157

Rooftop sekolah bukan spot favorit murid-murid di sini. Bukan karna kotor atau berhantu, tapi karna tangga naiknya yang agak curam. Makanya gue cukup nyesel ngajak Kira ketemuan di sini. Gue yang cowok dan tinggi aja agak repot naiknya, gimana dia yang cewek dan tingginya cuma sebahu gue itu.

Gue ngeluarin handphone dari saku celana, bermaksud ngabarin Kira buat ketemuan di halaman depan aja yang lebih deket sama kelasnya waktu tiba-tiba pintu rooftop kebuka dan menampilkan sosok Kira.

Kira yang sekarang masih sama kayak yang dulu. Poni depan yang dia potong waktu liburan bahkan udah agak panjang, cukup panjang buat dia jepit ke samping. Kayaknya dia jujur waktu upload story dan bilang curtain bangs suits her well karna dia nggak ngebiarin poninya jadi poni depan.

Too bad, i kinda like her more with that bangs.

Gue akui gue cukup bodoh karna nggak nyiapin mau ngomong apa aja. Tapi gue rasa juga percuma kalo gue nyiapin itu semua. Karna rumus matematika sisa ulangan tadi aja udah menguap dari kepala gue begitu Kira datang. Padahal biasanya daya ingat gue soal pelajaran bertahan sampai 6 bulan, bahkan lebih.

“Hai,” sapa gue akhirnya.

Kira hanya tersenyum tipis sebelum pergi ke sudut lain rooftop dan duduk di atas tumpukan beberapa kursi. Gue diam di tempat, bermaksud memberikan dia space sendiri.

Hembusan napas panjang keluar sebelum gue ngomong lagi, “Sorry, I don't know where to start.

It's okay. Neither do I.

Hening.

Bahkan suara pantulan bola basket di lapangan belakang terdengar. Suara Bu Reta, guru BK, meneriaki anak-anak yang kabur dari ruangannya terdengar. Suara Felisha, ketua panitia Art Fest yang berteriak memanggil semua panitia untuk berkumpul dan rapat terdengar. Suara knalpot motor anak-anak yang meninggalkan sekolah juga terdengar.

“Aku boleh ngomong duluan? Baru habis itu kak Iel tanggepin dan gantian bilang apa yang mau kak Iel omongin,” kata Kira akhirnya.

Damn, I totally am a coward.

“Oke,” kata gue akhirnya.

“Aku nggak tau tujuan kak Iel tiba-tiba ngajak ketemu setelah diem-dieman ini apa. Aku juga nggak mau nyimpulin kak Iel sengaja ngediemin karna bisa aja kak Iel nggak berniat kayak gitu alias aku yang kegeeran nganggep kalo that silent treatment is wrong. Bisa aja kak Iel emang cuma mau pure temenan sama aku jadi pas ujian kemaren kak Iel bisa fokus belajar seolah nggak berhutang apa-apa sama aku.

“Tapi nggak tau ya kak. I don't know how to put this into words tapi kalo boleh jujur aku kecewa sama kak Iel yang kayak gitu. At least give me explanation why did you do that”.

I'm gonna give it now. The explanation,” potong gue.

You should've just done it sooner.”

I know. Sorry.”

Kira nggak njawab. Cuma duduk diem nunduk ngeliatin dua kakinya yang menggantung dia ayun-ayunin karna kursi yang ketinggian.

Can I give the explanation now? Even if it's too late?”

“Aku penganut paham better late than never kak. Silahkan.”

I like you. And I know you did too. Lo ngaku atau enggak, mau nganggep gue GR atau gimana terserah. I took it like that.”

So where did it go wrong kak?”

Every one in this school praise me for everything. My academic' achievement, my voice, my brain, everything. Gue terbiasa dengan semua spotlight itu. I was raised that way though. Gue mau semuanya sempurna, karna gue diajarin, bahkan kadang dipaksa, buat jadi sempurna.

My parents scold me kalo nilai turun satu poin. They want me to be perfect. Tapi enggak. Kalo lo kira alesan gue bersikap tolol kayak gitu adalah buat ngejaga nilai, lo salah.

“Gue juga kadang muak kok, Ki, sama semua itu. Gue udah biasa ngeliat sisi orangtua gue, atau beberapa guru, yang nggak terima kalo nilai gue turun. Kalo ada secuil kekurangan yang gue tunjukkan. Gue nggak masalah mereka ngeliat itu. Gimanapun juga seberapa keras pun gue berusaha gue nggak sempurna. Gue nggak akan pernah bisa menuhin ekspektasi mereka yang nggak ada habisnya.

“Tapi kalo sama lo beda Ki. I never show you my flaws. Not even once. Selama ini lo selalu liat sisi gue yang sempurna so it scared the hell out of me. Gimana kalo nilai gue turun dan gue bukan jadi Gamaliel yang lo kenal dan lo mau?

“Konyol, gue tau. Gue juga dimaki Jerome sama Dika waktu gue cerita gue mikir kayak gitu. Mereka bilang kalo lo sayang sama gue lo bakal nerima gue apa adanya. Tapi mindset gue nggak gitu Ki. I wasn't raised that way. I always feel like if I make a little mistake, kekonyolan kecil aja, people will be disappointed at me and ended up leaving me.

“Gue tau ini goblok banget, alesan paling goblok yang pernah lo denger mungkin tapi ya it is what it is. Gue juga nggak minta lo buat ngertiin, gue sadar diri. Gue bakal terima juga kalo habis ini gue lulus lo bakal ngelupain gue atau—”

Why would I?” potong Kira tiba-tiba.

“Hah?”

Why would I forget the first man who's willing to try that much for me, kak?”