Ada beberapa malam dimana para kuli dosen bisa bernapas lega tanpa dibebani tugas dan praktikum, malam ini misalnya. Berhubung semua kamar mereka ada di lantai dua, mereka berkumpul di ruang tengah di lantai satu, tepat di tengah-tengah antara dapur dan garasi.

Tapi paling lama sampai jam sepuluh, lebih dari jam segitu, mereka bubar. Kalau masih lanjut, ya di kamar masing-masing, cowok-cowok dan cewek-cewek. Bukannya apa-apa, meski sudah saling kenal dekat, tapi rasanya agak kurang etis kalau cowok-cewek berkumpul sampai larut malam, apalagi kalau suara mereka terdengar oleh tetangga.

Karena bersebelahan dengan garasi dan gerbang juga belum ditutup, mereka bisa melihat Jefran dan motornya masuk. Jefran melepas helm dan jaket lalu dia sampirkan begitu saja di motornya. Jefran berjalan mendekat, disambut pertanyaan bernada manja oleh Hema, “tumben kamu udah pulang?”

Mereka semua menatap Hema geli, kecuali Naka yang justru membalas dengan nada yang sama, “nggak rapat, sayang.”

Jefran geleng-geleng. “Nih, martabak,” katanya sambil meletakkan dua kotak martabak di tengah karpet lalu duduk di sebelah Jella.

“Wih, makasih, Jef,” seru Erin antusias dan mulai membuka satu kotak bersama Hema.

“Ini mah terang bulan,” komentar Hema setelah membuka kotaknya.

“Udah bener martabak,” Karin ikut mengomentari setelah mengambil sepotong.

“Terang bulan tuh lebih kreatif, inovatif, estetik, dan puitis,” sahut Gisel.

“Perkara nama makanan aja diributin,” balas Naka.

“Lo tim apa, Go? Martabak apa terang bulan?” Erin meminta suara dari Rigo.

“Hok lo pan,” jawaban Rigo dibalas toyoran oleh Hema.

Gisel, Karin, Erin, dan Hema masih 𝑜𝑝𝑒𝑛 𝑑𝑖𝑠𝑐𝑜𝑢𝑟𝑠𝑒 tentang nama makanan yang tepat. Sedangkan Naka dan Rigo memperhatikan Jella dan Jefran dari tempatnya. Naka berbisik ke Rigo, “taruhan gocap, Jella bakal bangun terus pindah tempat.”

Rigo mengangguk, “oke, kata gue Jella bakal tetep disitu.”

Jefran cuma ketawa-ketawa menyimak perdebatan teman-temannya tanpa sadar kalau diperhatikan. Sewaktu menoleh ke samping, Jefran mendapati Jella sudah berdiri, seperti biasa. “Mau kemana?”

“Ambil minum,” jawab Jella, masih sambil berdiri.

“Sini, gocap,” Naka cekikikan sambil berbisik ke Rigo.

“Nanti aja,” kata Jefran. Jella menurut dan kembali duduk meski aslinya dia lagi deg-degan.

“Sini, balikin.” Rigo merebut lagi uangnya dari tangan Naka.

Diskusi Gisel dkk. makin serius. Mereka bahkan mulai mencari sumber-sumber terpercaya untuk mengetahui sejarah per-martabak-an di Indonesia. Membaca tulisan di 𝑏𝑙𝑜𝑔, menonton video di 𝑦𝑜𝑢𝑡𝑢𝑏𝑒, bahkan mungkin salah satu dari mereka berhasil menemukan jurnal penelitian yang membahas hal itu.

Jella megambil sepotong martabak. Kalau boleh jujur, Jella mau ketawa lepas karena tingkah teman-temannya yang mirip anggota Srimulat. Tapi dia takut kalau nanti ada cokelat yang menempel di giginya, atau kalau ternyata makannya belepotan, terus Jefran melihatnya. Jadi, Jella cuma ketawa seadanya.

“Sorry, gue nggak tahu lo sukanya rasa apa.”

Jella menoleh dan sadar kalau Jefran ngomong sama dia, Jella langsung beralih menatap ke potongan martabak di tangannya lalu menjawab, “gue makan apa aja kok, Jef.”

“Ada yang spesifik nggak?”

Jella menoleh lagi sambil mengangkat alis.

“Lo sukanya rasa apa?”

“Hm?”

“Biar gue tahu kalau nanti mau beliin lagi.”

”... oh, gue suka yang keju,” jawab Jella sambil menepis pikiran kalau Jefran nanti bakal membeli khusus untuknya.

“Aaah, 𝑜𝑘𝑎𝑦 𝑛𝑜𝑡𝑒𝑑.” Jefran senyum. Jella nggak menjawab, tapi Jefran bertanya lagi, “kita jarang ngobrol ya, La?”

Jella cukup bingung harus menjawab apa, “eh—iya, Jef.”

“Kenapa, ya?”

”....”

“Tapi nggak apa-apa sih, kalau sering-sering takutnya naksir.”

Jella melongo. Betulan melongo dengan ekspresi blank. Sumpah, Jella tahu kalau Jefran juga bisa bercanda dan lucu, tapi nggak pernah terpikirkan sekalipun olehnya kalau bercandanya Jefran bisa begini.

Jefran sendiri mengira Jella bakal merespon kalimatnya sambil ketawa. Tapi reaksi yang diberi cewek itu membuat Jefran merasa kalau kalimatnya tadi cukup 𝑎𝑛𝑛𝑜𝑦𝑖𝑛𝑔. Jadi, Jefran buru-buru menambahkan, “bercanda doang, La.”

“Hahahaha,” Jella ketawa meskipun hatinya ketar-ketir. Cuma ketawa soalnya takut salah ngomong. Tapi dia lalu melanjutkan dalam hati, 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑔𝑜𝑏𝑟𝑜𝑙 𝑎𝑗𝑎 𝑔𝑢𝑒 𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑛𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑛𝑎𝑘𝑠𝑖𝑟!

Jefran nggak membalas apa-apa lagi. Dia menoleh ke Naka dan Rigo yang ternyata memperhatikannya sambil tersenyum mengejek. Jefran menghela napas, ya sudah, alamat jadi bahan bercandaan minimal selama satu semester.