maulanamd

Personal blog of Maulana M. Diansyahbani. No specific topics.

“kalau punya energi untuk bunuh diri karena depresi, kenapa nggak menggunakan energi itu untuk mengubah kondisi yang ada?”

If only it could be that easy, my dude.

Asal muasal dari terbesitnya keinginan untuk bunuh diri itu secara garis besar begini: kondisi diri yang dirasa tidak bisa diubah, entah karena faktor eksternal seperti masalah hidup yang menumpuk yang bertubi-tubi, faktor internal seperti depresi, ataupun keduanya.

Ketika seseorang memiliki depresi, persepsi tadi bisa berlipat ganda ataupun berkali-kali terasa lebih berat.

It’s like falling down into deep, seemingly endless abyss that sucks up everything about you—your will to live, or even worse. Trust me on this that once you have a severe, or even clinical depression, your energy to do everything will be used up just for trying to have a semblance of happiness day by day.

That said, it is not exactly impossible to get out of that cycle. Ada harapan yang bisa didapat ketika kondisi berubah sedikit maupun banyak, tapi itu mungkin cuma mengangkat dirimu menuju permukaan supaya bisa bernafas sambil tersengal-sengal, tapi kamu masih perlu berenang atau melangkah ke daratan. The fight still goes on, and your depression is still trying to kick your ass.

Ini kenapa support system menjadi sesuatu yang penting untuk penderita dan penyintas depresi, dan juga bagi mereka yang punya keinginan untuk bunuh diri ataupun menjadi penyintas. Seseorang atau kelompok orang yang bisa memberi dukungan bahwa kamu masih bisa bergerak menuju daratan yang aman, terlepas dari sejauh apa kondisinya.

Kamu mungkin berpikir kalau anggapan yang ada di quote di atas bisa memberi semangat bagi mereka yang sedang berjuang melawan keinginan bunuh diri mereka, tetapi bagi mereka, ucapan itu bisa jadi malah dirasa insensitif. Kamu mendiskreditkan upaya dan energi yang mereka kerahkan sebelumnya untuk melawan perasaan itu, dan ketika mereka akhirnya menyerah dan mengikuti arus, kamu malah tiba-tiba muncul untuk bilang “ayo, kamu pasti masih bisa berenang kesini!”, bukan di atas sekoci penyelamat, tapi di atas (yang bagi mereka adalah) kapar pesiar. Mereka mungkin bisa selamat nantinya ketika menemui sesuatu yang bisa mereka pegang untuk mengambang di permukaan, tapi siapa yang tahu kalau mereka akhirnya selamat terlepas dari adanya itu atau tidak?

Contoh dari media populer mungkin perlu dalam hal ini. Let’s talk about Asahina Mafuyu from Project Sekai.

mafuyu

Dari luar, Mafuyu adalah anak dan murid teladan; Nilai sekolahnya bagus, aktif dan terkenal sebagai teman yang bisa diandalkan di sekolah, dan bagi orang tuanya, seorang anak dengan jalan ke masa depan yang cemerlang sebagai seorang dokter. Dibalik itu, Mafuyu is a mess—dia merasa kehilangan jati diri karena terlampau sering berperilaku sebagai seseorang yang “perfect” bagi orang di sekitarnya, sampai-sampai ketika memikirkan apa yang sebenarnya dia ingingkan, tidak ada jawaban yang dia temukan. Kondisinya terlampau parah sampai ia tidak bisa merasakan apapun dari makanan yang dia konsumsi. Ketika dia berusaha mengekspresikan itu di dalam musik secara mandiri (Mafuyu bertindak sebagai penulis lirik di sirkel 25-ji, tetapi dalam awal cerita utama dari Project Sekai dia sempat mencoba membuat musik dengan inisial sendiri, OWN), teman-temannya yang waktu itu tidak mengetahui kalau akun tersebut milik Mafuyu menyebutkan kalau musik yang dibuatnya sangat bagus, tetapi terasa lifeless.

Pada dasarnya ini adalah upaya untuk menggambarkan seberapa parah kondisi depresi dari karakter Mafuyu. Mungkin penggambarannya terlampau ekstrim dari contoh-contoh yang ada di dunia nyata (kehilangan sense of taste, misalnya, punya dasar yang bisa dibaca di sini – seringkali yang terjadi adalah orang yang memiliki depresi kehilangan nafsu makan dan ketika makan, rasa makanannya terasa lebih hambar), tetapi tujuannya adalah untuk menggambarkan bahwa Mafuyu benar-benar di ujung tanduk seputar depresinya.

It is only with the help of her friends, who have their own problems, and a lot of time (more than one year of progress in-story), that Mafuyu have the courage to address her problem to the root of her problems; her Mom and her way of controlling Mafuyu to be her ‘perfect child’. Perjalanan dari penyelesaian ini juga tidak mudah, dan ketika Mafuyu akhirnya mengkonfrontasi ibunya, hasilnya juga tidak sesederhana itu—Mafuyu akhirnya kabur dari rumah ketika ibunya malah balik meng-gaslight Mafuyu dan menyalahkan teman-temannya sebagai ‘racun’ yang mempengaruhi Mafuyu dari imejnya sebagai ‘perfect child’ ibunya. It is a progress, but certainly not the happy ending that she deserves, yet.

Jika dikembalikan lagi dengan quote sebelumnya, energi untuk mengubah semuanya baru bisa keluar ketika akhirnya Mafuyu memiliki support system yang bisa membuatnya berubah sedikit demi sedikit. Semua itu tidak akan bisa terjadi kalau Mafuyu masih sendirian menghadapi masalahnya, kalau 25-ji!Miku nggak mengulurkan tangan kepada Kanade (dan Ena serta Mizuki), orang yang dilihatnya sebagai sosok terdekat yang dapat membantu Mafuyu, untuk membantu kondisi Mafuyu menjadi lebih baik.

Ucapan ‘menceramahi’ upaya hidup seseorang memang lebih mudah diucapkan, dan sekilas bisa membuatmu terlihat jadi si paling peduli, tapi pada akhirnya itu juga nggak punya pengaruh yang berarti kepada mereka yang membutuhkan diberitahu seperti itu. That’s not how you coerce your friend who’s suicidal.


Tulisan ini dibuat untuk merayakan hari pencegahan bunuh diri sedunia, dan kebetulan ada post Facebook yang kemarin sempat tersebar di kawan-kawan seputar ini—yang aku quote di atas adalah cuplikan seingatku atas isi post tersebut (orangnya sudah aku blok, dan aku juga malas ngecek lagi isi postnya apa meskipun sempat aku screenshot tadi pagi). Nggak bakal aku sematkan tautannya karena ada indikasi orang yang mengeluarkan pernyataan ini adalah wannabe e-artis. Contoh Mafuyu yang aku pakai pun selain karena cocok untuk membahas masalah ini, dia juga karakter favorit dari orang yang mengunggah post tersebut. Ironis, kan? Your words for chasing clout won’t save someone– real action is.

TW: discussion of suicide and depression.

Sudah setahun lebih aku jadi perokok. Aku mulai ngerokok setidaknya dari awal tahun 2023, dan baru aktif sehari-hari di pertengahan tahun yang sama.

Nggak ada alasan spesifik—aku nggak pernah ditawarin rokok sama teman-teman (apalagi sebelumnya juga bukan tipikal yang suka nongkrong di warung untuk bercengkrama, tempat yang lumrah untuk bercengkrama sambil merokok), dan aku juga nggak mau nyalahin orang lain karena keputusanku untuk merokok ini. That said, impetusnya memang karena teman; ada teman dekat yang ngepost di Facebook kalau dia balik ngerokok lagi, dan aku jadi penasaran gimana rasanya. Kondisi yang masih depresif/mengarah ke high-functioning depression waktu itu memang mendukung sekali untuk kena barang adiktif seperti rokok, dan karena itu masih keterusan sampai sekarang. Meskipun sekarang depresinya sudah mulai kambuhan, adiksi ini masih tetap kerasa, meskipun juga nggak berusaha aku pikirkan—as long as it could get me going, that’s fine.

That said, memang makin lama konsumsinya jadi makin naik. Sebelum paruh pertama 2023, aku masih bisa merokok cuma sekali dalam 2-3 hari. Selama di Lumajang, karena kawan yang aku tinggali dan membantu proses pengerjaan skripsi—dan karena skripsi itu juga—aku bisa menghabiskan sebungkus rokok dalam waktu 4 hari, dan setelah bergeser ke tingwe rasanya waktu itu bisa habis 4-6 batang sehari. Sekarang, kalau ada yang harus dikerjakan (dan ngerjakannya di luar juga), aku bisa menghabiskan 4-6 batang sekali sesi ngerjakan; di rumah lebih sedikit karena masih ada faktor pengontrol “oh iya, ini di rumah, ga boleh banyak-banyak.”

Do I regret this? Not really. Faktor utamanya adalah aku masih bisa mengontrol konsumsinya, atau at least punya bayangan/ilusi kalau aku bisa mengontrol itu, seperti “paling nggak aku ga ngabisin sebungkus sehari.” Faktor lainnya adalah karena aku sudah paham resiko dari merokok seperti apa, resiko penyakit seperti apa yang bisa aku dapat karena merokok ini.

Ini, yang kemudian membuatku berpikir soal passive suicidal ideation.

Kalau belum tahu, passive suicidal ideation itu kondisi dimana seseorang nggak memikirkan secara aktif bahwa dia ingin mengakhiri hidupnya, entah dengan usaha sendiri ataupun dengan kesempatan dari luar, tetapi masih ingin hidupnya berakhir (stuff like wanting to die by getting hit by a truck – sometimes, that is – for example). Contoh paling sederhananya begini: Apa kamu tidak masalah kalau besok pagi tidak akan bangun selamanya? Kalau jawabanmu iya, besar kemungkinan kamu punya passive suicidal ideation. Penyebab mati “natural” ini bisa bermacam-macam, but you should’ve get the idea. Tautan untuk membaca lebih lanjut soal ini.

Mungkin aku punya tendensi seperti ini. Mungkin. Tapi sekarang sudah tidak dalam kondisi yang sebegitu parah. Yang terpikirkan olehku adalah aku sudah dalam posisi acceptance soal hidup-mati—kalau memang suatu saat aku akan mati, mendadak atau tidak, ya sudah. I’ve lived a life and I accept those results—termasuk jika kondisi kesehatan memburuk karena rokok ini.

Yang membuatku bimbang adalah apakah ini bentuk dari passive suicidal ideation ataukah sudah di tahap selangkah lebih maju dari pemikiran itu. Apa ini masih bisa dikategorikan demikian, dan apakah ini sesuatu yang masih bisa dibilang wajar? Aku belum berdiskusi seputar ini dengan psikiaterku, dan sekarang juga belum punya jawaban yang pasti. Ini bukan sesuatu yang terpikirkan olehku secara sering dari waktu ke waktu , tapi juga masih sesuatu yang mengganjal ketika teringat lagi. Kali ini aja aku kebetulan kepingin nulis dan ini salah satu yang pertama kali terbesit di pikiranku. Kalau ada yang ingin didiskusikan soal ini, silahkan lewat reply/komentar, monggo.

Be well, all of you.

Meskipun aslinya pengen ngomongin seputar manajemen waktu dan aktivitas pake teknik Pomodoro, setelah duduk dan nulis ini kepikiran kalau ada beberapa hal yang lebih mendasar yang sekiranya berpengaruh betul dalam penggunaan metode ini akhir-akhir ini. Sebelum ini, aku pernah mencoba memakai Pomodoro untuk mengatur waktu kerja, tapi hasilnya kurang memuaskan ataupun nggak terasa berguna.

I won’t bother you with details about Pomodoro technique. Artikel wikipedia tentang ini sudah cukup untuk menjabarkan mekanisme dasar teknik Pomodoro, kalau malas ngeklik tautan dari laman web/blog lain yang biasanya dibuat oleh mereka yang punya interest kepada kamu untuk menggunakan jasa manajerial mereka.

Inti utama dari Pomodoro adalah membagi waktu aktivitas menjadi potongan-potongan kecil, yang diselingi oleh rehat sejenak (5 menit untuk rehat pendek dan 15 untuk rehat panjang biasanya menjadi acuan dasarnya, tapi ini bukan aturan pakem).

Ada beberapa poin yang bisa aku tarik dari penggunaan Pomodoro akhir-akhir ini. Pertama, Pomodoro baru efektif kalau digunakan untuk memecah tugas/aktivitas yang memang jangka pengerjaannya panjang, yang kamu tahu bakal jenuh untuk dilakukan. Kalau Pomodoro digunakan untuk aktivitas yang memang bisa dilakukan secara ‘autopilot’ ataupun senang dilakukan, efektivitasnya kurang terasa, atau bahkan malah menambah beban kerja yang seharusnya. Misal, untuk nulis satu artikel ini, aku nggak perlu memakai Pomodoro karena: 1) aktivitasnya nggak bakal menyita waktu yang panjang, dan 2) ini bukan sesuatu yang membutuhkan fokus secara penuh untuk dilakukan, atau bisa dikerjakan dengan agak nyantai. Bakalan agak lama dibandingin kalau mengkondisikan sesi ngerjainnya, sure, tapi kalau diplanning sampai sedemikian rupa malah bikin males dan akhirnya terbengkalai.

Kedua, Pomodoro itu masih butuh prasayarat pemfokusan yang harus lebih dulu dipenuhi, atau setidaknya bersamaan dengan waktu mengerjakan aktivitas dengan Pomodoro. Prasyaratnya adalah memfokuskan diri untuk mengerjakan aktivitas tersebut.

Ada beberapa resource terkait upaya memfokuskan diri ini, tapi yang sudah lama aku simpan di Vault pribadi adalah artikel blog dari University of San Francisco. tl;drnya:

  • Eliminate distraction, be it internal or external, as much as possible.
  • Create to-do list with smaller task to create easier winning goals and to not make you feel overwhelmed by the tasks.
    • Start with small task.
  • Take regular breaks between tasks and have enough sleep.
  • Focus on one task at a time.

Dalam kiat-kiat ini, teknik Pomodoro bisa masuk di poin kedua (dan ketiga), dalam memecah kegiatan untuk membuat pencapaian harian, yang bisa menjadi positive feedback loop, jadi lebih terlihat dan mudah untuk dikuantifikasi. Dan ini bukan menjadi hal pertama yang menjadi fokus; yang lebih perlu dilakukan adalah mengeliminasi distraksi, baik internal ataupun eksternal. Eksternal bisa berupa faktor-faktor lingkungan, seperti tempat beraktivitas, sedangkan internal bisa berupa hal-hal yang berkaitan dengan pengerjaannya, misalnya dari aktivitas-aktivitas yang lebih penting untuk dilakukan terlebih dahulu[^1]. Misalnya, aku biasanya mematikan wi-fi laptop waktu memulai sesi Pomodoro untuk memaksa nggak ngecek web, dan hape difokuskan untuk membuka timer Pomodoro. Ketika memang butuh jaringan internet nanti waktu mengerjakan, biasanya aku sudah di dalam kondisi fokus sehingga nggak sebegitu terpengaruh untuk membuka hal-hal lain selain yang diperlukan.

Ketiga, Pomodoro kurang cocok kalau digabungkan dengan pengerjaan berbasis metrik atau bertarget. Dari penggunaanku akhir-akhir ini, Pomodoro baru terasa berguna banget setelah aku fokus menggunakan jumlah sesi Pomodoro sebagai metriknya, daripada seberapa banyak hal yang harus selesai dilakukan. Satu atau dua sesi Pomodoro (dalam hal ini maksudku adalah per 25 menit pengerjaan sebelum rehat pendek) harusnya sudah cukup untuk memberi ukuran seberapa jauh kita bisa mengerjakan aktivitas yang difokuskan. Langkah selanjutnya baru menentukan apakah itu masih bisa ditingkatkan lagi, misalnya karena masih ada beberapa hal yang menghalangi konsentrasi pengerjaan, atau hal-hal lain. Yang utama adalah konsistensi, daripada kuantitas yang murni – menulis +-500 kata per satu sesi secara konsisten lebih baik daripada bisa menulis 1000 kata dalam satu sesi, tapi drop di sesi selanjutnya menjadi 200 kata hanya karena capek pikiran di sesi sebelumnya.

[^1]: See also: https://maulanamd.my.id/20-Blog/21-Tulisan-Receh/21.03-Lainnya/You-Can't-Put-Your-Egg-into-Two-Basket-at-the-Same-Time