amertarii

Noah Abimana gak pernah ngundang satu temen pun buat ke rumahnya kecuali Jonatan. Dan gue. Makanya gue gak kaget waktu masuk ke dalam rumahnya dan cuma disambut Noah yang lagi kaosan sama pake celana tidur. Gak ada seorang pun di rumah, mengingat Noah adalah anak tunggal yang orang tuanya juga sibuk kerja di luar.

Gue cuma nyengir, sambil nyodorin pizza sama chatime yang gue beli. Gue nggak ngucapin congrats lagi secara langsung. Bukannya gak seneng Noah lolos. Gue malah seneng banget, di level di mana gue ngerasa kalau seandainya gue yang keterima gue gak bakal seseneng ini. But we’re just not that type of friend who can easily say 'congratulations', 'happy birthday', 'i’m sorry to hear that', stuffs like that directly. Selalu di chat doang. Jarang banget keucap langsung.

Kali terakhir gue ngucapin happy birthday ke Noah secara langsung mungkin waktu kelas 4 SD. Habis itu gak pernah lagi. Cuma di chat, atau story Instagram. Instead I bought him 5 hats, he loves hats and I have no idea why, but I still, always, buy it for him every time his birthday comes. Or I’d just make him Indomie considering how he loves Indomie buatan gue.

It goes the same with me. On my birthday, he never said happy birthday directly. But he took me to ice cream date since he knows I love ice cream more than water. He’d show up in my house an hour before to help me choose my outfit because it’s my birthday. Once a year. Of course I want to go out wearing a nice one.

Sama kayak sekarang. Gue cuma duduk lesehan di lantai, nyender ke sofa yang didudukin Noah sambil nggigit potongan pizza gue yang keempat. Noah juga sama. Cuma makan, minum, dengan matanya yang gak lepas dari laptop di atas meja yang muter film The Kissing Booth.

“Naikin dikit dong layarnya gue nggak keliatan subtitlenya,” pinta Noah sambil narik ujung rambut gue.

“Kalo dinaikin gue yang gak keliatan bego ah,” tolak gue. “Lagian lo tanpa subtitle juga udah ngerti.”

“Yaudahlah.” Noah nyerah.

“Clai,” panggil Noah setelah beberapa saat.

“Apa?”

“Gue bersyukur sih.”

“Lolos SNM? Lo kalo gak bersyukur gue tonjok anjing.”

“Bukan. Bukan itu.”

“Trus?”

“Gue bersyukur gue nggak punya kakak cowok. Ntar kayak Elle, lo naksirnya malah sama kakak gue ribet dong. Meskipun yang namanya Noah gue sih bukan kakak gue jadi harusnya lo naksirnya emang sama gue.”

Gue membatu. Gila. I forgot that he just confessed to me an hour ago. Gue beneran lupa. Seratus persen lupa. I was overwhelmed by the news Noah lolos SNMPTN sampe gue lupa bahwa di hari yang sama, di jam yang sama, Noah confess ke gue.

Tiga tahun di SMA, tiga kali gue ditunjuk guru buat ngewakilin sekolah lomba debat. Tiga tiganya gue menang. I thought that’s more than enough to prove my ability in public speaking, termasuk hal-hal sepele kayak percakapan sehari-hari. Tapi hari ini, 29 Maret, Noah baru membuktikan kalau gue salah. Kalau gue gak sejago yang gue kira soal ngomong sama orang. Karna sekarang gue bener-bener diem seribu bahasa, gak tau mau ngerespon apa.

Semua skenario berputar di kepala gue. Kalau gue nyaut dengan bercanda, nanti Noah ngira gue gak serius nanggepin perasaannya dia which is the WORST case since the truth is gue naksir Noah udah seumur anak kecil masuk SD alias 7 taun.

Tapi kalau gue jawab serius, gue takut atmosfernya jadi awkward dan gak enak. We’re celebrating Noah yang baru lolos SNMPTN. Gue gak mau merusak suasana.

“Woy,” panggil Noah. Tangannya narik ujung rambut gue (lagi). Kakinya yang semula di atas sofa sekarang turun satu, nyenggol lengan gue.

“Diem anjing lagi nonton.”

“Dih gitu,” ledek Noah.

“Claiiii,” panggilnya lagi sambil narik ujung rambut gue (LAGI).

Gue nyerah. Akhirnya gue mencet tombol pause, lalu muter badan supaya duduk ngadep Noah yang (sialnya) berubah posisi jadi nyender yang (tentunya) bikin dia keliatan tambah cakep dalam balutan kaos yang dia beli waktu ke Dufan lima taun yang lalu bareng gue.

Damn, gue bahkan inget itu lima taun yang lalu.

“Apa?” tanya Noah karna gue gak jadi ngomong.

“Gue cuma penasaran lo mikir apa confess di hari pengumuman SNM gini. Orang lain tuh ya confess pas hari spesial. Ultah kek, valentine, atau apa. Lo kenapa malah pas pengumuman SNM anjing???”

“Ya gue baru kepikiran idenya sekarang. Keburu lupa kalo nunggu event lain.”

“Kan bisa dicatet dulu gobloook,” sahut gue refleks sambil mukul lututnya.

Noah ketawa. “Gih lanjut nonton.”

Gue antara percaya gak percaya Noah barusan ngomong kayak gitu, tapi karna gue juga gak ada bahan lain untuk gue omongin jadi gue muter balik badan gue ke posisi semula dan mencet tombol play.

“Clai tapi kalo gue ngajak lo pacaran lo bakal terima nggak?” tanya Noah tiba-tiba dalam satu tarikan napas.

Gue ngangkat bahu. “Gak tau.”

“Karna Juan?”

Tawa gue meledak. “Gak. Gue gak naksir sama Juan. Gue nanya-nanya gituan kemaren sebenernya tuh buat Mei. Dia yang naksir.”

‘“Anjinggggg,” maki Noah. “I overthinked for nothing.”

“Lo ngira gue naksir Juan kenapa lo tetep confess dah?”

Noah diam sesaat.

Because I can’t bear the thoughts of leaving Jakarta without you knowing my true feelings.”

©amertarii

Noah Abimana has been my friend ever since the first year of elementary school. My first, ever, boy friend (space between them). 11 years of going to the same school, 9 years of celebrating each other's birthday together, 7 years of being each other's neighbor. Long enough to know each other better, long enough for my stupid little heart to suddenly have (and hide) a stupid feeling for him.

There were never any warning signs. As people say, love comes unexpectedly. In unexpected person. This one person is pretty predictable though, considering I've never been friends with any other guy besides him.

Noah Abimana has that kind of spark that makes people enjoy his company (including me). He takes me out to breakfast, lunch, dinner, ice cream date, food truck date, pet cafe date, movie date, or any other date you can come up with.

Let's just say I'll give him a 10/10, 5 stars review. He's perfect for who he is. He's capable of doing anything,

including failing to realize that he owns all parts of my heart for stupid 7 years.

©amertarii

Aku lagi sibuk cuci muka di wastafel untuk menghilangkan kesan aku habis nangis waktu handphoneku bunyi. Notifikasi dari kak Hilmy.

Akhirnya.

Aku udah nggak sabar buat pulang.

Tapi harapanku sirna. Kak Hilmy ngechat bukan buat ngajak pulang, tapi buat ngabarin kalau dia sekarang ada di backstage karna barusan jatuh kedorong-dorong orang dan kakinya kesleo.

UKS jelas nggak berfungsi jam sembilan malam kayak gini, dan pos kesehatan terdekat yang dibuat timkes adalah backstage, karna kak Hilmy jatuhnya di depan panggung bukan di lapangan bagian belakang tempat pos kesehatan buat pengunjung ada.

Tanpa sempat ngecek penampilanku udah layak pandang atau belum, aku masukin handphone ke dalam tas, takut jatuh kalau aku pegang atau aku masukkan ke kantong celana waktu aku lari kencang ke backstage.

Butuh waktu sekitar tiga menit buat sampai ke backstage dari wastafel kamar mandi tempat aku berada tadi. Begitu sampai di backstage, kondisinya yang ramai bikin aku agak kesulitan buat nyari kak Hilmy.

Begitu aku menemukan kak Hilmy yang ternyata lagi duduk nyender, seseorang menghalangi jalanku. Hampir dahiku menabrak dadanya kalau aku nggak refleks berhenti.

Waktu aku mendongak, mataku bertemu dengan matanya kak Iel.

Sial.

Aku nggak memikirkan kemungkinan bahwa kak Iel, sebagai performer terakhir, closing acara, sekarang bakal ada di backstage. Tolol sebenernya. Pasti dia bakal ada di backstage kan? Tapi aku nggak sempet mikir apa-apa saking paniknya baca notif dari kak Hilmy.

“Kak permisi aku mau nyamperin kakakku,” kataku pelan lalu bergeser ke kanan.

Di luar dugaan, kak Iel ikutan bergeser ke kiri, menghalangi jalanku.

“Kaje gue mau ngomong.”

“Nanti kak, atau besok, itu kakakku baru jatuh, kesleo.”

“Yakin?” tanya kak Iel.

“Hah?”

Aku mengikuti arah pandang kak Iel yang mengarah ke kak Hilmy, yang tadi duduk bersender sekarang udah berdiri, sambil nyengir, loncat-loncat.

“Kak jangan ngawur nanti kakimu tambah kesleo!” seruku panik, masih nggak ngeh apa yang terjadi.

Kak Hilmy, kak Iel, dan beberapa panitia lain yang ada di backstage ketawa keras, meskipun masih kalah keras dengan suara MC di atas panggung dan suara teriakan penonton.

“Kak apaan sih minggir dulu bentar,” protesku karna kak Iel masih menghalangi.

“Kaje dulu kamu sama kakakmu TK di mana?” tanya kak Iel tiba-tiba.

Aku mengernyitkan dahi bingung, bahkan nggak sadar kak Iel nggak bilang lo tapi kamu.

“Penting banget apa kak? Ngobrolnya nantian aja kenapa sih?”

“Jawab dulu, Je,” desak kak Iel sambil menahan bahuku untuk tetap berdiri di depannya.

“TK Garuda, kak Hilmy juga. Udah? Puas?”

Kak Iel menggeleng, mengeratkan pegangannya di bahuku.

“Kamu inget nggak pernah ikut jemput kakakmu satu kali waktu dia pulang sekolah?”

Aku masih nggak ngerti arah pembicaraan ini kemana, tapi aku tetep jawab supaya bisa cepat pergi. “Inget. Waktu itu aku jemput kak Hilmy sama mama trus mama lagi ketemu temennya dan aku ditinggal sendirian di poj-”

Hold up.

Sebentar.

No way,” desisku nggak percaya.

Yes way.”

That little girl was you. The little girl I saw sitting in the corner when I was five. The pretty little girl who made me went to pick the prettiest flower but when I got the flower that wasn't even half as pretty as her, she's gone. And she never picked up her brother anymore. And I met her again when I was eighteen. And she's standing here right now.”

Kak Iel menyelipkan rambutku yang berantakan ke belakang telinga, merapikan poni sampingku lalu meletakkan kembali tangannya di bahuku. “Right in front of me. Clueless. With no memory about a little boy who was looking at her thirteen years ago behind the wall. Apparently, people called her Kira, and the little boy is Gamaliel who calls her Kaje.”

I lost my words.

How did you know?”

How can I forget the prettiest little girl who thirteen years later she be the one who waited for me when I acted like a dick?”

“Kaje will you grant my wish by saying the last lyrics that you wrote but then I changed it? I'd love to hear it directly from you,” kata kak Iel sambil menurunkan tangannya dari bahuku, lalu membuka lebar kedua lengannya.

Aku mengabaikan kak Hilmy yang bersorak di belakang, juga dengan Iva yang muncul entah dari mana. Aku mengabaikan panitia dokumentasi yang mengangkat kameranya ke arah kami. Aku mengabaikan suara ledakan kembang api pertanda malam Art Fest 2023 sudah selesai. Aku mengabaikan riuh teriakan penonton di depan panggung dan ucapan selamat tinggal dari MC di atas panggung. Aku mengabaikan semuanya.

Never once crossed my mind that my first year of Senior High School will be this beautiful, amazing, great, any other cool word you can come up with. Never once I expected my first year of Senior High School is fulfilled by joy and joy only. Never once that I thought I am my first love's first love. Never once in my life I experienced this kind of beautiful love.

Senyumku merekah. Aku maju selangkah lebih dekat, memeluknya erat, mengubur kepalaku di dadanya lalu membisikkan di telinganya, “I love you either way, Gamaliel Risjad.”

©amertarii

Dari dulu, Art Fest selalu jadi acara tahunan sekolah, proker OSIS yang paling asyik, yang paling ditunggu-tunggu, yang selalu rame. Penampil maupun penonton. Lapangan tempat panggung berdiri nggak pernah sepi siapapun yang tampil, dan sorakan nggak pernah berhenti setiap ada orang naik ke atas panggung.

Kakakku dulu, kak Hilmy, juga sekolah di sini. Aku nggak pernah ikut dateng waktu ada Art Fest meskipun acara ini jelas dibuka untuk umum, nggak cuma buat murid sekolah aja. Tapi aku nggak pernah mau dateng. Nggak ada temennya. Kak Hilmy juga nggak mungkin mau nemenin aku dari awal sampai akhir.

Jadi tiga tahun, tiga kali Art Fest, aku cuma di rumah, nontonin story Instagram kak Hilmy sambil baring-baring di atas kasur meluk guling. Sesekali juga dia ngelive yang tentu aku tonton juga.

Asyik.

Itu kesan pertama yang melintas di benakku waktu itu.

Makanya aku iya-iya aja waktu papa mama nawarin aku masuk SMA ini. Karna aku mau ikut Art Fest.

Ditambah dengan cerita Iva yang tahun lalu udah ikut Art Fest juga buat nonton kakaknya, aku semakin yakin kalau Art Fest bakal jadi satu momen di SMA yang paling spesial. Yang nggak akan pernah bisa aku lupakan.

Nyatanya, hari ini nggak demikian yang terjadi.

Acara yang aku tunggu-tunggu buat aku rasakan langsung selama tiga tahun nggak bisa sepenuhnya aku nikmati karna perasaan sakit hati yang menghantui. Begitu jam menunjukkan pukul delapan aku resah.

Setengah sembilan kak Hilmy muncul cuma buat say hi dan habis itu pergi lagi. Mungkin nyari temannya siapa tau ada yang ikut nonton.

Setengah sembilan juga Iva pergi katanya mules.

I was left alone in this crowded space. Sekarang pun, sepuluh menit sebelum jam sembilan, mereka belum balik.

247 Corners udah naik ke panggung dari semenit yang lalu dan nyapa penonton. Aku berdiri di bawah pohon, nyari sudut paling gelap di mana panggung nggak terlihat jelas dan yang di panggung juga nggak bakal bisa melihat aku dengan jelas.

Aku tau mereka akan membawakan dua lagu. Lagu pertama adalah Way Back Home, sesuai tema. Lagu kedua adalah lagu yang kutulis.

Lagu keramat itu.

Dalam hati aku merapalkan doa kak Hilmy tiba-tiba muncul entah dari mana supaya aku bisa ninggalin sekolah sebelum kak Iel menyanyikan lagu kedua.

I ain't that strong.

Tapi aku tau harapanku cuma tetep jadi harapan karna sampai Way Back Home selesai dibawakan dan penonton teriak-teriak ramai waktu kak Iel bilang lagu berikutnya adalah lagu orisinil yang dia persembahkan buat cewek yang mengisi hatinya sejak TK, kak Hilmy, maupun Iva nggak ada.

Met you when I was five You were there sitting in the corner I wanted to say hi also, to know you better.”

Mataku mulai panas.

So I went to grab a flower, the prettiest flower but you're gone before I said hello

Oh I never thought you, little girl will be my first love Still remember your hair, your face, yet your clothes

Oh I never thought I'll meet you when I am eighteen You're still the same, my feelings' stay.”

Bilang aku bodoh karna sekarang meskipun ada air mata yang menghalangi penglihatanku, aku masih berdiri di sini.

Took you out a couple times Gotta admit it's like a dream comes true Took us a little fight Cause I hate to show you my flaws

But you waited there for me You listen to all my stories and didn't judge I love you even more

Oh I never thought you, little girl will be my first love Still remember your hair, your face, yet your clothes

Oh I never thought I'll meet you when I am eighteen You're still the same, my feelings' stay

This is a stupid way to admit that I love you 'No need to be perfect to make me stay', that's what you said.”

Come to think about it, it's really funny how I be the one who wrote a song, a stupid love song for my crush who's now singing it to his first love. Aku nggak pernah mikir dunia bisa sebercanda itu.

Oh I never thought you, little girl will be my first love I want to make you mine

Oh I never thought I'll meet you when I am eighteen and you will say, I love you either way.

©amertarii