Pomodoro is quite good, actually.

Meskipun aslinya pengen ngomongin seputar manajemen waktu dan aktivitas pake teknik Pomodoro, setelah duduk dan nulis ini kepikiran kalau ada beberapa hal yang lebih mendasar yang sekiranya berpengaruh betul dalam penggunaan metode ini akhir-akhir ini. Sebelum ini, aku pernah mencoba memakai Pomodoro untuk mengatur waktu kerja, tapi hasilnya kurang memuaskan ataupun nggak terasa berguna.

I won’t bother you with details about Pomodoro technique. Artikel wikipedia tentang ini sudah cukup untuk menjabarkan mekanisme dasar teknik Pomodoro, kalau malas ngeklik tautan dari laman web/blog lain yang biasanya dibuat oleh mereka yang punya interest kepada kamu untuk menggunakan jasa manajerial mereka.

Inti utama dari Pomodoro adalah membagi waktu aktivitas menjadi potongan-potongan kecil, yang diselingi oleh rehat sejenak (5 menit untuk rehat pendek dan 15 untuk rehat panjang biasanya menjadi acuan dasarnya, tapi ini bukan aturan pakem).

Ada beberapa poin yang bisa aku tarik dari penggunaan Pomodoro akhir-akhir ini. Pertama, Pomodoro baru efektif kalau digunakan untuk memecah tugas/aktivitas yang memang jangka pengerjaannya panjang, yang kamu tahu bakal jenuh untuk dilakukan. Kalau Pomodoro digunakan untuk aktivitas yang memang bisa dilakukan secara ‘autopilot’ ataupun senang dilakukan, efektivitasnya kurang terasa, atau bahkan malah menambah beban kerja yang seharusnya. Misal, untuk nulis satu artikel ini, aku nggak perlu memakai Pomodoro karena: 1) aktivitasnya nggak bakal menyita waktu yang panjang, dan 2) ini bukan sesuatu yang membutuhkan fokus secara penuh untuk dilakukan, atau bisa dikerjakan dengan agak nyantai. Bakalan agak lama dibandingin kalau mengkondisikan sesi ngerjainnya, sure, tapi kalau diplanning sampai sedemikian rupa malah bikin males dan akhirnya terbengkalai.

Kedua, Pomodoro itu masih butuh prasayarat pemfokusan yang harus lebih dulu dipenuhi, atau setidaknya bersamaan dengan waktu mengerjakan aktivitas dengan Pomodoro. Prasyaratnya adalah memfokuskan diri untuk mengerjakan aktivitas tersebut.

Ada beberapa resource terkait upaya memfokuskan diri ini, tapi yang sudah lama aku simpan di Vault pribadi adalah artikel blog dari University of San Francisco. tl;drnya:

  • Eliminate distraction, be it internal or external, as much as possible.
  • Create to-do list with smaller task to create easier winning goals and to not make you feel overwhelmed by the tasks.
    • Start with small task.
  • Take regular breaks between tasks and have enough sleep.
  • Focus on one task at a time.

Dalam kiat-kiat ini, teknik Pomodoro bisa masuk di poin kedua (dan ketiga), dalam memecah kegiatan untuk membuat pencapaian harian, yang bisa menjadi positive feedback loop, jadi lebih terlihat dan mudah untuk dikuantifikasi. Dan ini bukan menjadi hal pertama yang menjadi fokus; yang lebih perlu dilakukan adalah mengeliminasi distraksi, baik internal ataupun eksternal. Eksternal bisa berupa faktor-faktor lingkungan, seperti tempat beraktivitas, sedangkan internal bisa berupa hal-hal yang berkaitan dengan pengerjaannya, misalnya dari aktivitas-aktivitas yang lebih penting untuk dilakukan terlebih dahulu[^1]. Misalnya, aku biasanya mematikan wi-fi laptop waktu memulai sesi Pomodoro untuk memaksa nggak ngecek web, dan hape difokuskan untuk membuka timer Pomodoro. Ketika memang butuh jaringan internet nanti waktu mengerjakan, biasanya aku sudah di dalam kondisi fokus sehingga nggak sebegitu terpengaruh untuk membuka hal-hal lain selain yang diperlukan.

Ketiga, Pomodoro kurang cocok kalau digabungkan dengan pengerjaan berbasis metrik atau bertarget. Dari penggunaanku akhir-akhir ini, Pomodoro baru terasa berguna banget setelah aku fokus menggunakan jumlah sesi Pomodoro sebagai metriknya, daripada seberapa banyak hal yang harus selesai dilakukan. Satu atau dua sesi Pomodoro (dalam hal ini maksudku adalah per 25 menit pengerjaan sebelum rehat pendek) harusnya sudah cukup untuk memberi ukuran seberapa jauh kita bisa mengerjakan aktivitas yang difokuskan. Langkah selanjutnya baru menentukan apakah itu masih bisa ditingkatkan lagi, misalnya karena masih ada beberapa hal yang menghalangi konsentrasi pengerjaan, atau hal-hal lain. Yang utama adalah konsistensi, daripada kuantitas yang murni – menulis +-500 kata per satu sesi secara konsisten lebih baik daripada bisa menulis 1000 kata dalam satu sesi, tapi drop di sesi selanjutnya menjadi 200 kata hanya karena capek pikiran di sesi sebelumnya.

[^1]: See also: https://maulanamd.my.id/20-Blog/21-Tulisan-Receh/21.03-Lainnya/You-Can't-Put-Your-Egg-into-Two-Basket-at-the-Same-Time