. Di belakang mbak-mbak spg itu antriannya masih panjang sekali.

Menjelang sore, antrian mulai berkurang dan Bright bisa duduk sebentar, meluruskan sendi-sendi tubuhnya yang pegal karena terlalu banyak berdiri. Baru saja ia akan meneguk sebotol air, datang sebuah mobil dan turun beberapa orang berbaju hitam dari dalamnya. Bright memicingkan mata dan menahan napas sesaat, mereka adalah gerombolan preman yang kemarin! Ia buru-buru memakai topinya dengan posisi agak diturunkan, berharap mereka tidak mengenali Bright yang kemarin pura-pura gila.

“Bang, seblak biasa enam, ya!”

“Yaaa!” Bright menjawab cepat, sebelum mulai memasak, ia menghampiri Win, berpura-pura memberikan satu mangkok yang sebenarnya masih bersih, lalu berbisik, “Win, gue kasih tau sesuatu. Nggak, nggak, jangan langsung noleh. Tapi nanti lo coba liat arah jam dua. Itu ada kelompok rentenir yang kemarin ngejar lu.”

Mendengar ucapan Bright, Win langsung pasang mode siaga. Ia menerima mangkok dari Bright, kemudian lima menit setelah laki-laki itu pergi, Win menoleh pelan-pelan ke arah jam dua, dan benar, itu komplotan mata-mata yang menargetnya dari awal, gerombolan musuh yang markasnya di casino akan Win serang malam ini. Sambil tetap mencuci piring, Win menajamkan indra pendengarnya, berusaha menguping pembicaraan kelompok itu dari jauh.

Setelah komplotan musuhnya pergi, Win pergi ke toilet, melalui saluran ear monitor, ia membeberkan hasil pembicaraan musuhnya yang berhasil Win tangkap, inti yang terpenting adalah, mereka akan menutup semua jalan umum menuju casino, sehingga Win memerintahkan agar seluruh komplotannya untuk masuk melalui jalan tikus yang telah ia gambar di denah semalam.

Selesai berkoordinasi, tim Win mulai bergerak dari markas menuju casino, hal itu membuat Win harus segera menyusul. Dan karena tugas cuci piringnya juga telah selesai, ia mengganti kemejanya yang basah karena percikan air dengan setelan hitam-hitam andalannya.

“Bright, udah beres semua tuh piringnya. Gue cabut, ya.” Win menghampiri Bright yang sedang duduk santai sambil mengipasi dirinya sendiri, “Buru-buru amat? Ga sekalian temenin gue nutup warung?”

“Udah ada janji nih, gue. Takut kemaleman kalo sampe nutup warung,” Bright mangut-mangut. Win kemudian melambaikan tangan, berpamitan pergi. “Eh, Win, Win! Bayaran lu!”

“Besok aja! Gue besok kesini lagi kok!”

Win bergegas meninggalkan warung, namun satu langkah ia keluar dari ruko, tiba-tiba terdengar suara tembakan dan membuat Win langsung jatuh ambruk ke tanah. Melihat pemandangan di hadapannya, Bright refleks berteriak memanggil nama Win, ia buru-buru bangkit menghampiri Win. Dalam keadaan panik, muncul komplotan berbaju hitam yang Bright ketahui sebagai rentenir penagih utang, menarik tubuh Bright paksa menjauhi Win, namun ia tetap bersikukuh untuk tetap di samping Win sambil berusaha menjaga agar laki-laki itu tetap sadar. Bright terlibat tarik-menarik dengan para preman, dan sebelum tubuhnya berhasil ditarik menjauh, Bright melihat sesuatu yang berkedip di telinga Win, dan ia menyadari laki-laki itu memakai ear monitor.

“Tolong!” Bright berteriak. “Win ditembak! Siapapun disana tolongin!”

Salah satu dari komplotan preman itu mendorong Bright dengan kasar dan kemudian ia memukul Bright tepat di bagian perut, kesakitan, ia mengaduh dan tersungkur di tanah, tepat di sebelah wajah Win. “Win, Win.. Bangun, Win…” Bright panik melihat darah mengalir di pelipis Win, “Win, Win, jangan tidur.. Plis, plis, lo bertahan…”

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara tembakan beruntun muncul, Bright menutup telinga, dengan sisa-sisa tenaganya berusaha melindungi Win dengan tubuhnya. Sampai seseorang menyentuh lengannya dengan kuat, Bright menghempaskan lengannya, berusaha membela diri. “Sssst, gue temen Win,”

Bright membuka matanya dan memperhatikan orang yang kini bersimpuh di hadapannya, wajahnya tak familiar, yang jelas bukan dari komplotan preman tadi karena Bright telah hafal betul seluruh garis muka anggotanya, “Win.. Tolongin Win…”

“Iya, iya.” Laki-laki yang mengaku sebagai teman Win itu membantu Bright berdiri, beberapa saat kemudian, datang beberapa orang lain yang memakai setelan hitam-hitam, sama persis yang digunakan Win, menghampiri mereka dan bahu-membahu menggotong Win.

“Gue Thanat. Lo ikut kita ya,”


Bright tidak ingat sejak kapan ia kehilangan kesadaran. Tiba-tiba saja ketika ia membuka mata, ia mendapati dirinya sedang berbaring di kasur sebuah rumah sakit, bersisian dengan Win. Saat menoleh, ia mendapati Win sudah bangun dalam keadaan sadar.

“Hai.” Win menyapa Bright dari kasurnya, Bright menatapnya heran, “Lo ditembak dan gue cuma di pukul, kenapa lo yang sadar duluan?”

“Udah gue bilang lo tuh kurang latihan militer,” ucap Win sambil tersenyum kecil. Bright mencibir, ia berusaha duduk, tapi ia ketika ia menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. “Tiduran aja,” titah Win. Bright menurut, ia akhirnya mengubah posisi tubuhnya ke samping, menghadap Win, dan laki-laki itu melakukan hal yang sama.

“Lo sebenernya siapa?” tanya Bright. “Kenapa lo nanya gitu?”

“Lo bukan cuma orang yang punya utang di rentenir, terus lagi cari duit dengan jadi tukang cuci piring di warung gue kan?” Bright menyelidik Win dengan tatapan serius, “Karena kalo lo cuma orang biasa yang dikejar rentenir gara-gara punya utang, lo gak bakal punya pasukan backup bersenjata sebanyak itu.”

Win tersenyum kecil. Ia tidak manjawab pertanyaan Bright.

“Jadi, lo sebenernya siapa?” “Kalo gue minta lo tetep anggep gue sebagai tukang cuci piring di warung seblak, lo mau gak?”

“Gue takut, Win.” Mendengar jawaban Bright, hati Win melunak. “Lo takut sama orang-orang tadi ya..”

Bright menggeleng. “Gue takut waktu gue liat lo tadi ditembak di depan gue, terus lo berdarah, terus gue bangunin lo tapi lo gak sadar… Gue takut banget..”

Win tertegun, tidak menyangka jika kejadian tadi membuat Bright menjadi sangat ketakutan, “Maaf, ya. Gue udah bikin lo ada di tempat yang bahaya,”

“Bukan guenya,” Bright menyela kata-kata Win,

“Lo nya. Gue takut… Lo…. pergi.” “Gue takut tadi lo nggak selamat,”

Win menghela napas, sadar ia telah membawa laki-laki yang baru dikenalnya ini ke marabahaya. Ia kemudian merentangkan tangannya, berusaha meraih tangan Bright tadi sisi kasur. “Jangan takut. Gue gak akan pergi. Gue bakalan jagain lo, asal lo percaya sama gue.”

Bright memandang jari Win yang berusaha menggapai jemarinya, dan seperti dimantra, ia mengangguk pelan, lalu menautkan miliknya pada milik Win.

Mereka berdua saling melempar senyum, berusaha meredakan sakit masing-masing lewat sebuah genggaman tangan.


Setelah tutup dua hari karena menginap di rumah sakit, Bright berencana membuka kembali warung seblaknya hari ini. Win memaksa Bright agar mengijinkan teman-teman satu gengnya membantu Bright menjaga warung seblak dengan berpura-pura menjadi pegawai dan pengunjung.

“Bisa jadi preman-preman yang kemarin dateng lagi buat balas dendam,” Itulah jawaban yang Win berikan pada Bright ketika si pedangang bertanya kenapa warungnya sampai harus dijaga ketat seperti itu.

“Kenapa sih mereka ngebet banget ngejar lo? Jangan jawab buat nagih utang soalnya gue udah tahu ya sekarang kalo mereka bukan rentenir dan lo bukan pengutang,” ucap Bright, “Jangan-jangan lo maling? Begal? Rampok? Koruptor? Bandar narkoba?”

“Bukaaan.” Win berusaha tak menanggapi Bright yang terus-terusan berceloteh sejak tadi dengan mencuci piring, “Ya terus apaaa. Kalo lo gak jawab, lo sama temen-temen lo gak boleh makan disini!” Bright berkacak pinggang. Win menghela napas, keras kepala sekali tukang seblak ini. “Nanti kalo gue bilang, lo pasti langsung usir gue,”

“Ya itu makanya, gue harus tau biar gue bisa mempertimbangkan gue harus mengusir lo apa gak,”

“Lo mau gue pergi?” “Ya enggak tapi-“

Win berdiri, ia kemudian berbisik di telinga Bright, “Gue gak akan bawa lo keadaan yang berbahaya lagi, kalaupun iya, gue pasti bakal jagain lo. Gue janji, ok?”

Mendengar kata-kata Win tepat di telinganya Bright akhirnya luluh, ia mengalah dan berkata iya. Ia menerima teman-teman Win untuk membantunya di warung. Mereka berbagi tugas, ada yang ikut Win mencuci piring, menjadi server, tukang sapu, dan tukang parkir. Thanat, laki-laki yang membantunya kemarin, beralih peran menjadi asisten masak Bright. Ia kini sedang mengupas bawang putih dan memisahkan cabai.

“Harus banget ya, kayak gini, tuh.” Bright mengeluh, ia memperhatikan mbak-mbak spg kosmetik langganannya yang dengan mandiri memberikan mangkok bekas makannya pada Win di dekat kran air. Dasar genit, kemarin-kemarin aja gue yang beresin, bajingan.

Thanat tertawa. “Gue sih, nurutin Win, aja.”

“Nurutin Win gimana?”

“Ya.. Win yang ngotot kita semua harus jagain warung lu. Katanya dia gak mau lu kena kejadian kayak kemaren malem itu,”

Bright mengaduk kuah seblaknya sambil menatap Win dari jauh, “Asli deh, kalian tuh sebenernya apa dan ngapain, sih? Gue berasa orang bodoh tau gak, cuma jadi kang seblak diantara orang-orang bersenjata,”

“Nanti lu juga tau,” jawab Thanat singkat. “Gak bisa kasih tau sekarang?” Thanat angkat bahu, “Gue mau aja kasih tau, tapi kayaknya lu harus tau dari Win langsung,”

“Nunggu gue ketembak sama preman kali, baru dia mau kasih tau,” ucap Bright kesal.

“Kayaknya Win naksir sama lu, deh.”

“Sembarangan!” Bright melempar sendok plastik ke kepala Thanat, laki-laki itu mengaduh. “Yeeee, coba lu pikir! Ngapain coba dia sampe rela jadi tukang cuci piring dan ngajak temen satu gengnya buat jagain warung seblak kalo gak dia cinta mati sama yang jualan?”

Bright mendengus, ia tak menimpali perkataan Thanat. “Lu naksir Win juga, gak?” tanya Thanat.

Plak. Kali ini bungkus kerupuk mendarat di kepala Thanat. “Lu nanya satu kali lagi, gue raupin lu pake kuah seblak,”


Menjelang jam sembilan malam, antrian pengunjung sudah mulai sepi dan Bright tengah memasak pesanan terakhir. Merasa keadaan beranjak aman, Win menyuruh Thanat dan teman-temannya yang lain untuk kembali ke markas lebih dulu, ia akan menyusul setelah menemani Bright bersih-bersih dan menutup ruko.

Setelah memberikan bungkusan seblak pada pembeli terakhir, Bright menurunkan setengah rolling door ruko, memberi tanda bahwa warungnya sudah tutup, kemudian ia menghampiri Win yang sedang rebahan di kursi panjang sambil bermain ponsel.

“Kadang-kadang gue mikir, gue kurang ajar gak, ya.”

Win mengernyit heran mendengar ucapan Bright yang tiba-tiba, “Kenapa emangnya?”

“Gue gak tahu asal mula lo darimana dan apa tujuan lo dateng kesini, tapi malah gue suruh lo jadi tukang cuci piring. Besoknya lo malah bawain gue tambahan buruh tukang parkir, tukang sapu, tukang kupas bawang…..”

Win tertawa, “Kenapa dipikirin, sih?”

Bright mengubah posisi duduknya, kini tatapannya sejajar dengan Win, “Asli deh, Win… Kenapa sih lo gak mau ngasih tau lo itu siapa dan apa urusannya sama orang-orang kemarin? Mereka ngejar-ngejar lo dan ketika udah dapet, mereka nembak lo. Itu gak main-main, loh….”

“Iya, gue gak main-main emang, Bright…” Win menilik jemari Bright yang ada di atas meja, “Gue tuh… Jahat.”

“Jahatnya gimana?” “Yaa, jahat pokoknya.” “Sejahat itu sampe ada orang yang ngejar lo dengan tujuan membunuh?”

“Mungkin?” Win menerawang, “Kadar jahat menurut orang itu kan beda-beda, ya… Kalau mereka sampai pengen bunuh gue, mungkin menurut mereka gue udah jahat level dewa,”

“Nah itu,” Bright menangkupkan tangannya di atas tangan Win, “Karena kata lo kadar jahat menurut orang itu beda-beda, sekarang kasih tau gue kenapa lo jahat biar gue bisa mengukur kadar jahat lo menurut gue,”

“Lo yakin mau tau?” Bright mengangguk. “Yakin gak nyesel?” Kali ini Bright menggeleng mantap. “Oke gue kasih tau. Kalo lo ngerasa gue emang orang jahat dan lo gak mau gue ada disini lagi, pukul gue aja,” Bright menatap Win takut-takut, penasaran kata apa yang akan keluar dari mulut laki-laki itu selanjutnya.

“Pekerjaan gue tuh haram,” “Konteks?” “Gue jualan,” “Iya, sama dong.” “Tapi gue ilegal.” “Lo jual organ manusia?”

“Gak lah!” Win merengut, “Kalo gue jualan organ manusia udah gue gorok lu dari hari pertama gue mampir,”

“Serem amat!”

Win menatap Bright dalam, terlalu dalam sampai rasanya ia jatuh dalam tatap mata Bright yang kini menguncinya dalam diam. Haruskah? Haruskah ia jujur? Kenapa ia takut untuk mengatakan yang sejujurnya? Apa karena jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat setiap ia berada di samping Bright? Apa karena ia takut laki-laki itu akan memukul dan mengusirnya pergi setelah ia tahu Win adalah seorang mafia?

Tapi kalau tak segera jujur, sampai kapan ia akan tidak berterusterang? Sampai kapan ia terus membawa Bright ke dalam lingkaran setan hidupnya yang dipenuhi dengan ancaman peluru dari segala sisi?

Salahnya.

Ini salahnya. Kenapa malam itu ia mampir ke warung seblak? Kenapa malam itu ia memilih untuk adu mulut dengan pedagang ini dibanding dengan langsung lari ke markas? Dan kenapa besoknya ia memilih kembali?

“Win?”

Suara Bright memecah lamunan Win. Ia kembali ke dunia nyata setelah tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan melanjutkan percakapan, “Sampe mana gue tadi?”

“Jual organ,” “Nggak, gue gak jual organ,” “Jadi?” “Gue perampok uang negara,”

Bright mengernyit, “Maksudnya?”

“Gue mafia, Bright. Gue maling uang negara. Tapi bukan uang rakyat. Uang dari koruptor yang disita sama negara, itu yang gue ambil. Terus gue cuci uang itu jadi senjata ilegal dan gue distribusiin ke komplotan mafia lain di luar negeri,”

Win berhenti sejenak, “Orang-orang yang ngejar gue, itu mata-mata dari istana. Mereka udah narget komplotan gue dari lama, apalagi sejak mereka berhasil nemuin markas gue. Di hari pertama gue mampir ke warung seblak lo, sebenernya gue mau ledakin markas mereka, casino di belakang komplek ini, tapi gue ketauan. Jadi gue kabur ke tempat lo,”

“Hidup gue tuh… Gak aman. Karena gue harus lari. Gue harus lari sepanjang hidup gue kalo gue masih jadi mafia. Gue gak akan bisa lepas dari orang-orang itu selama gue masih terus bawa kabur uang mereka,”

Bright terlihat mendengarkan cerita Win dengan seksama, tak ada tanda-tanda bahwa laki-laki itu akan memukul dan mengusir Win pergi.

“Gue minta maaf udah bikin tempat lo jadi gak aman,” ucap Win. “Dan gue gak mau selamanya gak jujur ke lo, karena lo udah baik banget ke gue. Maaf ya Bright, lo harus kenal sama orang jahat kayak gue,” Bright hanya mengangguk-angguk. Ia tak memberikan respon lain. Win jadi kebingungan, jadi ini pertanda baik atau buruk?

“Lo… gak pukul gue?” “Buat apa?” “Karena gue jahat?”

“Kata lo kan, kadar jahat orang tuh beda-beda, tergantung menurut siapa,” jawab Bright, “Menurut gue, lo…. ya jahat sih, tapi not bad lah. Gak sejahat itu. Maksudnya, gak sejahat itu untuk harus gue pukul dan gue usir,”

Hening di antara mereka berdua. Win tak menyangka Bright menyebutnya tidak terlalu jahat, sementara Bright kini memberikannya tatapan yang tak bisa Win terjemahkan.

“Menurut gue lo keren,” “Hah?” Maling uang negara darimana kerennya?

“Lo kayak Robin Hood. Gue udah pernah bilang kalau gue suka dia, kan? Lagian, lo kan cuma maling uang hasil korupsi kan. Ya baguslah, biar uangnya gak dibagi sama pejabat negara dan gak bisa balik juga ke koruptornya,”

“Tapi kan Robin Hood hasil curiannya dibagi ke orang miskin, kalo gue, hasil curian uangnya gue puter buat jual senjata ilegal…”

“Tapi itu gak merugikan siapapun, kan? Kalo lo koruptor, gue baru bilang lo jahat, Win,” ucap Bright. “Yaaaa, kalo ini, tolerable, lah.”

“Lo naksir gue, ya?” tembak Win. Bright tertawa, ia berdecak, “Kenapa lo bisa ngomong gitu?”

“Karena lo menoleransi kejelekan gue. Biasanya, kalo orang naksir, warna merah tuh jadi pink.”

“Apa hubungannya sama warna?”

“Ya anggep aja apa yang selama ini gue lakukan tuh warna merah, jadi harusnya ketika lo liat gue, lo akan liat gue seutuhnya warna merah. Tapi karena lo naksir gue, jadinya lo liat gue warna pink, artinya terpesona,”

“Analogi darimana tuh?! Ada-ada aja dah, lo!” Bright menjitak kepala Win pelan, Win langsung menarik tangan Bright yang mampir di keningnya, “Jadi naksir, apa gak?”

“Menurut lo?” “Tergantung,” “Tergantung apa?” “Kalo gue maju, dan lo gak mundur, berarti lo naksir gue. Kalo mundur, berarti sebaliknya,”

Maju? Mundur? Apa maksudnya?

Masih dengan menggenggam sebelah tangan Bright di telapaknya, Win bergerak maju, mendekatkan wajahnya ke wajah Bright, sampai keduanya bisa merasakan hembusan napas masing-masing. Namun Bright bergeming, ia sama sekali tidak bergerak mundur, ia justru dengan berani ikut mendekatkan wajahnya hingga kedua batang hidung mereka bersentuhan.

And they kissed. Hands in each others hair, messing each other up, both leaning against each other, they kiss and realize this is the person they love and smile because they know that the other loves them back just as much.


“Ini es batunya ya, bang.”

Bright yang sedang sibuk meramu kuah seblak tidak menanggapi ucapan laki-laki yang baru saja masuk ke warungnya. Ia mencicipi kuah seblak buatannya dan berpikir, bumbu apa yang ia lewatkan karena kuahnya terasa kurang sedap seperti biasanya.

“Bang,”

“Tar dulu! Gue lagi mikir resep!” Bright memasukkan telunjuknya ke dalam panci dan, cup, eseorang tiba-tiba saja menarik jarinya dan mengecapnya di bibir.

“Kurang garem dikit,” “Win!”

Bright memukul pacarnya dengan spatula, terkejut dengan kemunculan laki-laki itu secara tiba-tiba. Ia menggunakan jaket parasut kuning dan celana training biru, penampilannya terlihat sangat bukan Win.

“Hehehehehe.” Yang dipukul cengengesan, ia kemudian merangkul Bright, “Apa kabar, sayangku?”

“Husssssh!” Bright melepaskan rangkulan Win dari lehernya, “Banyak orang! Malu tau diliatin!”

“Ya, biar aja sih, biar orang-orang tau kalo kang seblak ini udah punya pacar,” ucap Win jenaka. Bright mendengus, “Kamu kapan pulang ngerampok?” “Kemaren malem. Tadinya aku mau langsung kesini, tapi males ah, nanti aku kamu suruh cuci piring,”

“Yeeee, perhitungan banget sama pacar sendiri,”

“Ih, lagian aku kan capek abis ngerampok,”

Mereka berdua lalu duduk di sebuah meja kosong, kebetulan pengunjung warung belum terlalu banyak karena ini belum memasuki jam makan siang. Bright menyodorkan semangkuk seblak buatannya ke Win.

“Mana bagian aku dari hasil rampokan kamu?” tanya Bright. “Ada. Nanti aku transfer.” Jawab Win.

“Gak usah, ah. Gak mau makan uang curian, haram.” “Tapi kamu pacaran sama orang yang pekerjaannya haram.” “Yang haram tuh cuma makan jatah anak yatim.”

Win tertawa, ia mulai menyuap sesendok seblak ke mulutnya,“Kapan tutup nih warung?”

“Baru aja buka kenapa disuruh tutup?!” Bright meneriaki Win dengan kesal. Enak aja ni orang main suruh nutup-nutup lahan pencaharian gue aja.

“Aku kan mau berduaan sama kamuuu,” “Ya udah disini aja, kamu cuci piring, aku yang masak,” “Ih, gak mauuuu. Maunya jalan-jalan gituuuu.” “Ya udah, hari ini buka setengah hari,” “Yeeey!” Win bersorak girang sementara Bright cemberut. Berkurang separo deh, penghasilan gue hari ini!

Dua tahun sejak pertemuan pertama mereka, Win dan Bright memutuskan untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius. Selama itu,mereka berdua hidup berdampingan dengan pekerjaannya masing-masing, Win tetap dengan pekerjaan kriminalnya sebagai mafia, dan Bright tetap berjualan seblak di warungnya.

Semenjak berpacaran, Win menjadi semakin posesif. Khawatir warung Bright didatangi atau diserang musuh-musuhnya, Win menugaskan anak buahnya untuk berjaga di warung seblak Bright dengan menyamar menjadi tukang parkir, server, tukang tambal ban, satpam komplek dan juga pedagang es degan. Bright merasa apa yang dilakukan Win sangat berlebihan, namun Win bersikeras itu semua ia lakukan semata-mata untuk keamanan pacarnya, sehingga Bright tidak bisa protes lagi.

“Tau gak sih, temen-temen aku dulu ngira kamu itu intel,” ucap Win.

Bright tertawa terbahak-bahak, “Akhirnya ada yang nuduh aku intel di 10 tahunku berjualan seblak, sebuah prestasi.” Bright berucap bangga, dan Win ikut tertawa. “Tapi aku gak percaya, soalnya kamu penakut gitu,”

“Ya siapa tau aku akting? Sok tau aja kamu nih,”

Win tersenyum, ia menatap Bright lekat-lekat, rasanya sudah lama sekali ia tidak memandang wajah pacarnya dalam jarak sedekat ini. Karena ia masih tetap bertahan di pekerjaannya, maka mereka berdua tidak bisa sering bertemu karena Win harus terus berlari untuk menyelamatkan diri dan menghindar dari serbuan musuhnya. Sesekali, jika ia merasa kangen berat dan sedang dalam keadaan aman, Win akan mampir di warung seblak Bright. Ia melakukan apapun agar bisa bertemu pacarnya, entah menyamar sebagai tukang paket, pelanggan seblak, pegawai sensus, atau tukang es batu seperti yang ia lakukan hari ini.

“Makasih ya Bright, udah mau sama orang jahat kayak aku.”

“Kamu tuh nggak jahat,” ucap Bright, “At least sama aku, kamu nggak jahat,”

Sama dan tidak berubah. Kata-kata itu yang selalu Bright ucapkan ketika Win berkata ia jahat. Kata-kata itu yang selalu dapat menghangatkan hati Win, walaupun di jurang terdalam hatinya mengatakan bahwa apa yang ia lakukan dalam pekerjaan ini adalah sesuatu yang buruk dan salah. Ia sebenarnya sangat khawatir dengan keselamatan Bright sejak mereka berpacaran, Win pun merasa ia harusnya berhenti saja menjadi mafia. Namun Thanat menolak keras keinginan Win itu, menurutnya, sekali ia sudah masuk dalam dunia ini, namanya sudah tercatat sebagai buronan negara sehingga sampai kapanpun ia tak bisa keluar.

“Lagian hidupku jadi lumayan thrilling tau sejak pacaran sama mafia. Jadi agak seru soalnya bisa was-was tiap hari, takut pulang-pulang pacarku udah jadi mayat,”

“Heeeeh!” Win merengut, tak habis pikir dengan jalan pikir Bright.

“Beneran tau. Kadang kalo aku overthinking, aku kepikiran gimana kalo kamu tiba-tiba pulang tapi kepalanya bocor atau tangannya ilang satu, aku harus ngapain ya?”

“Ih, serem banget sih, kamu! Aku yang ngejalanin aja gak pernah kepikiran kayak gitu!”

Bright tertawa. Ia kemudian memandang telapak tangannya yang entah sejak kapan sudah digenggam oleh Win.

“Yang penting kamu…. Hati-hati terus, ya? Aku tahu pekerjaan kamu ini bahaya, tapi aku cuma mau kamu inget kalo kamu punya aku, ada aku yang selalu nungguin kamu pulang dengan selamat, utuh, gak kurang satu jari atau gigi, jadi kamu... Harus tetep hidup, ya?”

Win mengangguk pelan, ia kemudian mengecup telapak tangan Bright dan bersandar di bahunya, “Agak laen ya, doanya,”

“Ya jelas, pacarku ini kerjanya emang agak laen,” “Tapi kamu suka kan?” “Iyalah. Kesukaan aku kan yang berandal dan kriminal.”

Win tersenyum, ia mengecup Bright tepat di bibirnya, kemudian memberikan pacarnya itu satu pelukan yang erat dan hangat. Sangat erat hingga Win berharap suatu saat nanti, ia dan Bright bisa hidup berdua dengan tenang, tanpa ia yang harus lari, tanpa ia yang harus menyamar untuk bertemu Bright, dan tanpa ancaman apapun yang bisa menghancurkan kebahagiaan mereka berdua.

And just like that, In the midst of the most dangerous and safest place, they lived happily ever after.