Perjalanan Spiritual Menuju Penerimaan Diri
Orang lain cerah; Aku sendiri suram. Orang lain tajam; Aku sendiri tumpul.
Orang lain punya tujuan; Aku sendiri tak tahu.
Aku terombang-ambing bagai ombak di lautan, Aku bertiup bagai angin tanpa tujuan.
-Lao Tzu Kitab Dao De Jing (Tao Te Ching)
Tidak seperti orang lain yang benar-benar menikmati hidup dengan bahagia, aku merasa seperti orang yang tidak memiliki kehidupan sama sekali. Aku terisolasi dari dunia, aku merasa bahwa diriku tidak memiliki tempat di dunia ini.
Aku tidak mengetahui kenapa diriku dilahirkan berbeda dengan mereka yang lain. Pada saat itu, aku merasa seperti diikuti oleh kutukan kemanapun diriku pergi. Aku selalu merasa berdosa, atas hal yang tidak pernah kuinginkan.
Aku menyadari diriku berbeda pada masa diriku memasuki jenjang SMP, sekitaran pertengahan kelas VIII. Pada masa itu, layaknya remaja pada umumnya, diriku merasakan cinta pertama. Dunia tiba-tiba menjadi berkali-kali lebih indah, membuatku merasa bersemangat untuk berangkat ke sekolah.
Dia adalah seorang anak laki-laki di kelasku, biasanya ia selalu duduk di kursi kedua dari belakang. Ia tidaklah tinggi, melainkan malah sedikit lebih pendek dariku. Dia juga tidak memiliki ciri khas yang membuatnya berbeda dari manusia lainnya, he is simply ordinary person.
Aku sendiri tidak tahu mengapa aku mencintainya, tapi bukankah memang seperti inilah cinta? Kamu tidak memerlukan alasan untuk mencintai seseorang, tiba-tiba saja kamu mencintai seseorang dan kamu tidak tahu mengapa itu terjadi.
Walaupun aku begitu mencintai dirinya, namun aku tidak pernah mengungkapkan perasaan tersebut. Ketakutan menyelimuti diriku, lagi pula saat itu diriku masih dipenuhi dengan rasa bersalah, frustasi, merasa berdosa, dan juga self-denial. Ditambah lagi guru pendidikan agama islam di sekolah yang terus menerus menceritakan tentang kisah Nabi Luth, yang mana selalu diakhiri dengan ancaman hukuman rajam (dilempari batu hingga mati), dan akhirnya masuk neraka untuk selama-lamanya.
Kenapa?
Apa yang membedakan “cintaku” dengan “cinta mereka”? Kenapa cinta antara lelaki dan perempuan dianggap suci dan bersih, sementara cinta antara dua orang lelaki dianggap berdosa dan kotor? Kenapa?
Sekali lagi, apa yang membedakan “cintaku” dengan “cinta mereka”?
Saat itu, diriku yang masih berusia sekitar 15 tahun hanya bisa menyalahkan diriku sendiri. Tentu saja itu hanya mengundang berkecamuknya hati serta kesedihan yang mendalam. Hal ini diperparah oleh bullying yang dilakukan oleh beberapa teman seangkatan saya (aku bahkan ragu harus memanggil mereka “teman” seangkatan atau tidak), membuat saya semakin dalam jatuh ke dalam jurang kesedihan.
Tentu saja tidak semua dari mereka melakukan perundungan terhadap saya, namun walaupun begitu, tidak ada dari mereka yang maju untuk membela saya ketika saya terkena perundungan. Mereka semua hanya melihat, bukan karena mereka tidak berani, namun simply karena mereka tidak mempedulikan seorang freak dan seorang femboy seperti saya.
Setelah semua perlakuan buruk yang saya alami tersebut, pada akhirnya muncul sebuah keinginan agar saya bisa menjadi straight seperti mereka yang lainnya, hanya agar bisa mendapatkan perlakuan yang sama dengan mereka.
Berbagai metode saya coba agar saya bisa ‘sembuh’, mulai dari memberikan sugesti terhadap diri saya sendiri, hingga menahan perilaku flamboyan saya.
“Saya menyukai wanita, saya menyukai wanita, saya menyukai wanita,” seperti itulah saya terus menerus mengatakan sugesti tersebut kepada diri saya sendiri beribu-ribu kali setiap harinya.
Mengingat hal tersebut membuat saya berpikir, “betapa bodohnya saya saat itu”.
Seperti layaknya warna kulit, LGBTQIA+ bukanlah sebuah penyakit, itu adalah suatu hal yang kita bawa dari semenjak kita lahir.
Berusaha menyembuhkan LGBTQIA+ sama saja seperti kita berusaha menyembuhkan orang berkulit hitam, agar memiliki kulit berwarna putih. Bukan “kesembuhan” yang didapat, justru hal tersebut akan menghancurkan mereka secara fisik dan mental.
Hal ini juga terjadi pada saya, saya merasa menjadi lebih hancur sehancur-hancurnya. Dunia terasa suram bagiku, aku merasa seluruh alam semesta menolak diriku. Tidak disadari diriku menjadi lebih tertutup dan lebih jarang berbicara terhadap orang lain, perlahan-lahan mengubahku menjadi pribadi yang pendiam. Sulit bagiku untuk menumbuhkan rasa saling percaya di antara manusia, membuat diriku meragukan kepercayaan antar-teman dan manusia.
Aku selalu diberitahu bahwa Tuhan itu maha-penyayang dan maha-adil, tapi kenapa aku tidak bisa merasakan kedua hal itu?
Tuhan menciptakan diriku yang ‘berbeda’, namun membenci perbedaan tersebut. Apakah Tuhan hanya ingin mempermainkan diriku?
Inilah awal mula aku mempertanyakan kepercayaan yang saya anut.
∞
Saya adalah pribadi yang gemar membaca, dikarenakan ada kebahagiaan tersendiri yang saya dapatkan dari membaca. Dengan membaca, saya merasa ada dunia baru yang terbuka di pikiran saya. Ini adalah perasaan yang sangat menakjubkan, membuat saya merasa senang setiap kali saya membaca suatu hal akan ide-ide yang tidak berani orang imajinasikan dan bayangkan, seperti misalnya ketuhanan.
Karena hal ini juga, perpustakaan adalah tempat yang sering saya kunjungi pada masa SMP. Bisa dibilang, perpustakaan adalah tempat di mana saya menghabiskan sebagian besar waktu saya pada masa SMP.
Buku favorit saya tentu saja adalah novel dan ensiklopedia, novel mengizinkanku untuk merasakan kehidupan yang tidak saya punyai, yaitu kebahagiaan seorang remaja. Novel juga mengizinkanku untuk secara sementara melupakan kehidupanku yang terasa menyedihkan.
Selain itu, ensiklopedia adalah salah satu jenis buku yang saya sukai. Tentu saja ensiklopedia ini biasanya berisi tentang alam semesta dan isinya, mulai dari bintang, galaksi, serta benda-benda angkasa lainnya. Selain ensiklopedia tentang alam semesta, saya juga menyukai buku-buku tentang biologi yang membahas tentang makhluk-makhluk hidup.
Itu semua adalah buku yang sering saya baca, dan saya kadang membacanya berulang-kali tanpa merasakan yang namanya bosan.
Pada suatu hari, seperti biasanya saya membaca buku-buku tentang alam semesta. Di salah satu rak yang berada di sana, mata saya tertuju pada buku bersampul biru tua yang terlihat sedikit lusuh. Merasa penasaran, saya mengambil buku tersebut untuk segera membacanya.
“Alkitab?”
Inilah pertemuan pertama saya dengan kitab suci agama lain, namun ini bukan yang terakhir kalinya, karena nantinya saya masih akan bertemu dengan berbagai kitab suci dari berbagai agama lainnya.
Tidak yakin, saya segera duduk membacanya dengan sedikit penasaran.
‘Boom’
Dunia yang baru seolah terbuka di pikiran saya, ketika membaca halaman demi halaman yang tertulis di sana. Berbagai bayangan dan imajinasi bermunculan di pikiran saya, mengimajinasikan bagaimana dunia tercipta, dan seperti apa wujud asli Tuhan.
Saya sendiri merupakan seorang yang termasuk dalam kategori skeptis, saya tidak pernah mempercayai perkataan seseorang jika saya tidak pernah melihat atau mengalaminya sendiri. Hal ini juga terjadi ketika saya membaca Al-Qur’an dan Alkitab, saya tidak pernah mempercayai keduanya dengan begitu saja.
Mudah mempercayai suatu hal merupakan suatu hal yang berbahaya, mudah mempercayai suatu hal akan menuntun seseorang menuju jurang kejatuhan. Itulah mengapa kita dituntut untuk menjadi pribadi yang skeptis dan selalu mempertanyakan alasan dibalik suatu hal.
Selain itu, seseorang dengan kepribadian skeptis akan sangat sulit dicuci otaknya, dikarenakan mereka tidak mudah mempercayai suatu hal atau ajaran dengan begitu mudahnya. Sebaliknya, orang yang dengan mudah mempercayai suatu hal akan sangat gampang dicuci otak.
Tak hanya alkitab saja, tentu saja saya juga mempelajari kitab-kitab yang lainnya, yang mana memberikanku banyak wawasan, yang mana menuntun pada cakrawala baru.
Tapi, sama seperti pejalan spiritualis lainnya, ada masanya kami terjatuh dan tersesat pada yang namanya kebencian terhadap kepercayaan lain, dalam kasus saya adalah agama warisan. Yang saya maksud dari ‘agama warisan’ adalah, agama yang mereka warisi dari kedua orang tua mereka.
Kebencian ini timbul akibat saya melihat komentar-komentar kaum muslim yang sangat suka sekali menghina agama lain, merendahkan agama orang lain, dan juga menghina serta mengharapkan kelompok LGBTQ+ dipukul sampai mati. Hal ini menimbulkan pemikiran bagiku bahwa orang muslim adalah orang yang dipenuhi kebencian. Oh, tentu saja itu adalah pemikiran yang salah dan sangat fatal.
Kebencianku terhadap agama asalku ini terjadi pada antara masa-masa kelulusan SMA, yang perlahan-lahan menuntunku menjadi orang yang toxic. Bahkan kebencianku terhadap agama asalku juga berimbas pada orang-orang disekitarku, yaitu keluargaku sendiri.
Ini adalah salah satu hal yang masih saya sesali, bahkan saya belum bisa melupakannya sama sekali. Sungguh bodoh sekali diriku. Melawan kebencian dengan kebencian, mengubah diriku sendiri menjadi orang yang penuh dengan kebencian.
Tiba saatnya masa kuliah datang, berbagai kesibukan pada semester pertama mengalihkan pikiranku dari berbagai hal apapun yang kemarin aku pikiran.
Pada masa ini pula hobi saya membaca berbagai novel kembali menyala, menciptakan berbagai dunia di kepala saya, dan juga membuka berbagai wawasan yang baru.
Buku-buku ini jugalah yang mengantarkan diriku untuk mengenal yang namanya Taoisme, atau kadang disebut Agama Tao. Pertama saya membaca kitab Taoisme benar-benar hampir membuat diriku sakit kepala. Membaca kitab ini benar-benar membutuhkan tingkat berpikir yang sangat tinggi. Hanya mereka yang mempunyai banyak wawasanlah yang bisa memahaminya.
Sekilas membacanya, saya dapat merasakan pancaran kebijaksanaan dari kitab ini. Kitab ini juga sangat jarang membahas tentang konsep ketuhanan, sebagian besar kitab ini membahas tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupan dengan penuh kebijaksanaan. Kekuatan dari tidak melakukan apapun, membiarkan semuanya mengambil jalurnya masing-masing.
Tak jauh dari Taoisme, saya juga dikenalkan dengan kepercayaan yang lain, yaitu Buddhisme, alias Agama Buddha.
Inti dari ajaran buddhisme sendiri sudah tertuang dalam satu kalimat yang terdiri dari empat kata, yaitu “Semoga Semua Makhluk Berbahagia,”.
Dari keempat kata tersebut dijabarkan bahwa semua orang dan semua makhluk berhak memiliki kebahagiaan mereka sendiri. Dan juga bahwa mereka juga setara, entah agama mereka, ras, warna kulit atau bahkan orientasi seksual mereka.
Saya merasakan pancaran welas asih yang kuat dari ajaran Buddhisme ini, penerimaan tanpa membeda-bedakan, penerimaan penuh atas identitasku. Pelukan hangat penuh cinta tanpa memandang apapun.
Tidak ada konsep ‘keimanan’ dalam Taoisme dan Buddhisme. Bahkan jika kamu mau menyembah kursi, bulan, matahari, atau bahkan Indomie, jika kamu baik, maka kamu akan masuk ke alam bahagia (surga), namun jika kamu melakukan banyak perbuatan buruk, maka kamu akan pergi ke alam menyedihkan (naraka).
Inilah mengapa saya merasakan, cinta absolut dari kedua ajaran ini, mereka tetap menerima bahkan jika kamu tidak mempercayai ajaran mereka. Bahkan jika kamu mau mencampur ajaran Buddha dengan Taoisme, itu bukanlah sebuah masalah. Mereka menilai sikapmu, bukan yakin atau tidaknya dirimu terhadap ajaran mereka.
Sejatinya saya mempelajari sebuah ajaran tidak berdasarkan masuk atau tidak akalnya suatu ajaran. Bahkan jika ajaran tersebut tidak masuk akal, namun mengajarkan banyak kebijaksanaan dan welas asih, maka saya akan mempelajarinya dengan seksama, sekalipun itu hal yang diluar kewajaran seperti menyembah Indomie.
Kebenaran bukanlah hal yang penting, namun kebaikan hatilah yang paling penting.
Kebijaksanaan untuk membiarkan orang mempercayai apa yang ingin mereka percayai. Kebijaksanaan untuk tidak melakukan apapun, dan membiarkan segalah hal berjalan di jalurnya masing-masing
Selanjutnya, dalam perjalan hidupku, aku dikenalkan dengan sebuah cerita pendek yang berjudul “The Egg” by Andy Weir.
Cerita pendek ini berisi tentang, bagaimana kita semuanya sebenarnya adalah satu. Cerita pendek ini juga mengajarkan tentang empati dan welas asih.
“Kita menyakiti orang lain, artinya kita menyakiti diri sendiri. Kita berbuat baik kepada orang lain, artinya kita berbuat baik pada diri sendiri,”
Mendefinisikan ulang arti welas asih, mendefiniskan ulang artinya kemanusiaan dan empati.
Cerita pendek ini mengubah hidupku menjadi lebih baik, di sinilah aku menemukan makna hidup, sehingga akhirnya pencarianku akan Tuhan telah berakhir.
“Temukan Tuhan dalam dirimu,”
∞
Prinsip kebijaksanaan, empati dan welas asih menemaniku menjalani hidup, sehingga pada akhirnya aku bisa perlahan-lahan menghilangkan kebencian dalam diriku.
Kebencian terhadap diriku sendiri memudar, bersamaan dengan memudarnya kebencianku terhadap orang lain.
Ku menerima diriku.
Salam, Rohmat Subekti.