case-vineyard

Judul yang cukup ambigu, namun singkatnya begitu. Secara detail, saya pribadi lupa kapan saya membeli HP ini. Ketika saya cek foto terlama di galeri, 2020, rasanya tidak mungkin saya membeli HP di tahun 2020. Saya ingat betul bahwa pada saat saya menggunakan HP ini, suasana kampus masih bukan suasana pandemi. Mari berasumsi bahwa HP ini dibeli pada tahun 2019, maka sudah 5 tahun saya menggunakan HP ini.

Gugur yang saya maksud bukan berarti HP ini tidak bisa digunakan sama sekali. Jika benar gugur yang itu, maka saya akan sangat merasa down karena banyak hal belum saya backup. Namun gugur yang saya maksud adalah, gugur yang ternyata HPnya masih bisa saya gunakan.

Kronologi

Akhir pekan yang tidak jauh berbeda dengan biasanya, menghabiskan waktu dengan berpergian ke luar, bermain dan hangout. Kebetulan memang membawa 2 HP, HP utama dan HP cadangan yang hanya dipakai ketika baterai HP utama habis atau ketika charge. Pada sore hari, tetiba saya tidak bisa masuk ke layar home setelah unlock HP. Layar tetiba jadi freeze begitu saja ketika masuk ke home screen. Namun pada saat layar otomatis terkunci dan berada di lock screen, layar aman aman saja. Hal ini berlangsung terus menerus tanpa henti, dan kemudian saya panik bukan main.

Berasumsi bahwa hal ini disebabkan karena baterai HP yang sisa 20%, saya lekas mencari kabel charger, namun na'as saya lupa membawanya. Kemudian saat saya berupaya untuk matikan HP saya secara paksa dengan menahan tombol lock screen, namun HP tak kunjung mati juga. Satu-satunya harapan adalah menunggu hingga HP kehabisan baterai sendiri. Namun malang, hingga keesokan pagi, baterai baru habis dan bisa dinyalakan kembali.

Upaya untuk Mengabari Orang Terdekat: Menggunakan HP Kedua

Ketika HP jadi tidak bisa digunakan selama lebih dari 12 jam, muncul kekhawatiran selama beberapa jam pertama. Bagaimana cara mengabari orang terdekat bila HP sedang rusak dan supaya mereka tidak panik jika kita tidak dapat mengabari mereka? Pada jaman dahulu, dengan menggunakan warung telepon atau wartel, ataupun telpon umum di jalan, kita bisa mengabari orang di rumah. Namun, bagaimana caranya sekarang? entah.

Yang saya lakukan pada saat saya masih di luar adalah segera menggunakan HP kedua saya untuk coba menghubungi orang terdekat. Namun naas, saya baru saja hapus aplikasi Telegram di HP kedua pada pagi harinya. Sedangkan Telegram sendiri mengirim OTP melalui aplikasi Telegram, bukan melalui nomor seluler.

HP kedua saya memang sengaja saya install aplikasi yang tidak banyak. Seperti ada Conversations untuk komunikasi pada XMPP, namun tidak login pada Email. Sedangkan orang-orang terdekat saya tidak menggunakan XMPP, sehingga cukup mengesalkan juga. Kemudian saya pasrah dan tidak sabar untuk kembali ke tempat tinggal.

Upaya untuk Mengabari Orang Terdekat: Memindahkan SIM Card ke HP Kedua

Ketika HP pertama tak kunjung mati, harapan lain yang bisa saya pikirkan adalah menggunakan laptop dan HP kedua. Ketika saya cek laptop, saya menyadari kalau Whatsapp dan Telegram sudah keluar secara otomatis sehingga saya butuh akses ke SIM Card ataupun aplikasi untuk mendapatkan OTP.

Tanpa pikir panjang, saya segera pindahkan SIM Card dari HP pertama ke HP kedua. Telegram kembali menjadi aplikasi yang menyebalkan. Meskipun saya memiliki akses ke SIM Card, tetap saja Telegram mengirimkan OTP ke aplikasi Telegram pada HP pertama, alih-alih mengirimkan menggunakan SMS. Telegram bukan penyelamat. Kemudian saya coba Whatsapp, dan berhasil, OTP dikirimkan ke SMS sehingga saya bisa masuk. Namun apa yang terjadi? Kontak dan riwayat chat tidak ada. Untuk saya yang kesulitan menghafal nomor handphone, memiliki akses ke Whatsapp tanpa kontak itu hampir menjadi tidak ada gunanya.

Harapan terakhir adalah mencari hal yang bisa dilakukan melalui laptop. Saya segera buka Thunderbird kemudian cari di history alamat email orang terdekat apakah ada berdasarkan pencarian nama. Kemudian saya menemukan dan segera mengirim email. Namun agak kecil harapan juga bahwa email segera dicek, jadi saya kemudian cari alternatif lain. Saya menemukan email notion yang berada 1 workspace dengan orang terdekat saya, kemudian saya segera notify dia melalui Notion, namun masih belum ada kabar juga. Kemudian saya coba untuk login ke akun Google saya, kemudian gunakan fitur Google Chat / Hangout menggunakan alamat email yang saya temukan di Thunderbird. Dan ya, tidak lama kemudian, saya dikontak melalui Whatsapp saya yang tanpa kontak di HP kedua saya.

Pelajaran Berharga

Selalu punya exit plan jika HP utama kamu tiba-tiba rusak atau hilang. Apakah akses ke Financial Service seperti Perbankan dan E-money tersedia di kedua HP? Apakah layanan Financial Service tersebut membutuhkan akses ke SIM Card atau HP utama? Bagaimana dengan kontak ke orang terdekat, apakah sudah tercatat di berbagai perangkat?

Semoga hal ini tidak lagi kejadian di saya pribadi ataupun di orang lain juga. Selalu rencanakan penggunaan HP anda dengan matang supaya permasalahan saya tadi bisa teratasi dengan mudah.

Look Back, pada saat itu penulis mengetahui judul ini sangat sedang asik membuka situs Manga Plus dari Shonen Jump. Look Back? Mangaka dari Chainsaw Man? Pada saat itu mungkin Chainsaw Man sedang hiatus karena perpindahan arc, tapi siapa sangka, mangaka ini justru sempat untuk menulis karya baru.

Pekan kemarin, memutuskan untuk menonton Look Back di layar bioskop, karena kebetulan memang masih tayang. Dan kali ini tidak menonton sendiri, namun mengajak pasangan penulis.

Catatan, tulisan di bawah mengandung spoiler dari isi cerita Look Back. Jika ingin menikmati cerita sendiri, silahkan tutup dan hindari tulisan ini.

Perbedaan Antara Mangaka dan Illustrator

Karena tidak menemukan kata yang tepat untuk “Mangaka” dan “Illustrator”, jadi penulis tulis demikian. Look Back menceritakan 2 tokoh utama yang menyukai seni, namun yang mereka kerjakan adalah dua hal yang berbeda dari seni.

Mangaka, atau mungkin orang yang membuat komik. Komik tidak harus berbentuk serial apalagi dibukukan. Komik dapat sesimpel sebuah 4 panel di atas secarik kertas. Komik umumnya memang bersifat menghibur alih-alih memberikan suatu kesan yang wah.

Sedang Illustrator mungkin bisa dibilang juga serupa dengan pelukis. Dia melukiskan suatu pemandangan atau kejadian di suatu tempat, dengan kualitas detail yang cukup tinggi.

Kedua profesi atau hobi ini memiliki skill yang berbeda. Seorang mangaka yang ingin mempelajari bidang ilustrasi mungkin akan butuh waktu yang cukup lama. Begitu pula sebaliknya.

Untuk menjadi ahli, diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk berlatih dan berlatih tiada henti.

Look Back adalah Animasi yang Artistry

Pada awalnya, Look Back dimulai dengan sudut pandang yang sangat unik. Seorang anak yang sedang menggambar komik 4 panel, kemudian komik itu menjadi nyata seperti animasi. Dengan perbedaan kualitas animasi yang drastis, seakan animasi ini tidak untuk ditayangkan di bioskop. Namun mungkin itulah nilai jual dari karya mangaka Chainsaw Man ini.

Look Back memiliki plot yang juga simpel, sangat sederhana, namun karena kesederhanaan itu justru membuat animasi Look Back ini mudah dicerna, dibanding serial Chainsaw Man.

Banyak hal yang ada di Look Back merupakan kejadian yang mungkin bisa dibilang kocak dan juga tidak masuk akal. Namun juga tragis. Siapa sangka perubahan timeline justru membuat sebuah animasi menjadi semakin emosional?

Akhir Cerita

Pada akhirnya, kita kembali diingatkan, atas pilihan-pilihan di hidup kita. Setiap pilihan dalam hidup kita, akan membawa kita ke sebuah kemungkinan kehidupan yang mungkin saja berbeda. Namun apakah suatu kehidupan yang kita jalani sekarang adalah pilihan yang salah? Apakah kita dapat mengubah pilihan kita di masa lampau? Lalu apa yang bisa dilakukan saat ini?

Hal-hal seperti itu hanya diri kita sendiri lah yang mengetahuinya.

Penulis menjadi tidak sabar untuk menonton karya lain yang serupa Look Back. Semoga kita diberikan kesehatan untuk dapat menonton karya-karya emosional lain yang ada di dunia fana ini.

Sekian

Terlibat dalam banyak komunitas, baik sebagai anggota, pengurus, atau bahkan pendiri, membuat penulis dapat melihat adanya pola yang sama pada pengelolaan kegiatan di komunitas. Komunitas mungkin bisa dibagi menjadi 2 kategori, komunitas yang terbuka dan terbatas.

Komunitas Terbuka

Komunitas Terbuka mungkin lebih umum untuk ditemukan. Mereka umumnya punya kegiatan yang terbuka bagi siapa saja untuk bergabung, kemudian akan ada beberapa akun atau user yang membagikan keseruan kegiatannya. Biasanya komunitas terbuka memiliki lebih dari 1 akun atau grup, tidak terbatas kepada akun atau grup komunitas saja.

Misal komunitas Z didirikan oleh pendiri A. Sering kali pendiri A mempublikasikan kegiatan komunitas Z di akun pendiri A sendiri, tidak hanya di akun atau grup komunitas Z. Belum lagi terkadang mereka ingin mencapai lebih banyak orang, sehingga mereka memiliki lebih dari 1 platform sosial media.

Komunitas Terbatas

Sedangkan Komunitas Terbatas, umumnya hanya berada di 1 platform saja dan hanya memiliki 1 grup saja. Diskusi yang dilakukan juga hanya berada di dalam komunitas saja, tidak sampai di luar komunitas seperti Komunitas Terbuka. Untuk bergabung pun, terkadang kita perlu mendapatkan referral dari orang lain yang sudah bergabung terlebih dahulu.

Kelola Kegiatan

Pada Komunitas Terbatas, pengelolaan kegiatan dapat dilakukan dengan mudah, karena umumnya hampir seluruh anggota berada pada grup tersebut. Hanya perlu pin dan reminder supaya orang-orang yang akses komunitas tersebut dapat selalu diingatkan bahwa akan ada kegiatan apa saja.

Sedangkan pada Komunitas Terbuka, umumnya mereka harus membuat pamflet dan link pendaftaran untuk dibagian di seluruh akun dan platform sosial media agar bisa menjangkau lebih banyak orang.

Masalah Pengelolaan Kegiatan di Komunitas

Pada saat ini, komunitas banyak yang beroperasi di platform sosial media ataupun platform internet messaging atau chatting. Kedua platform ini memiliki masalah yang sama, yakni informasi terkait kegiatan-kegiatan yang lampau bisa tenggelam. Kegiatan yang akan datang sebetulnya juga bisa tenggelam karena informasi mengenai hal di luar kegiatan bisa menumpuk.

Pada era sebelum pandemi, komunitas banyak menggunakan platform event management yang bersifat komersial. Mungkin awalnya platform tersebut memang sedang mencari pengguna dan model bisnis, jadi masih banyak yang gratis. Namun setelah beberapa tahun, platform tersebut mulai ramai dan akhirnya menjadi berbayar.

Bagi penulis, hal ini sangat disayangkan karena data kegiatan-kegiatan sebelumnya jadi terperangkap di platform tersebut. Jarang atau hampir tidak ada platform komersil yang menyediakan fitur untuk export data mereka sehingga bisa kita gunakan di platform yang lain.

Ambisi Komunitas Teknologi Lokal untuk Mengembangkan Sendiri

Tidak jarang ada ambisi-ambisi dari komunitas lokal untuk mengembangkan sendiri software yang biasa mereka pakai namun misal sudah menjadi berbayar, semakin mahal, atau justru mati. Ambisi ini patut dihargai. Namun sering kali ambisi ini berakhir tanpa ada hasil. Karena memang mengembangkan aplikasi yang bukan kita sendiri yang menggunakan, itu bukan hal yang mudah.

Memanfaatkan Open Source

Hal ini jarang dilirik oleh para pengelola komunitas, termasuk komunitas teknologi sendiri. Memanfaatkan open source berarti juga harus memahami bagaimana aplikasi open source tersebut bekerja, dan mengelola sendiri server yang dipakai alih-alih menyerahkan pada pihak lain.

Dengan menggunakan Open Source, kita menghindari konsep DRY, yakni Don't Repeat Yourself. DRY tidak apa digunakan untuk konteks belajar, namun untuk penggunaan aplikasi yang cukup urgen sebaiknya menggunakan yang sudah ada, kemudian baru kembangkan sendiri sesuai kebutuhan yang jelas.

Selain itu, kita jadi seakan memiliki tim. Karena menggunakan Open Source berarti menggunakan source code milik orang lain. Kita bisa jadi bertanya dan berdiskusi dengan pemilik source code ataupun dengan orang-orang lain di luar sana yang ingin berkontribusi.

Daftar Open Source untuk Kelola Kegiatan

  1. Mobilizon https://joinmobilizon.org/en/

Mobilizon mungkin open source pengelola event pertama yang penulis temukan. Memiliki fitur yang serupa seperti pengelola event komersil yang lain. Namun penulis kesulitan untuk menjalankan aplikasi ini di server Arch.

  1. Gancio https://gancio.org/

Gancio adalah open source kedua yang ditemukan penulis, fiturnya cukup terbatas. Open source ini seperti event aggregator saja, untuk mengumpulkan informasi event-event, namun tidak untuk pengunjung registrasi dan sebagainya. Menurut penulis, ini masih lebih baik dibanding menggunakan layanan komersil ataupun platform sosial media saja. Sehingga siapapun bisa mengakses kegiatan-kegiatan milik komunitas secara terbuka.

  1. Gathio https://gath.io/

Gathio serupa namun tidak sama dengan Gancio. Gathio tidak menampilkan event dari semua komunitas. Link yang dibagikan adalah link untuk membuka profil dari suatu komunitas dan menampilkan kegiatan-kegiatannya. Reservasi bisa dilakukan melalui Gathio seperti melalui ActivityPub.

Kesimpulan

Dengan adanya permasalahan di komunitas terkait keterbukaan informasi kegiatan. Harapan penulis setelah ini adalah semakin banyak komunitas yang memanfaatkan Open Source untuk membagikan dan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan mereka secara terbuka. Hal ini harapannya dapat meningkatkan pertumbuhan komunitas dan minat terhadap komunitas.

Terima kasih

Belakangan ini ada celetukan ajakan untuk menggunakan Twitter atau Instagram dari orang sekitar. Terakhir kali pakai Twitter adalah akhir tahun lalu, sedang untuk Instagram mungkin sekitar awal tahun ini, dan Facebook sudah bertahun-tahun yang lalu.

Hal yang berat dari meninggalkan platform besar tadi bukan karena fitur, melainkan orang-orang yang ada disana. Namun konyolnya, orang-orang disana juga lah alasan pribadi untuk meninggalkan platform tersebut.

Alasan Migrasi

Pada awalnya, migrasi dari Facebook ke Twitter karena pada saat itu Facebook terlalu panas dengan perdebatan yang ada, sekitar tahun 2018-2019. Sambil singgah di Facebook dan Twitter, sesekali singgah juga di Instagram untuk sekedar mendapatkan life update dari beberapa orang yang diikuti. Namun pada 2022-2023 ini sangat terasa bahwa sosial media sudah menjadi tempat yang berbeda, bukan sekedar tempat untuk berekspresi saja, namun juga tempat untuk menghasilkan uang.

Mereka yang Menghasilkan Uang di Sosial Media

Uang yang dihasilkan dari platform sosial media tidak terbatas pada uang yang diberikan langsung oleh pemilik platform. Tetapi juga uang yang dihasilkan melalui sponsor atau melalui task atau tugas yang diberikan. Contohnya, semakin besar atau populer akun kita, semakin besar pula kemungkinan brand akan menghubungi kita untuk minta promosikan produk atau brand mereka. Setiap akun biasanya memiliki segmentasi pasar tersendiri, misalkan akun yang digemari oleh pegiat teknologi, akun yang digemari oleh pembaca buku, dan sebagainya. Jadi pihak brand akan membayar si pemilik akun dengan syarat mereka posting produk atau brand mereka, entah sekali posting atau berkala, entah itu tersirat atau tersurat.

Sedang untuk yang menghasilkan uang dengan task atau tugas, biasanya syarat-syarat sesimpel misal follow akun tertentu, bikin postingan dengan hastag tertentu, atau komentar di postingan atau akun tertentu. Ya, hal-hal tersebut umum kita kenal dengan buzzer.

Segmentasi pengguna di sosial media semakin melebar, bukan sekedar menjadi tempat untuk berekspresi, tetapi menjadi tempat untuk mencari ketenaran dan menghasilkan uang. Karena memiliki sudut pandang yang berbeda antara orang yang ingin berekspresi dengan orang yang lain, akhirnya sering menjadi konflik atau debat online. Debat online yang dilakukan secara tertutup mungkin masih oke, tetapi sering kali debat online dilakukan secara publik atau dilakukan tertutup namun kemudian disebarkan ke publik. Hal ini juga membuat pengguna yang lain menjadi ikutan tersulut emosi.

Hari demi hari itulah yang terjadi sebagai pengguna sosial media.

Lantas apa bedanya jika kita berpindah ke sosial media lain, seperti Fediverse?

Migrasi ke Fediverse

Setelah berpindah dari Twitter ke Fediverse, ada hal-hal yang pribadi sadari berbeda. Di Fediverse kita bisa memiliki sosial media kita sendiri. Mungkin sudah banyak aplikasi sosial media open source yang lain, tetapi apa gunanya jika memiliki sosial media yang penggunanya hanya kita sendiri atau sedikit orang? Lebih baik buat group chat saja kalau bagi kebanyakan orang sekarang.

Di Fediverse tidak hanya kita bisa memiliki sosial media kita sendiri, kita juga bisa berinteraksi dengan sosial media lain. Ibarat Twitter dapat berinteraksi dengan Facebook dan Instagram. Apakah Twitter bisa begitu? Saat ini tidak. Jadinya ketika kita ingin berinteraksi dengan beda platform, kita harus memiliki akun di platform yang lain. Namun di Fediverse kita cukup memiliki 1 akun di 1 platform, kemudian kita bisa berkomunikasi dengan berbagai platform di Fediverse.

Selain itu, di Fediverse kita bisa seenak kita untuk melakukan moderasi pada sosial media kita atau pada akun kita. Misalkan kita ingin supaya pendaftaran tidak terbuka untuk publik, kita ingin memblokir sosial media lain karena mungkin terlalu sering debat online, dan sebagainya. Hal ini membuat kita menjadi lebih fleksibel untuk mengatur sosial media menjadi sesuai yang kita butuhkan sendiri.

Kesimpulan

Karena alasan alasan tadi, rasanya tidak ada alasan untuk kembali ke sosial media yang kita tidak memiliki banyak kontrol atau kebebasan untuk kebaikan kita sendiri. Untuk apa mengakses sosial media yang kemudian membuat kita pusing, marah, ataupun sedih setiap saat kita mengakses?

Semoga artikel ini bisa menjadi jawaban ketika ada orang yang bertanya kepada pribadi, mengapa tidak aktif di Twitter lagi atau mengajak pribadi untuk kembali ke sosial media yang lain.