05.

Sanzu bukan korban penculikan, setidaknya untuk sekarang. Ia sadar saat melihat kaos Baji tersampir di kursi dan selembar kertas di atas meja yang diperuntukkan dirinya. Beranjak dari kasur, ia meraih kertas tersebut.

…Ya, pasti ini dari dia. Tulisannya berantakan sekali dan sulit dibaca. Dengan susah payah, ia memecahkan puzzle rumit yaitu tulisan tangan Baji. Pasti guru-guru sekolah mereka geleng-geleng kepala mengecek pekerjaannya.

Sebelum ia sempat menaruh kertas itu kembali, pintu kamar terbuka. Sanzu mengira ibu Baji yang membukanya, tetapi suara nyaring yang terdengar jelas-jelas bukan milik beliau.

“Sumpah Yo, lu diliatin semua orang, njir.”

Ia hanya dapat membayangkannya. Pingsan di tengah lapangan yang terik... malu sekali, menurutnya. Apalagi kalau dilirik betapa banyaknya murid yang mengikuti upacara hari ini. Tapi, tidak mungkin ia pingsan hingga jam pulang.

“Lah, Ji, lu bolos?”

Baji menggangguk, selagi menata rambut.

“Sans, emak gue gak marah kok. ...Gak marah banget,” candanya.

Nah, Sanzu jadi tidak enak hati sudah menumpang di rumahnya. Sebelum-sebelumnya, ia pernah datang kemari, tetapi hanya sebentar dan di ruang utama saja. Sekarang ia berada di kamar Baji dan di kasurnya pula?

Seakan mendengar isi pikiran si rambut pirang, Baji tertawa.

“Dah gue bilang, santai aja, Yo. Makan dulu, sini!”