untitled

sankoko, kanto to bonten typical warnings for bonten arc

“Diputusin ya lo, kok mau aja masuk Kanto?”

Koko menengok ke arah fitnahan yang baru dilontarkan kepadanya, mendecak kesal saat melihat bahwa itu suara Sanzu. Sok tahu, sok dekat. Rasanya ingin menampar.

“Jadian aja nggak, gimana mau putus.”

Anehnya, itu membuatnya tertawa. Padahal Koko tidak merasa dirinya barusan melawak. Hanya menyatakan fakta. Sejak kapan ia pacaran? Berpacar pun juga tidak memengaruhi pilihannya.

Ia selalu mengikuti orang yang memiliki potensi terbesar untuk menghasilkan uang. Lagian, mau tidak mau, kalau Koko dicari, lebih mudah langsung ikut daripada “diminta” ikut (baca: dipukuli sampai menyerah).

“Dengerin gak sih daritadi? Kayaknya lo mikir mulu.”

Hah? Perasaan Koko tidak mendengar ia bicara. Harusnya ia tidur pagian semalam, sepertinya ia kurang fokus.

“Maaf. Tadi you ngomong apa, emang?”

Sanzu mencondongkan tubuhnya ke depan, lebih dekat dengan Koko. Dengan jarak sekecil ini, ia dapat melihat jelas setiap bulu matanya yang tebal.

“Kalo gak punya, mau pacaran ga—”

“Hard no.”


“Inget gak, Ko? Lo anti banget dulu, sekarang kita serumah.”

Suara pria-pria ketakutan yang terbungkam kain menyaingi suara Sanzu berbicara. Koko tidak terlalu peduli dengan segala keanehan yang Sanzu lakukan, hanya mengurus keuangan selagi ia menembak mati para pengkhianat Bonten.

“I still don't know why I chose you.”

Kata-kata yang seharusnya kejam, tetapi Koko tersenyum tanpa maksud menghina. Memang, saat mereka masih muda Koko menolaknya lagi dan lagi. Setelah kesekian kalinya, ia akhirnya pasrah dan menerima cinta Sanzu.

Ya, mungkin saja Koko menjadi pengganti untuk sang Mikey, yang sepertinya tidak dapat atau ingin mencintai siapapun lagi. Ia tak bisa protes juga, nama Seishu Inui masih memiliki tempat khusus dalam hatinya.

Apapun situasi sebenarnya, kenyataannya adalah kalau Koko dan Sanzu satu rumah. Hubungan mereka, ya, pasti tergolong aneh, bahkan tidak sehat untuk standar orang biasa.

Mereka bukan orang biasa.

Suara pistol menandakan akhir hidup ketiga pria yang sebelumnya berlutut di lantai kotor gudang kosong. Sanzu menghampiri Koko, bajunya ternodai darah yang sama kotornya.

“Nyesel gak, milih gue?”

“No. Kecuali kamu kasih aku alasan untuk menyesal.”

“Haha, bisa aja deh, 'jime.”

Sanzu sempat-sempatnya genit, mengecup pipi Koko yang masih konsentrasi menyelesaikan pekerjaannya itu. Si surai putih melirik ke arahnya dengan telinga memerah.

”...Siapa bilang boleh panggil 'jime?”

“Ohh, suka ya?”

“Shut up.”

Maksud Koko mengancam, tapi nadanya goyah.

“Oke, princess.”

Muka Koko merah padam. Menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Sanzu menciumnya di bibir, sebelum beranjak untuk melapor kepada bos.

Selagi ia melihat punggung Sanzu yang perlahan mengecil dengan jarak, Koko sadar kalau ia jatuh untuk kedua kalinya. Hanya karena dipanggil dengan cara yang manis.

”...Fuck.”