Refleksi Konsumsi Rokok, dan Passive Suicidal Ideation

TW: discussion of suicide and depression.

Sudah setahun lebih aku jadi perokok. Aku mulai ngerokok setidaknya dari awal tahun 2023, dan baru aktif sehari-hari di pertengahan tahun yang sama.

Nggak ada alasan spesifik—aku nggak pernah ditawarin rokok sama teman-teman (apalagi sebelumnya juga bukan tipikal yang suka nongkrong di warung untuk bercengkrama, tempat yang lumrah untuk bercengkrama sambil merokok), dan aku juga nggak mau nyalahin orang lain karena keputusanku untuk merokok ini. That said, impetusnya memang karena teman; ada teman dekat yang ngepost di Facebook kalau dia balik ngerokok lagi, dan aku jadi penasaran gimana rasanya. Kondisi yang masih depresif/mengarah ke high-functioning depression waktu itu memang mendukung sekali untuk kena barang adiktif seperti rokok, dan karena itu masih keterusan sampai sekarang. Meskipun sekarang depresinya sudah mulai kambuhan, adiksi ini masih tetap kerasa, meskipun juga nggak berusaha aku pikirkan—as long as it could get me going, that’s fine.

That said, memang makin lama konsumsinya jadi makin naik. Sebelum paruh pertama 2023, aku masih bisa merokok cuma sekali dalam 2-3 hari. Selama di Lumajang, karena kawan yang aku tinggali dan membantu proses pengerjaan skripsi—dan karena skripsi itu juga—aku bisa menghabiskan sebungkus rokok dalam waktu 4 hari, dan setelah bergeser ke tingwe rasanya waktu itu bisa habis 4-6 batang sehari. Sekarang, kalau ada yang harus dikerjakan (dan ngerjakannya di luar juga), aku bisa menghabiskan 4-6 batang sekali sesi ngerjakan; di rumah lebih sedikit karena masih ada faktor pengontrol “oh iya, ini di rumah, ga boleh banyak-banyak.”

Do I regret this? Not really. Faktor utamanya adalah aku masih bisa mengontrol konsumsinya, atau at least punya bayangan/ilusi kalau aku bisa mengontrol itu, seperti “paling nggak aku ga ngabisin sebungkus sehari.” Faktor lainnya adalah karena aku sudah paham resiko dari merokok seperti apa, resiko penyakit seperti apa yang bisa aku dapat karena merokok ini.

Ini, yang kemudian membuatku berpikir soal passive suicidal ideation.

Kalau belum tahu, passive suicidal ideation itu kondisi dimana seseorang nggak memikirkan secara aktif bahwa dia ingin mengakhiri hidupnya, entah dengan usaha sendiri ataupun dengan kesempatan dari luar, tetapi masih ingin hidupnya berakhir (stuff like wanting to die by getting hit by a truck – sometimes, that is – for example). Contoh paling sederhananya begini: Apa kamu tidak masalah kalau besok pagi tidak akan bangun selamanya? Kalau jawabanmu iya, besar kemungkinan kamu punya passive suicidal ideation. Penyebab mati “natural” ini bisa bermacam-macam, but you should’ve get the idea. Tautan untuk membaca lebih lanjut soal ini.

Mungkin aku punya tendensi seperti ini. Mungkin. Tapi sekarang sudah tidak dalam kondisi yang sebegitu parah. Yang terpikirkan olehku adalah aku sudah dalam posisi acceptance soal hidup-mati—kalau memang suatu saat aku akan mati, mendadak atau tidak, ya sudah. I’ve lived a life and I accept those results—termasuk jika kondisi kesehatan memburuk karena rokok ini.

Yang membuatku bimbang adalah apakah ini bentuk dari passive suicidal ideation ataukah sudah di tahap selangkah lebih maju dari pemikiran itu. Apa ini masih bisa dikategorikan demikian, dan apakah ini sesuatu yang masih bisa dibilang wajar? Aku belum berdiskusi seputar ini dengan psikiaterku, dan sekarang juga belum punya jawaban yang pasti. Ini bukan sesuatu yang terpikirkan olehku secara sering dari waktu ke waktu , tapi juga masih sesuatu yang mengganjal ketika teringat lagi. Kali ini aja aku kebetulan kepingin nulis dan ini salah satu yang pertama kali terbesit di pikiranku. Kalau ada yang ingin didiskusikan soal ini, silahkan lewat reply/komentar, monggo.

Be well, all of you.