do you hear it too?

kakuiza au: kakucho died during tenjiku arc

“Lupakan mereka yang sudah mati.”

“Mereka tidak disini untuk melindungimu.”

Ya, itulah kata-kata yang Izana kecil ujarkan kepada Kakucho sebelum mengangkatnya menjadi abdi. Abdi yang melayani raja dengan impian memulai era baru. Masa kecil itu bersamanya bisa dihitung salah satu kenangan indah baginya.

Namun, masa itu sudah lampau. Impiannya— tidak, impian mereka berdua, sudah hangus, diinjak-injak dan mati bersama satu-satunya orang yang paling ia percayai. Tangan Kakucho mulai mendingin. Izana menggenggamnya lebih erat.

Terbaring disini berlumur darah, melihat langit yang menghujani mereka dengan salju, ia hampir dapat mendengar suara dua anak kecil. Bertahun-tahun yang lalu, pada salah satu hari salju. Menatap langit yang luas sambil tersenyum, mata berbinar.

“Kita pasti akan menciptakan era yang hebat!”

Dua anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Bulu mata Izana basah, ia tidak memberanikan diri untuk menengok ke kiri. Ia tidak kuat juga, setelah kehilangan darah hingga kepalanya berasa ringan.

Mungkin suara itu sebuah halusinasi. Bayangan terakhir yang dialaminya sebelum nyawanya hilang juga, mengikuti Kakucho ke alam berikutnya. Lemah begini, Izana berpikir kalau ia pasti akan mati.

Meninggal di sisi Kakucho tidak terdengar seperti cara yang buruk untuk mati.

“Tunggu aku,” bisiknya.


Berdiri di tempat pertama ia bertemu Kakucho, Izana menanggalkan antingnya sebelah. Diletakkan dalam sebuah gundukan tanah, serupa dengan kuburan yang pernah Kakucho buat. Terkadang, ia merasa bahwa sebenarnya dialah yang memberi nilai pada hidupnya.

Sayang sekali bahwa kisah mereka bersama terpotong pendek secepat ini. Andai ia berkuasa, mereka akan selalu berdua selamanya. Izana terus berpikir, “Mengapa bukan aku? Mengapa harus Kakucho?” Ia masih muda, masih banyak hal yang belum dia alami.

Yang takkan pernah ia alami di sisi Izana sekalipun. Kejam sekali dunia ini. Izana tahu itu betul, telah mengenal dekat dan bahkan mengubah diri untuk berkembang dengan baik di dalamnya. Tetapi Kakucho menjadi bagian besar dalam hidupnya, bahkan bagian yang penting.

Menyadarkannya bahwa, tidak, tidak semua orang dapat digantikan. Dilupakan. Buktinya, ia berada di sini dan bukan di apartemennya yang jaraknya puluhan kilometer. Jumlah orang yang benar-benar berdampak dalam hidupnya dapat dihitung dengan jari tangan saja.

Izana sudah jauh terlalu terlambat untuk mengakuinya. Orang yang ingin disampainya sudah tiada. Namun, tetap saja ia berlutut. Menangis karena tidak ada apa-apa lagi yang dapat ia lakukan. Habisnya, ia sadar setelah napas terakhirnya terhembus pada malam itu.

“Aku merindukanmu. Maafkan aku sudah ceroboh, tidak mengindahkan perkataanmu. Kamu benar.”

“Andaikan kamu mengetahui isi hatiku sebelum kamu pergi.”

Karena ialah yang menempati hatinya yang sebelumnya Izana pikir kosong. Tidak berempati atau berperasaan untuk siapapun lagi. Dengan satu pengecualian, yaitu Kakucho. Selama ini, ia buta terhadap perasaannya sendiri.

Izana akhirnya beranjak, menepuk sisa-sisa tanah dari celana yang ia kenakan. Sudah malam, ia tidak dapat berlama-lama lagi sebab masih berurusan keesokan harinya. Menatap kuburan yang ia buat untuk terakhir kalinya, ia berjalan ke stasiun.


Jika seterusnya ia hanya memakai anting sebelah kanan, tidak ada yang bertanya ataupun berkomentar. Satu kali melihat tatapan Izana yang kosong, mencerminkan lautan yang murka, sudah cukup memaparkan keadaan batinnya.

Tidak perlu ditanya lagi, Izana Kurokawa truly did love Kakucho.

He was just far too late to realize it.