yang tidak pernah diungkapkan

Makan-makan di rumah Arm hari ini judulnya sebenernya bukan farewell, cuma mau pembubaran panitia aja habis seluruh tetek-bengek pensi ini kelar. Ini pertama kalinya rumah Arm kedatangan orang sebanyak rombongan haji. Biasanya, yang sering main disini cuma Jumpol dan Bright, Jane sesekali juga ikutan main kalo lagi mood. Tawan juga sering sih, dulu awal-awal waktu sebelum berantem, dan akhir-akhir ini setelah mereka baikan. Kalau anak-anak Grafam jarang kesini, mereka lebih suka main di rumah Jumpol, soalnya bisa sambil godain Jane, katanya. Ya, karena Arm anak tunggal, jadi dia sebenernya udah kebiasa sama sepi dan nggak terlalu suka keramaian, tapi buat hari ini, boleh deh, sekalian tumpengan dan bancakan karena akhirnya Bright-Win dan Gun-Jane pecah telor juga setelah menanti Surabaya turun salju.

Sambil makan, Bright sibuk menagihi orang-orang yang membuat hubungannya dan Win sebagai ladang judi. Di samping Chimon kalah taruhan di keluarganya sendiri, Arm dan Jumpol juga senjata makan tuan gara-gara mereka pasang taruhan kalau Bright-Win bakalan baikan kurang dari dua minggu. Lah, sekarang malah jadian, cok!

“Makanya, jangan macam-macam anda sama saya,” Bright tertawa karena berhasil merampok rekening Jumpol. Ia mengembalikan ponsel kakaknya itu setelah menuliskan nomer rekeningnya di m-banking Jumpol. “Sogeh kita sekarang, Win!”

Di seberang, Krist tertawa terbahak-bahak melihat Chimon yang masih marah-marah pada Win. Karena Chimon bertaruh 50 juta dan dia kalah, jadinya sekarang masing-masing orang di Grafam dapet jatah 10 juta secara cuma-cuma. Mix mem-puk-puk Chimon yang cemberut. “Sabar ya, sepupuku. Nanti kamu bisa cari duit lagi, bisa danus lagi!”

“PREI COK DANUS-DANUSAN!”

“Haduh, dapet 10 juta cuma modal ngomong ’iya’, doang. Makasih, ya, Chimon!” Win menepuk-nepuk bahu Chimon dengan senang, sementara Chimon mengacungkan jari tengahnya pada Win, “Gak berperikesaudaraan blas!”

Di tengah-tengah semuanya yang sedang sibuk menyoraki Chimon, Arm dan Jumpol yang kalah taruhan, tiba-tiba terdengar derit suara pintu kaca yang terbuka. Semuanya refleks menoleh, dan Arm adalah orang pertama yang menyadari siapa sosok di balik pintu.

“Mild?”

Semuanya mendadak diam ketika Mild masuk, sementara Jumpol dan Tawan yang sedang bercanda berdua menjadi mematung. Setelah kejadian Bright tiba-tiba naik ke panggung dan membuat semua orang panik, mereka berdua lupa kalau Mild sudah balik ke Surabaya. Dan sekarang, begitu Mild muncul lagi di depan keduanya, atmosfir tegang kembali hadir di sekitar mereka.

“Ah, aku ganggu, ya?” Mild tersenyum canggung.

“Nggak, kok! Kan emang kamu tak undang, sini, masuk-masuk!” Arm menyuruh Mild masuk, kemudian mempersilahkan gadis itu duduk di tengah-tengah mereka semua. Bright langsung menatap Jane dengan pandangan ngapain cok wong iki yang dibalas dengan tatapan mana aku tau dari Jane. Dua anak kembar itu buru-buru melarikan fokusnya pada Jumpol, takut tiba-tiba kakaknya itu hilang kendali dan mengacak-acak rumah Arm.

“Aku… Nggak lama, kok. Aku kesini, cuma mau ngasih ini.” Mild membuka tasnya, kemudian ia mengeluarkan sesuatu dan meletakkannya di atas meja. Tidak ada yang maju untuk melihat apa yang Mild bawa, sampai akhirnya Bright yang maju dan mengambil benda tersebut. Ia membaca kalimat demi kalimat yang ada disana, kemudian menjerit heboh.

“Hah????? Ce Mild kate rabi?????????!”


Empat tahun berlalu dan ratusan purnama lewat setelah mereka terakhir bertemu di bandara.

Jumpol duduk bersebelahan dengan Mild di pelataran kolam renang, menggerak-gerakkan kedua kakinya ke dalam kecipuk air. Dua anak manusia itu hanya diam, tidak ada yang berbicara. Semilir angin membelai tengkuk Mild, membuat beberapa helai anak rambutnya lepas dari ikatan. Biasanya, Jumpol akan menyisir rambut Mild dengan tangan, menyematkan surai itu ke belakang telinga, kemudian Mild akan tertawa karena geli. Tapi itu dulu. Sekarang memang ia masih bisa melakukannya, tapi Jumpol tahu diri.

“Kaget ya, aku tiba-tiba balik?” tanya Mild.

“Hmm.” Jawab Jumpol singkat. “Lebih kaget lagi lihat undanganmu.”

Mild tertawa kecil, ia menoleh, menatap Jumpol lekat-lekat, “Kamu apa kabar?”

Pertama kalinya setelah empat tahun, Jumpol kembali memandang Mild tepat di depan kedua bola matanya. Ia tidak lagi menemukan sorot kecewa, marah ataupun terluka disana. Hanya ada sepasang bola mata yang teduh, masih sama seperti dulu, namun kini terlihat lebih bersinar.

“Mild, maaf….”

“Maaf apa?” Mild masih menatap erat Jumpol, ia mengunci netra Jumpol dalam kilat tatapnya yang dalam.

“Aku…” Jumpol kehilangan kata-kata. Lidahnya kelu saat ingatannya memutar kembali kejadian empat tahun lalu.

“Aku yang minta maaf.” Mild menyela. “Kamu nggak salah, Mild.” Jumpol menangkis ucapan Mild.

Mild tidak peduli, ia terus berbicara. “Kata Bright, kamu kayak orang ketempelan tiga bulan, habis aku pergi.” Jancok. Ternyata diem-diem Bright masih kontakan sama Mild! Arek kurang ajar, isok-isok e ngomong lek aku koyok wong ketempelan!

“Kata Bright juga, habis aku pergi kamu nggak ngomong sama Tawan.” Mild mengambil nafas sejenak, “Kamu tau ini bukan salahnya Tawan kan, Off?”

Jumpol menghela napas panjang, ia menganguk. “I just…. can’t blame anyone but him.”

“I know.” Mild mengangguk pelan. “Kamu juga pasti nggak mau nyalahin orang tuamu,”

“Sorry, Mild. Harusnya aku tahu lebih awal kalo kita dijodohin cuma buat nyelametin bisnisnya keluargaku.” Jumpol menghela napas berat. “Tapi perkara aku sayang kamu, itu beneran.”

“Iya.” Mild tersenyum. “Aku juga.”

Gadis bertubuh mungil itu melanjutkan kata-katanya, “Tapi aku enggak bisa kalo ternyata kita nikah kontrak gara-gara bisnis doang.” Ia menghela napas panjang. “Waktu itu, Tawan cuma mau bantu aku, Off. Tapi mungkin caranya salah.”

“Kamu kenapa enggak ngomong ke aku kalo kamu udah tau duluan tentang itu?”

Mild melepaskan pandangannya dari Jumpol, ia menatap langit-langit malam. “Sekarang kalo Papi sama Mami udah maunya kayak gitu, aku bisa apa? Kamu tau rasanya, kan. Kita bisa apa, Off?”

“Hidup di keluarga kayak gini tuh, mau nggak mau, garis hidup kita emang udah jelas dari pertama kita lahir, iya, kan? Kita bakalan tumbuh gede dengan ngelanjutin bisnis turun-temurun.”

And we can’t do anything to change that.”

“Aku awalnya kira, kamu udah tau tentang nikah kontrak ini, tapi kamu diem aja. You seem like someone who really into your family business, and when it crashes, I think you'll do anything to save that.”

Including take that marriage contract with me.”

“Salahku emang yang enggak tanya ke kamu duluan. Waktu itu, aku cuma bisa ngomong ke Tawan. He’s not angry at you, tho. Because I explained everything. He brought nothing but comfort. At the time, aku tau hal yang paling bikin bisa kecewa orang tua ku adalah kalo aku ngaku aku pacaran sama Tawan. You know that my parents don’t like him because he’s … not like us?”

You're looking for a safe word to not call him poor, don’t you?” tanya Jumpol.

Mild tertawa. “That’s all. Yes, we’re dating. Karena aku yang minta Tawan pacarin aku.” Mild menghela napas pendek, “Tapi aku nggak bolehin dia bilang ke semua orang kalo aku yang minta. Include his family.”

I know I was wrong. Aku terlalu cepet ambil keputusan, dan setelah tahu ternyata kamu enggak ada sangkut-pautnya sama rencana nikah kontrak itu, aku malu banget. Makanya aku kabur ke Paris.” Mild menyelesaikan ceritanya.

“Kamu nggak pernah ngomong sama Tawan habis itu?”

Jumpol menggeleng. “Aku udah terlalu naif. Kebawa emosi, sakit hati, semuanya. Aku nggak mau dengerin penjelasan Tawan sama sekali.”

“Waktu kamu jelasin semuanya lewat email waktu itu, semuanya udah terlanjur rusak. Aku tau tentang nikah kontrak itu telat, pas aku udah terlanjur bilang ke orang-orang kalo Tawan yang ngerebut kamu disaat kita mau tunangan.”

Jujur dari ucapan Mild yang keluar dari mulutnya, Jumpol sudah tahu. Jumpol tahu kalau mereka berdua backstreet memang hanya untuk menghancurkan upaya pertunangannya dan Mild. Jumpol tahu kalau Tawan sebenarnya tidak bermaksud merebut Mild dari dirinya. Namun bekas luka yang terlanjur mengendap di hatinya membuat Jumpol tutup mata atas semua kenyataan itu. Terlepas dari apapun yang terjadi, kala itu, ia tetap memilih untuk membenci Tawan daripada menaruh murka pada keluarganya sendiri.

“Mild, kamu beneran pernah sayang sama Tawan?”

I do like him.” Jawab Mild. “But not much as I loved you back then.” Pelan tapi pasti, dan terdengar sungguh-sungguh, Mild menjawab pertanyaan Jumpol dengan raut wajah serius.

But we didn’t work well. Dia emang selalu ada waktu aku kecewa sama kamu, waktu aku kecewa sama keluargaku. Tapi setelah jalan beberapa bulan, aku rasa emang enggak diciptakan buat bareng-bareng.”

I think it's because a little bit of myself still loves you, Off.”

And I still love you, Mild.” Jumpol berkata, menahan suaranya agar tidak bergetar. “Regardless of what has happened to us, I’m happy that you have chosen your own path.”

Setelah empat tahun mereka yang lalu mereka dipisahkan oleh amarah dan air mata, hari ini akhirnya semesta mempertemukan mereka di waktu yang baik namun dengan garis takdir yang berbeda. “Boleh peluk, nggak?” tanya Jumpol. “Janji, terakhir. Sebelum kamu jadi istri orang.”

Mild tertawa, ia menyeka air matanya yang tiba-tiba jatuh. “Iya, boleh.”

Jumpol kemudian memeluk Mild, membawa perempuan yang pernah ia cintai, bahkan sampai sekarang masih ia cintai itu dalam dekapnya, untuk terakhir kali, berbagi emosi yang tidak bisa dicurahkan dalam empat tahun terakhir.

Setelah melepas peluk, Jumpol tertawa. Tertawa sampai menangis. Ia geleng-geleng kepala, lalu berkata, “Mild, Mild. Coba o kamu tau ya aku sama Tawan udah berantem kayak apa, taunya nggak ada yang dapet kamu!” Mild ikut-ikutan tertawa. “Lagian kalian, sih!”

“Aku bilang Tawan dulu, ya. Suruh kesini.” Jumpol kemudian menelepon Tawan, memintanya menghampiri Mild.


Beberapa saat kemudian, Tawan datang dengan wajah ragu-ragu, Jumpol mengibaskan tangannya, menyuruhnya mendekat. “Nih, mau ngomong gak kon sama calon istri orang?”

Tawan menatap canggung Mild, lalu ia balik menatap Jumpol dengan pandangan heran, seakan menanyakan are-we good?

“Ish, cepetan. Aku wes mari!”

“Mild.” Suara Tawan masih terdengar canggung, namun begitu melihat wajah Mild yang hanya tersenyum-senyum jenaka, ia jadi lebih bisa menguasai diri. “I’m happy for you. Selamat, ya.”

Mild mengangguk sambil tersenyum. “Thanks, Tawan. Aku minta maaf, ya, for passed all the blame on you. You’re my good friends, I should have known that you don’t deserve it.”

“No problem.”

“Nggak mau peluk?” tanya Jumpol. Tawan menggeleng-geleng, “Calon bojone wong, cok!”

“Lah. Iya sih, tapi aku mang peluk Mild.”

“Ngawur banget, cyaaaak!”

Mild tertawa terbahak-bahak melihat interaksi Tawan dan Jumpol. “Halah, gak papa. Lagian calonku masih di Paris, ga bakal tau wong e!”

“Oh, bule? Wah, pantes kalah awake, Tay.”

“Kalian aja yang pelukan, gimana? Udah officially baikan, kan? Baikan di depan aku dong! Yuk, katanya kepompong!” Mild kemudian mendorong Jumpol dan Tawan agar mendekat.

Jumpol melihat Tawan yang berdiri di depannya dengan pandangan aneh. Iya, memang mereka udah officially baikan sih, tapi baru di chat aja. Itu juga enggak serius. Jumpol rasa, nggak ada salahnya buat mendeklarasikan kembali pertemanan mereka ini secara langsung.

“Tay, maaf lek beberapa tahun terakhir iki aku keterlaluan. Gak gelem ngerungokno kon, tutup mata ambek kenyataan lek sebenere kon gak sepenuhe salah. Aku seng jahat, aku seng nggarai hubungan e awake dadi rusak.”

“Dan Jumpol, aku wes nggarai hidupmu hancur dengan aku pacaran mbek Mild, dan kon wes nggarai aku tertekan dengan nggosipno aku nang kabeh arek sakkampus. Maaf aku wes sabotase konsep pensimu, maaf aku wes nggarai kon berantem ambek golonganmu, tapi suwun wes gelem nerimo aku maneh, dan nggarai hubungan awake, dan aku, adek-adekku, jadi lebih apikan daripada sebelume.”

Jumpol mengulurkan tangan, menjabat tangan Tawan. “Impas?”

“Impas.”