Selamat Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (dan sedikit cerita seputar Asahina Mafuyu).

“kalau punya energi untuk bunuh diri karena depresi, kenapa nggak menggunakan energi itu untuk mengubah kondisi yang ada?”

If only it could be that easy, my dude.

Asal muasal dari terbesitnya keinginan untuk bunuh diri itu secara garis besar begini: kondisi diri yang dirasa tidak bisa diubah, entah karena faktor eksternal seperti masalah hidup yang menumpuk yang bertubi-tubi, faktor internal seperti depresi, ataupun keduanya.

Ketika seseorang memiliki depresi, persepsi tadi bisa berlipat ganda ataupun berkali-kali terasa lebih berat.

It’s like falling down into deep, seemingly endless abyss that sucks up everything about you—your will to live, or even worse. Trust me on this that once you have a severe, or even clinical depression, your energy to do everything will be used up just for trying to have a semblance of happiness day by day.

That said, it is not exactly impossible to get out of that cycle. Ada harapan yang bisa didapat ketika kondisi berubah sedikit maupun banyak, tapi itu mungkin cuma mengangkat dirimu menuju permukaan supaya bisa bernafas sambil tersengal-sengal, tapi kamu masih perlu berenang atau melangkah ke daratan. The fight still goes on, and your depression is still trying to kick your ass.

Ini kenapa support system menjadi sesuatu yang penting untuk penderita dan penyintas depresi, dan juga bagi mereka yang punya keinginan untuk bunuh diri ataupun menjadi penyintas. Seseorang atau kelompok orang yang bisa memberi dukungan bahwa kamu masih bisa bergerak menuju daratan yang aman, terlepas dari sejauh apa kondisinya.

Kamu mungkin berpikir kalau anggapan yang ada di quote di atas bisa memberi semangat bagi mereka yang sedang berjuang melawan keinginan bunuh diri mereka, tetapi bagi mereka, ucapan itu bisa jadi malah dirasa insensitif. Kamu mendiskreditkan upaya dan energi yang mereka kerahkan sebelumnya untuk melawan perasaan itu, dan ketika mereka akhirnya menyerah dan mengikuti arus, kamu malah tiba-tiba muncul untuk bilang “ayo, kamu pasti masih bisa berenang kesini!”, bukan di atas sekoci penyelamat, tapi di atas (yang bagi mereka adalah) kapar pesiar. Mereka mungkin bisa selamat nantinya ketika menemui sesuatu yang bisa mereka pegang untuk mengambang di permukaan, tapi siapa yang tahu kalau mereka akhirnya selamat terlepas dari adanya itu atau tidak?

Contoh dari media populer mungkin perlu dalam hal ini. Let’s talk about Asahina Mafuyu from Project Sekai.

mafuyu

Dari luar, Mafuyu adalah anak dan murid teladan; Nilai sekolahnya bagus, aktif dan terkenal sebagai teman yang bisa diandalkan di sekolah, dan bagi orang tuanya, seorang anak dengan jalan ke masa depan yang cemerlang sebagai seorang dokter. Dibalik itu, Mafuyu is a mess—dia merasa kehilangan jati diri karena terlampau sering berperilaku sebagai seseorang yang “perfect” bagi orang di sekitarnya, sampai-sampai ketika memikirkan apa yang sebenarnya dia ingingkan, tidak ada jawaban yang dia temukan. Kondisinya terlampau parah sampai ia tidak bisa merasakan apapun dari makanan yang dia konsumsi. Ketika dia berusaha mengekspresikan itu di dalam musik secara mandiri (Mafuyu bertindak sebagai penulis lirik di sirkel 25-ji, tetapi dalam awal cerita utama dari Project Sekai dia sempat mencoba membuat musik dengan inisial sendiri, OWN), teman-temannya yang waktu itu tidak mengetahui kalau akun tersebut milik Mafuyu menyebutkan kalau musik yang dibuatnya sangat bagus, tetapi terasa lifeless.

Pada dasarnya ini adalah upaya untuk menggambarkan seberapa parah kondisi depresi dari karakter Mafuyu. Mungkin penggambarannya terlampau ekstrim dari contoh-contoh yang ada di dunia nyata (kehilangan sense of taste, misalnya, punya dasar yang bisa dibaca di sini – seringkali yang terjadi adalah orang yang memiliki depresi kehilangan nafsu makan dan ketika makan, rasa makanannya terasa lebih hambar), tetapi tujuannya adalah untuk menggambarkan bahwa Mafuyu benar-benar di ujung tanduk seputar depresinya.

It is only with the help of her friends, who have their own problems, and a lot of time (more than one year of progress in-story), that Mafuyu have the courage to address her problem to the root of her problems; her Mom and her way of controlling Mafuyu to be her ‘perfect child’. Perjalanan dari penyelesaian ini juga tidak mudah, dan ketika Mafuyu akhirnya mengkonfrontasi ibunya, hasilnya juga tidak sesederhana itu—Mafuyu akhirnya kabur dari rumah ketika ibunya malah balik meng-gaslight Mafuyu dan menyalahkan teman-temannya sebagai ‘racun’ yang mempengaruhi Mafuyu dari imejnya sebagai ‘perfect child’ ibunya. It is a progress, but certainly not the happy ending that she deserves, yet.

Jika dikembalikan lagi dengan quote sebelumnya, energi untuk mengubah semuanya baru bisa keluar ketika akhirnya Mafuyu memiliki support system yang bisa membuatnya berubah sedikit demi sedikit. Semua itu tidak akan bisa terjadi kalau Mafuyu masih sendirian menghadapi masalahnya, kalau 25-ji!Miku nggak mengulurkan tangan kepada Kanade (dan Ena serta Mizuki), orang yang dilihatnya sebagai sosok terdekat yang dapat membantu Mafuyu, untuk membantu kondisi Mafuyu menjadi lebih baik.

Ucapan ‘menceramahi’ upaya hidup seseorang memang lebih mudah diucapkan, dan sekilas bisa membuatmu terlihat jadi si paling peduli, tapi pada akhirnya itu juga nggak punya pengaruh yang berarti kepada mereka yang membutuhkan diberitahu seperti itu. That’s not how you coerce your friend who’s suicidal.


Tulisan ini dibuat untuk merayakan hari pencegahan bunuh diri sedunia, dan kebetulan ada post Facebook yang kemarin sempat tersebar di kawan-kawan seputar ini—yang aku quote di atas adalah cuplikan seingatku atas isi post tersebut (orangnya sudah aku blok, dan aku juga malas ngecek lagi isi postnya apa meskipun sempat aku screenshot tadi pagi). Nggak bakal aku sematkan tautannya karena ada indikasi orang yang mengeluarkan pernyataan ini adalah wannabe e-artis. Contoh Mafuyu yang aku pakai pun selain karena cocok untuk membahas masalah ini, dia juga karakter favorit dari orang yang mengunggah post tersebut. Ironis, kan? Your words for chasing clout won’t save someone– real action is.