09.

Membawa tas berisi baju ganti (dan sebuah kue kecil untuk ibu Baji, ia merasa tidak enak datang kosong tangan), Sanzu akhirnya sampai di depan pintu apartemen Baji.

Ia baru saja mau mengetuknya, tetapi Baji sudah membuka pintu sebelum ia mengangkat tangan.

“Yuk, masuk!”

Baji menarik lengan Sanzu, menutup pintu kembali saat si pirang sudah masuk. Dikunci juga. Sebenarnya, saat Baji menyentuhnya, mukanya agak memerah. Ia langsung menahan diri sebelum ada yang melihat, menyibukkan diri dengan kue yang dibawanya tadi.

Ibu Baji sedang duduk di ruang tamu, jadi Sanzu mendekatinya secara sopan dan menyerahkan kuenya.

“Ini, buat Ibu.”

“Eh? Wah, kok tahu ini rasa kesukaan saya... Makasih ya, Haruchiyo.”

Senyuman Baji dan senyuman ibunya nyaris sama, ternyata.


Baji duduk tepat di sebelah Sanzu, menonton film yang sedang tayang di layar laptopnya. Itu bukan masalah baginya. Yang menjadi masalah itu betapa kecil jarak di antara mereka. Padahal, sebelumnya, ia tidak pernah malu duduk di samping siapapun.

Mungkin ia mulai gila karena baru sembuh dari sakit. Itu saja alasan yang dapat ia terima. Tidak mungkin ia benar-benar menyimpan perasaan untuk teman sendiri, kan? Kan?

Alasan itu dengan cepat hilang dari pikirannya saat Baji secara tidak sadar mengelus rambutnya, layaknya ia mengelus kucing. Tetapi Sanzu tidak merasa marah ataupun tidak nyaman. Ia merasa sangat nyaman, malah.

Sial.

Sanzu tidak berani bergerak sedikitpun. Ia tidak mau elusannya berhenti, tetapi ia juga malu untuk mengatakan apapun kepada Baji. Padahal biasanya ia yang paling anti disentuh orang lain.

“Eh, maaf, Yo!”

Akhirnya ia sadar, menarik tangannya dari kepala Sanzu. Menepuk muka sendiri dengan tangan sebelah, Baji bergeleng-geleng.

“Duh, gimana sih gue... kok lu gak bilang apa-apa?”

Ya, gara-gara gue suka, tol. Ngapain gue nyuruh berhenti kalo suka?

Sanzu berpikir kalau itu ia simpan dalam hati, tetapi ekspresi Baji berkata lain. Awalnya ia terkejut, lalu tiba-tiba tersenyum. Lain cerita bagi Sanzu, ia memasang muka malu. Ia benar-benar tidak bermaksud, menjauh seakan-akan tersetrum.

“Ooh, yaudah. Gausah malu, kayak sama siapa aja!”

Baji dengan santai mendekat kembali, tangannya pas diletakkan di pinggang Sanzu. Ini sama sekali bukan sesuatu yang ia kira akan terjadi malam ini. Kelakuan Baji tetap tidak tertebak walau ia sudah berteman lama dengannya, sepertinya.


Hebatnya, ia bisa tidur nyenyak. Biasanya ia susah tidur, apalagi kalau habis mengalami kejadian yang membuatnya berpikir sangat panjang. Tidak hanya itu, ia tidur sekasur dengan Baji.

Mereka tidak berpelukan, ruangan dengan AC yang tidak terlalu dingin tidak memungkinkan, jadi mereka saling membelakangi. Bayangkan betapa terkejutnya Sanzu saat ia lupa keesokan harinya dan buka mata menghadap muka Baji.

Langsung beranjak dari kasur, Sanzu berhati-hati agar tidak membuat Baji ikut bangun. Moodnya hampir selalu jelek kalau terbangun pagi-pagi. Ia tidak mau mengambil resiko itu.

Hari ini Sabtu, sih, tapi ia merasa terlalu malu untuk berlama-lama lagi disini. Setelah ganti baju dan rapi-rapi, Sanzu pamit kepada ibu Baji dan pulang.