Malam Minggu Pertama

Setelah beberapa hari lalu berjanji untuk bertemu, akhirnya hari Sabtu pun tiba. Gema tidak dapat berbohong soal dirinya yang menanti hari ini datang, tapi mendadak merasa gugup karena akan bertemu Dalu secara kasual.

Memang Gema selalu menyapa Dalu tiap kali menjemput keponakannya itu, bahkan jika Bella masih belum ingin pulang dan asyik bermain dengan temannya, Dalu sering menghampiri dan mengajak mengobrol berdua. Hanya saja, mereka tidak banyak membicarakan hal-hal di luar konteks Bella atau kawan-kawannya. Jadi, ia kali ini merasa bahwa pertemuan secara kasual ini lah waktu yang tepat untuk mengenal Dalu lebih jauh.

Setelah membaca pesan dari Dalu, Gema pun melajukan mobilnya menuju lokasi yang sudah diberikan. Hatinya sedikit berdebar karena tidak sabar untuk bertemu dengan Dalu, bahkan ia sampai berdandan demi penampilan yang baik di hadapan orang yang akan ditemui.

Laju mobilnya sama tidak sabarnya dengan ia yang ingin segera menemui Dalu, berharap dapat segera melihat sosok manis itu sesegera mungkin. Meski baru kemarin bertemu dan saling menyapa, ia menyadari ada tense lain yang membuatnya berdebar. Entah apa Dalu juga merasakannya, yang jelas ia kini berdegup karena perasaan yang sulit didefinisikan.


Gema berniat untuk menghubungi Dalu dan memintanya keluar setelah sampai, namun ia sudah lebih dulu menemukan pemuda yang ia ketahui setahun lebih muda itu sudah berdiri dengan pakaian rapi dan senyuman manis menyambut kedatangannya. Kepalanya mendadak kosong, tatapan berbinar dan senyum lebar yang dilayangkan padanya membuat ia melihat sekali lagi bunga-bunga yang berjatuhan di sekeliling Dalu.

Dalam balutan kemeja putih kebesaran, juga celana jeans yang terlihat sama kebesarannya, ditambah tas selempang yang dikenakan melintang dari bahu kanan ke sisi pinggang kiri; tidak ada kata yang tepat yang dapat menggambarkan apa yang Gema rasakan saat melihat penampilan sederhana dari orang yang selama ini dilihatnya mengenakan seragam pendidik di TK. Buru-buru ia menyimpan penampilan Dalu sore itu dalam memori, memastikan kali ini tidak akan terlupakan hingga nanti.

Di sisi lain, saat Gema telah makin dekat, Dalu terpukau. Mata yang saling bersitatap membuat ia sejenak membiarkan dirinya merasa kosong, tapi juga penuh dengan perasaan senang melihat sosok yang lebih tua. Meski ia tahu bahwa Gema selalu terlihat rapi dan tampan, namun pada detik ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda hingga dirinya begitu terkagum.

Gema punya aroma yang nyaman memenuhi rongga hidung, terpecah di pusat sarafnya dari napas menuju paru-paru dan harum yang terpatri di ingatan. Dalu yakin dirinya tidak akan dengan mudah melupakan bagaimana Gema tercium begitu manis, tapi juga menenangkan.

“Selamat sore, Mas Gema,” sapa Dalu pada akhirnya. Terlihat ia tersenyum makin lebar hingga matanya tenggelam di balik pipi yang merekah. “Susah, nggak, cari rumah saya?”

Sapaan dari Dalu membuat Gema terhenti dari keterkagumannya, ia lantas berdahem lembut sebelum balas tersenyum. “Sore, Dalu. Yuk, berangkat. Hari ini saya lagi pingin Sushi, Dalu keberatan gak ya kalau harus makan Sushi?”

“Nggak masalah, Mas,” jawab Dalu sambil beranjak mendekat untuk naik ke kendaraan Gema. Setelah memakai sabuk pengaman, ia pun menoleh pada yang lebih tua. “Yuk, berangkat.”

“Eh, tapi harusnya yang pilih menu 'kan Dalu, masa saya?” Gema menyahut lagi, menatap balik pemuda yang kini sudah duduk di sebelahnya. “Dalu mau makan apa?”

Dalu terkekeh kecil mendengar penuturan Gema. “Mau makan Sushi, Mas,” jawabnya dengan lembut, “yuk, beli Sushi yang enak, yang Mas Gema tau.”

Tentu saja Gema tertawa karena balasan Dalu. Sebetulnya ia jadi merasa bersalah karena lebih dulu menyebutkan apa yang ia ingin makan, mana tahu sebetulnya Dalu tidak terlalu ingin makan Sushi. Jadi, Gema pun mencatat untuk dirinya sendiri, jika di kemudian hari ia berkesempatan makan lagi bersama Dalu, ia tidak boleh mengatakan apa yang ia inginkan lebih dulu.


Gema sengaja mencari restoran Sushi yang cukup terkenal mengingat ia sudah jadi pihak yang lebih dulu mengatakan keinginannya. Tentu ia tidak boleh membelikan makanan yang tidak terlalu enak untuk Dalu, apalagi di malam pertama mereka bisa berduaan seperti ini.

“Sudah sampai, Dalu. Yuk, turun.”

Ucapan Gema disusul dengan Dalu yang melepas sabuk pengaman, lalu tiba-tiba pintu sebelahnya telah terbuka dan nampak sosok Gema berdiri dengan senyuman. Dalu gelagapan karena terkejut dan tidak menduga akan dibukakan pintu, tapi buru-buru mengubah ekspresinya menjadi senyuman untuk menyambut raut cerah Gema (yang sepertinya puas karena berhasil lebih dulu membukakan pintu).

“Terima kasih, Mas Gema,” ucap Dalu lirih setelah beranjak keluar. Dalam hati berdebar, namun berusaha untuk tetap tenang dan mengikuti langkah Gema masuk ke dalam restoran yang belum pernah ia datangi sebelumnya.

Di malam itu, keduanya sama-sama menemukan satu hal baru. Ternyata, pertemuan kedua yang disusun dengan sengaja bisa menumbuhkan benih-benih tak terduga. Gema mungkin sudah menyukai Dalu sejak awal bertemu yang akhirnya jadi makin menyukai senyum manis dan malu-malu yang tergambar di paras Dalu, namun Dalu menyadari bahwa ternyata Gema sudah masuk ke dalam hatinya lebih cepat daripada perkiraan hingga mungkin dadanya kini telah penuh dengan perasaannya untuk Gema.


© 2022, Kamelia and SHO.