Roh's Thoughts

I want to fill the world with the love it never gave me.

Kadang aku berpikir, adakah sebuah dunia di mana diriku merasakan kebahagiaan?

Ku menutup mataku saat malam, lalu saat itulah aku menjalani kehidupanku yang bahagia.

Sebuah kebahagiaan yang semu, sebuah kebahagiaan yang entah ada atau tidak.

Kapan terakhir kali diriku merasakan kebahagiaan?

Sebuah keinginan untuk merasakan kehidupan yang tenang bersama seseorang yang benar-benar mengerti diriku. Sebuah keinginan untuk hidup bahagia bersama orang yang aku cintai.

Aku ingin seseorang bisa memahami diriku sepenuhnya. Seseorang yang sama sekali tidak berpikir bahwa aku berbeda. Seseorang yang bisa membuatku nyaman dengan keanehan diriku sendiri.

Setiap mataku terpejam, aku selalu merasakan kehidupan yang bahagia.

Aku ingin seseorang yang mencintaiku sepenuhnya, bukan mencintai versi terbaik dari diriku, bukan versi diriku yang mereka inginkan. Namun, versi diriku yang tidak perlu menyembunyikan jati diriku.

Aku ingin dimengerti.

-

Pernah suatu ketika keponakaknku bertanya kepadaku, ia bilang bahwa ini merupakan tugas yang ia dapatkan dari sekolah.

Ia bertanya, “Pengalaman paling membahagiakan apa dalam hidupmu?” Saat itulah aku menyadari bahwa diriku tidak pernah bahagia.

Aku kesulitan menjawabnya, sehingga aku hanya mengatakan tidak tahu atau 'tidak ingat'. Sedikit sesak ketika aku mengingatnya.

-

Aku tidak merasakan begitu banyak kesedihan dalam hidupku, tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, mungkin hanya “rasa senang” yang ada. Bukan kebahagiaan yang sejati.

Apakah mendapatkan gadget baru merupakan kebahagiaan? Bukan, itu hanya rasa senang.

Apakah lulus dengan nilai tinggi merupakan kebahagiaan? Juga bukan, itu hanya rasa senang.

-

Hidupku bagaikan air putih, tidak ada sedih dan bahagia.

Ini hanyalah sebuah celotehan di malam hari, di mana hatiku tiba-tiba merasakan sesak ketika mengingat kosongnya kisah hidupku.

Disclaimer : Cerita ini terinspirasi dari sebuah cerita pendek yang berjudul “The Egg” oleh Andy Weir, tentu saja dengan beberapa perubahan dalam sistem ketuhanan tersebut.

Di antara keberadaan dan ketiadaan, Tuhan menatap segala sesuatu di depannya dengan kosong. Tidak ada emosi sedikitpun terdapat dalam kesadaran utama yang murni tersebut.

Tuhan mengedipkan matanya, lalu terlewatilah jutaan eons. Jutaan eons kembali terlewati dalam kesunyian dan kekosongan, tidak ada suatu hal apapun yang terjadi dalam masa tersebut. Lalu tiba-tiba,

Doom!

Tuhan menghancurkan dirinya, sehingga mengakibatkan keberadaan dan ketiadaan melebur menjadi satu. Peleburan keberadaan dan ketiadaan ini akhirnya menghasilkan ruang, sehingga akhirnya waktu mulai berjalan.

Tapi apakah Tuhan benar-benar menghancurkan dirinya? Ataukah ia menjelma menjadi bentuk yang lain?

Masa demi masa berlalu, sehingga akhirnya ruang mulai mendingin. Awan kabut menyelimuti semesta, memenuhi ruang semesta dengan warna kelabu.

Awan kabut mulai menarik satu sama lain, menciptakan massa yang lebih besar. Ruang membengkok seiring dengan bertambahnya massa, menciptakan gravitasi, ibu dari segala ciptaan.

Di antara kelabunya semesta, cahaya mengintip dari awan kabut, menandai lahirnya bintang pertama di alam semesta.

Organisme pertama lahir, menandai lahirnya kembali Tuhan yang kini menjelma menjadi organisme sel tunggal. Tidak seperti sebelumnya, ia kini mempunyai kesadaran yang terbatas, tidak mempunyai kecerdasan sama sekali.

Tuhan lahir dan mati selama ribuan jutaan kali, seiring dengan bertambah banyaknya organisme sel tunggal lain yang muncul. Semua organisme tunggal tersebut, lain dan tidak bukan merupakan Tuhan sendiri.

“Organisme tunggal lahir dan mati jutaan kali, begitupun pula Tuhan lahir dan mati jutaan kali.”

Organisme tunggal berubah menjadi organisme yang lebih kompleks, menandai lahirnya era hewan dan tumbuhan.

Seekor ulat hijau kecil dengan senangnya berjalan di atas batang tanaman, ia memandang semua daun tanaman tersebut dengan bahagia, seolah ingin memakan dan memasukkan semua daun tersebut ke dalam perutnya.

Tuhan menarik tubuhnya menuju dedaunan, ingin segera memakan daun tersebut, agar ia bisa segera bersiap menghadapi musim dingin yang panjang.

Tuhan menatap bunga kecil di antara tanaman tersebut, merasa tertarik dengan daunnya yang terlihat segar, jika ia memakannya, ia akan merasa puas dan kenyang.

Pada akhirnya, ulat kecil tersebut memakan semua daun tanaman yang ada, namun sayangnya ia tidak berhasil melewati musim dingin yang sangat keras.

Tuhan mati, dan ia terlahir kembali menuju lini waktu yang berbeda, kali ini ia terlahir menuju waktu lampau.

Kini, ia menjelma menjadi bunga kecil yang sedang dengan senangnya menyerap cahaya matahari. Ia tidak bisa melihat karena tidak memiliki mata, namun itu bukanlah masalah yang besar baginya, karena ia masih bisa merasakan sekelilingnya dengan sangat jelas.

Dedaunannya yang terlihat mirip dengan daun putri malu, kini bergerak-gerak diterpa angin yang lembut, menampakkan pemandangan bunga yang terlihat mempesona. Daun tersebut berwarna hijau segar, dan tampak semakin hijau di bawah hangatnya sinar matahari.

“Oh, apa itu?” pikir bunga kecil tersebut dengan gelisah, ketika merasakan ada sebuah makhluk yang kini sedang merambati daun-daunnya.

Ulat hijau kecil tersebut bergerak dengan bersemangat menuju tanaman bunga, bersiap untuk memakan daun-daunnya guna untuk melewati musim dingin yang panjang.

Memang, tanaman bunga tersebut tidak dapat merasakan sakit, namun ia merasakan bahwa daun-daunnya yang hijau kini mulai digigiti hingga habis.

Tanaman bunga tersebut akhirnya menyerah dan putus asa, dan membiarkan kematian mendatangi dirinya.

“Dua inkarnasi Tuhan saling bertemu, ia terlahir kembali sebagai ulat hijau dan tanaman bunga.”

Manusia akhirnya muncul dalam peradaban, diikuti oleh munculnya berbagai peradaban dan kerajaan yang berdiri dan hancur berulang kali. Kehidupan demi kehidupan berlalu dengan cepat, waktu berlalu tanpa disadari oleh manusia.

Patala adalah seorang pria dengan seorang anak, namun walaupun ia merupakan seorang ayah, namun ia bukanlah seorang ayah yang baik.

Seperti yang bisa ditebak, Patala merupakan inkarnasi Tuhan yang entah ke berapa, entah yang ke jutaan milyar kalinya, atau mungkin entah sudah tak terhitung berapa kalinya.

Tentu saja Patala tidak menyadari bahwa dirinya merupakan inkarnasi Tuhan, yang ia tahu, ia kini hanyalah seorang lelaki yang tidak disukai tetangga dan anaknya.

Ia selalu melimpahkan semua kesalahan kepada anaknya, membuat anaknya yang tak tahu apa-apa perlahan-lahan membencinya.

“Semua ini adalah salahmu, seandainya kau tidak lahir, ibumu tidak akan mati,” katanya dengan nada lirih dan tajam, melukai hati anaknya yang saat itu masih menempuh bangku sekolah dasar.

Wening menatap ayahnya dengan penuh kesedihan, ia segera berlari menuju kamarnya. Air mata yang daritadi ia tahan akhirnya keluar. Ia menangis di sudut ruangan, ia menangis tanpa suara.

Hal ini terjadi berulang-ulang kali, sehingga pada akhirnya Wening mati rasa akan perkataan ayahnya. Waktu berlalu, kini Wening menempuh bangku perkuliahan.

Wening tidak lagi peduli dengan ayahnya, yang ia tahu, ia sekarang tidak menyukai ayahnya, mungkin saja ia sedikit membencinya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut, membangun hidupnya dari awal.

Patala tidak merasakan sedikitpun rasa bersalah ketika melihat anaknya meninggalkan dirinya, ia tidak peduli sedikitpun.

“Jangan lupa untuk mengirim uang setiap bulannya,” kata Patala dengan nada tidak peduli.

Wening merasakan amarahnya mencapai puncak ketika mendengarnya. Namun, pada akhirnya ia menganggukan kepalanya, dan segera meninggalkan rumah tersebut tanpa menolehkan kepalanya ke belakang.

Wening memutuskan untuk memberikan uang kepada Si Tua tersebut setiap bulannya, ia melakukan hal tersebut karena ia tidak ingin berhutang sepeserpun kepadanya.

Selain tidak disukai anaknya, ia juga tidak disukai tetangganya. Kerap kali ia ditegur tetangganya dikarenakan menyetel musik keras-keras, namun ia tidak peduli sedikitpun.

Semua tetangga yang berada di sana membenci Patala, tidak hanya karena masalah volume musik, namun juga karena Patala kerap kali membuat berita dan gosip-gosip palsu, membuat mereka semua geram akan tindakannya.

Pada akhirnya, Patala ditemukan tewas pada suatu hari. Polisi berkata bahwa mereka menemukan tanda-tanda racun pada tubuhnya, sehingga kemungkinan besar Patala diracuni.

Tentu saja tidak ada yang peduli, kehidupan berlanjut seperti biasanya.

Tuhan mati, lalu ia kembali terlahir seperti biasanya. Kali ini ia tidak terlahir ke masa depan, melainkan saat ini ia terlahir menuju ke masa yang lampau.

Di kehidupan sebelumnya, ia terlahir sebagai seorang pria bernama Patala, sekarang ia mati lalu terlahir kembali sebagai sosok yang lain.

“Kau sangat cantik dan menenangkan, maka dari itu aku akan memberimu nama Wening,” kata seorang perempuan, menatap bayi di pelukannya.

Tuhan terlahir kembali ke masa yang lampau sebagai Wening, bayi tersebut menangis dengan kencang, membuat semua dokter yang berada di sana menghembuskan nafas mereka dengan lega.

Senyum di wajah Sang Ibu memudar ketika ia merasakan tubuhnya semakin melemah, ia menyerahkan bayi tersebut kepada suster yang berada di sana dengan wajah yang terlihat pucat.

Tenaga medis yang melihat hal tersebut menjadi panik, lalu segera mengerahkan tenaga mereka untuk menyelamatkan Sang Ibu, namun sayang sekali, Sang Ibu akhirnya meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.

“Semua ini adalah salahmu, seandainya kau tidak lahir, ibumu tidak akan mati,”

Tuhan menatap ayahnya dengan sedih, ia menahan isak tangisnya, lalu segera berlari menuju kamarnya. Ia menangis di sudut ruangan, ia menangis tanpa suara.

“Dua inkarnasi Tuhan bertemu, namun pada akhirnya mereka saling membenci. Bukankah tidak ada gunanya saling membenci? Itu sama saja seperti membenci diri kalian sendiri.”

Seorang pertapa menatap langit malam sambil merenungi alasan keberadaannya, ia sedang merenungi asal muasal dirinya. Kemudian ia kembali menutup matanya, kembali meneruskan meditasinya.

Ia mendapati bahwa sekat pikiran dan panca-indra membuatnya terjebak dalam ilusi yang tiada akhir, maka dari itu ia duduk untuk mengosongkan pikirannya dan menenangkan panca-indranya.

Ia mendapati bahwa identitas dirinya merupakan salah satu yang membuatnya terjebak dalam ilusi, maka dari itu ia berusaha menghilangkan identitas dirinya, menghilangkan ilusi 'Aku'.

Panca-indranya tenang, dan buah-buah pikiran akhirnya menghilang, menyisakan kesadaran paling murni, seperti layaknya kesadaran murni pada masa awal sebelum segalanya.

Pada akhirnya ia berhasil membersihkan kesadarannya dari identitas yang selama ini memberikan ilusi tiada akhir.

Ia menatap dunia dengan berbeda, ketika akhirnya ia menyadari sesuatu :

“Semua makhluk yang berada di semesta, semua makhluk yang memiliki kesadaran, merupakan satu kesatuan. Mereka semua merupakan satu entitas Yang Esa.”

“Aku, kamu, dan semua orang merupakan satu entitas. Kita semua satu. Kita semua Esa,”

“Jika kamu ingin mencari Tuhan, maka lihatlah ke dalam dirimu,”

“God is conciousness, the conciousness then manifest into living being. It wants to experience itself,”

Tuhan mengingat bahwa dirinya pernah terlahir sebagai seekor ulat hijau, ia juga ingat bahwa ia pernah terlahir sebagai bunga kecil. Ia juga mengingat bahwa dirinya pernah terlahir sebagai Patala dan Wening.

Ia tiba-tiba merasakan kesepian, ia menyadari bahwa seluruh makhluk yang berada di semesta merupakan inkarnasi dirinya sendiri.

Semua milyaran manusia di muka bumi, semua hewan, dan tumbuhan serta organisme, merupakan inkarnasi dirinya sendiri.

~Tuhan yang Kesepian

“What's the point of fighting over something. In the end, you and I are ONE,”

“Di semesta yang luas ini, hanya ada aku sendiri,” ~Tuhan

. . .

-Rohmat Subekti

“Setiap perbuatan baik dan buruk yang kamu lakukan pada orang lain, pada akhirnya akan kembali pada dirimu sendiri.”

Ditulis pada 27 Desember 2022

Orang lain cerah; Aku sendiri suram. Orang lain tajam; Aku sendiri tumpul.

Orang lain punya tujuan; Aku sendiri tak tahu.

Aku terombang-ambing bagai ombak di lautan, Aku bertiup bagai angin tanpa tujuan.

-Lao Tzu Kitab Dao De Jing (Tao Te Ching)

Tidak seperti orang lain yang benar-benar menikmati hidup dengan bahagia, aku merasa seperti orang yang tidak memiliki kehidupan sama sekali. Aku terisolasi dari dunia, aku merasa bahwa diriku tidak memiliki tempat di dunia ini.

Aku tidak mengetahui kenapa diriku dilahirkan berbeda dengan mereka yang lain. Pada saat itu, aku merasa seperti diikuti oleh kutukan kemanapun diriku pergi. Aku selalu merasa berdosa, atas hal yang tidak pernah kuinginkan.

Aku menyadari diriku berbeda pada masa diriku memasuki jenjang SMP, sekitaran pertengahan kelas VIII. Pada masa itu, layaknya remaja pada umumnya, diriku merasakan cinta pertama. Dunia tiba-tiba menjadi berkali-kali lebih indah, membuatku merasa bersemangat untuk berangkat ke sekolah.

Dia adalah seorang anak laki-laki di kelasku, biasanya ia selalu duduk di kursi kedua dari belakang. Ia tidaklah tinggi, melainkan malah sedikit lebih pendek dariku. Dia juga tidak memiliki ciri khas yang membuatnya berbeda dari manusia lainnya, he is simply ordinary person.

Aku sendiri tidak tahu mengapa aku mencintainya, tapi bukankah memang seperti inilah cinta? Kamu tidak memerlukan alasan untuk mencintai seseorang, tiba-tiba saja kamu mencintai seseorang dan kamu tidak tahu mengapa itu terjadi.

Walaupun aku begitu mencintai dirinya, namun aku tidak pernah mengungkapkan perasaan tersebut. Ketakutan menyelimuti diriku, lagi pula saat itu diriku masih dipenuhi dengan rasa bersalah, frustasi, merasa berdosa, dan juga self-denial. Ditambah lagi guru pendidikan agama islam di sekolah yang terus menerus menceritakan tentang kisah Nabi Luth, yang mana selalu diakhiri dengan ancaman hukuman rajam (dilempari batu hingga mati), dan akhirnya masuk neraka untuk selama-lamanya.

Kenapa?

Apa yang membedakan “cintaku” dengan “cinta mereka”? Kenapa cinta antara lelaki dan perempuan dianggap suci dan bersih, sementara cinta antara dua orang lelaki dianggap berdosa dan kotor? Kenapa?

Sekali lagi, apa yang membedakan “cintaku” dengan “cinta mereka”?

Saat itu, diriku yang masih berusia sekitar 15 tahun hanya bisa menyalahkan diriku sendiri. Tentu saja itu hanya mengundang berkecamuknya hati serta kesedihan yang mendalam. Hal ini diperparah oleh bullying yang dilakukan oleh beberapa teman seangkatan saya (aku bahkan ragu harus memanggil mereka “teman” seangkatan atau tidak), membuat saya semakin dalam jatuh ke dalam jurang kesedihan.

Tentu saja tidak semua dari mereka melakukan perundungan terhadap saya, namun walaupun begitu, tidak ada dari mereka yang maju untuk membela saya ketika saya terkena perundungan. Mereka semua hanya melihat, bukan karena mereka tidak berani, namun simply karena mereka tidak mempedulikan seorang freak dan seorang femboy seperti saya.

Setelah semua perlakuan buruk yang saya alami tersebut, pada akhirnya muncul sebuah keinginan agar saya bisa menjadi straight seperti mereka yang lainnya, hanya agar bisa mendapatkan perlakuan yang sama dengan mereka.

Berbagai metode saya coba agar saya bisa ‘sembuh’, mulai dari memberikan sugesti terhadap diri saya sendiri, hingga menahan perilaku flamboyan saya.

“Saya menyukai wanita, saya menyukai wanita, saya menyukai wanita,” seperti itulah saya terus menerus mengatakan sugesti tersebut kepada diri saya sendiri beribu-ribu kali setiap harinya.

Mengingat hal tersebut membuat saya berpikir, “betapa bodohnya saya saat itu”.

Seperti layaknya warna kulit, LGBTQIA+ bukanlah sebuah penyakit, itu adalah suatu hal yang kita bawa dari semenjak kita lahir.

Berusaha menyembuhkan LGBTQIA+ sama saja seperti kita berusaha menyembuhkan orang berkulit hitam, agar memiliki kulit berwarna putih. Bukan “kesembuhan” yang didapat, justru hal tersebut akan menghancurkan mereka secara fisik dan mental.

Hal ini juga terjadi pada saya, saya merasa menjadi lebih hancur sehancur-hancurnya. Dunia terasa suram bagiku, aku merasa seluruh alam semesta menolak diriku. Tidak disadari diriku menjadi lebih tertutup dan lebih jarang berbicara terhadap orang lain, perlahan-lahan mengubahku menjadi pribadi yang pendiam. Sulit bagiku untuk menumbuhkan rasa saling percaya di antara manusia, membuat diriku meragukan kepercayaan antar-teman dan manusia.

Aku selalu diberitahu bahwa Tuhan itu maha-penyayang dan maha-adil, tapi kenapa aku tidak bisa merasakan kedua hal itu?

Tuhan menciptakan diriku yang ‘berbeda’, namun membenci perbedaan tersebut. Apakah Tuhan hanya ingin mempermainkan diriku?

Inilah awal mula aku mempertanyakan kepercayaan yang saya anut.

Saya adalah pribadi yang gemar membaca, dikarenakan ada kebahagiaan tersendiri yang saya dapatkan dari membaca. Dengan membaca, saya merasa ada dunia baru yang terbuka di pikiran saya. Ini adalah perasaan yang sangat menakjubkan, membuat saya merasa senang setiap kali saya membaca suatu hal akan ide-ide yang tidak berani orang imajinasikan dan bayangkan, seperti misalnya ketuhanan.

Karena hal ini juga, perpustakaan adalah tempat yang sering saya kunjungi pada masa SMP. Bisa dibilang, perpustakaan adalah tempat di mana saya menghabiskan sebagian besar waktu saya pada masa SMP.

Buku favorit saya tentu saja adalah novel dan ensiklopedia, novel mengizinkanku untuk merasakan kehidupan yang tidak saya punyai, yaitu kebahagiaan seorang remaja. Novel juga mengizinkanku untuk secara sementara melupakan kehidupanku yang terasa menyedihkan.

Selain itu, ensiklopedia adalah salah satu jenis buku yang saya sukai. Tentu saja ensiklopedia ini biasanya berisi tentang alam semesta dan isinya, mulai dari bintang, galaksi, serta benda-benda angkasa lainnya. Selain ensiklopedia tentang alam semesta, saya juga menyukai buku-buku tentang biologi yang membahas tentang makhluk-makhluk hidup.

Itu semua adalah buku yang sering saya baca, dan saya kadang membacanya berulang-kali tanpa merasakan yang namanya bosan.

Pada suatu hari, seperti biasanya saya membaca buku-buku tentang alam semesta. Di salah satu rak yang berada di sana, mata saya tertuju pada buku bersampul biru tua yang terlihat sedikit lusuh. Merasa penasaran, saya mengambil buku tersebut untuk segera membacanya.

“Alkitab?”

Inilah pertemuan pertama saya dengan kitab suci agama lain, namun ini bukan yang terakhir kalinya, karena nantinya saya masih akan bertemu dengan berbagai kitab suci dari berbagai agama lainnya.

Tidak yakin, saya segera duduk membacanya dengan sedikit penasaran.

‘Boom’

Dunia yang baru seolah terbuka di pikiran saya, ketika membaca halaman demi halaman yang tertulis di sana. Berbagai bayangan dan imajinasi bermunculan di pikiran saya, mengimajinasikan bagaimana dunia tercipta, dan seperti apa wujud asli Tuhan.

Saya sendiri merupakan seorang yang termasuk dalam kategori skeptis, saya tidak pernah mempercayai perkataan seseorang jika saya tidak pernah melihat atau mengalaminya sendiri. Hal ini juga terjadi ketika saya membaca Al-Qur’an dan Alkitab, saya tidak pernah mempercayai keduanya dengan begitu saja.

Mudah mempercayai suatu hal merupakan suatu hal yang berbahaya, mudah mempercayai suatu hal akan menuntun seseorang menuju jurang kejatuhan. Itulah mengapa kita dituntut untuk menjadi pribadi yang skeptis dan selalu mempertanyakan alasan dibalik suatu hal.

Selain itu, seseorang dengan kepribadian skeptis akan sangat sulit dicuci otaknya, dikarenakan mereka tidak mudah mempercayai suatu hal atau ajaran dengan begitu mudahnya. Sebaliknya, orang yang dengan mudah mempercayai suatu hal akan sangat gampang dicuci otak.

Tak hanya alkitab saja, tentu saja saya juga mempelajari kitab-kitab yang lainnya, yang mana memberikanku banyak wawasan, yang mana menuntun pada cakrawala baru.

Tapi, sama seperti pejalan spiritualis lainnya, ada masanya kami terjatuh dan tersesat pada yang namanya kebencian terhadap kepercayaan lain, dalam kasus saya adalah agama warisan. Yang saya maksud dari ‘agama warisan’ adalah, agama yang mereka warisi dari kedua orang tua mereka.

Kebencian ini timbul akibat saya melihat komentar-komentar kaum muslim yang sangat suka sekali menghina agama lain, merendahkan agama orang lain, dan juga menghina serta mengharapkan kelompok LGBTQ+ dipukul sampai mati. Hal ini menimbulkan pemikiran bagiku bahwa orang muslim adalah orang yang dipenuhi kebencian. Oh, tentu saja itu adalah pemikiran yang salah dan sangat fatal.

Kebencianku terhadap agama asalku ini terjadi pada antara masa-masa kelulusan SMA, yang perlahan-lahan menuntunku menjadi orang yang toxic. Bahkan kebencianku terhadap agama asalku juga berimbas pada orang-orang disekitarku, yaitu keluargaku sendiri.

Ini adalah salah satu hal yang masih saya sesali, bahkan saya belum bisa melupakannya sama sekali. Sungguh bodoh sekali diriku. Melawan kebencian dengan kebencian, mengubah diriku sendiri menjadi orang yang penuh dengan kebencian.

Tiba saatnya masa kuliah datang, berbagai kesibukan pada semester pertama mengalihkan pikiranku dari berbagai hal apapun yang kemarin aku pikiran.

Pada masa ini pula hobi saya membaca berbagai novel kembali menyala, menciptakan berbagai dunia di kepala saya, dan juga membuka berbagai wawasan yang baru.

Buku-buku ini jugalah yang mengantarkan diriku untuk mengenal yang namanya Taoisme, atau kadang disebut Agama Tao. Pertama saya membaca kitab Taoisme benar-benar hampir membuat diriku sakit kepala. Membaca kitab ini benar-benar membutuhkan tingkat berpikir yang sangat tinggi. Hanya mereka yang mempunyai banyak wawasanlah yang bisa memahaminya.

Sekilas membacanya, saya dapat merasakan pancaran kebijaksanaan dari kitab ini. Kitab ini juga sangat jarang membahas tentang konsep ketuhanan, sebagian besar kitab ini membahas tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupan dengan penuh kebijaksanaan. Kekuatan dari tidak melakukan apapun, membiarkan semuanya mengambil jalurnya masing-masing.

Tak jauh dari Taoisme, saya juga dikenalkan dengan kepercayaan yang lain, yaitu Buddhisme, alias Agama Buddha.

Inti dari ajaran buddhisme sendiri sudah tertuang dalam satu kalimat yang terdiri dari empat kata, yaitu “Semoga Semua Makhluk Berbahagia,”.

Dari keempat kata tersebut dijabarkan bahwa semua orang dan semua makhluk berhak memiliki kebahagiaan mereka sendiri. Dan juga bahwa mereka juga setara, entah agama mereka, ras, warna kulit atau bahkan orientasi seksual mereka.

Saya merasakan pancaran welas asih yang kuat dari ajaran Buddhisme ini, penerimaan tanpa membeda-bedakan, penerimaan penuh atas identitasku. Pelukan hangat penuh cinta tanpa memandang apapun.

Tidak ada konsep ‘keimanan’ dalam Taoisme dan Buddhisme. Bahkan jika kamu mau menyembah kursi, bulan, matahari, atau bahkan Indomie, jika kamu baik, maka kamu akan masuk ke alam bahagia (surga), namun jika kamu melakukan banyak perbuatan buruk, maka kamu akan pergi ke alam menyedihkan (naraka).

Inilah mengapa saya merasakan, cinta absolut dari kedua ajaran ini, mereka tetap menerima bahkan jika kamu tidak mempercayai ajaran mereka. Bahkan jika kamu mau mencampur ajaran Buddha dengan Taoisme, itu bukanlah sebuah masalah. Mereka menilai sikapmu, bukan yakin atau tidaknya dirimu terhadap ajaran mereka.

Sejatinya saya mempelajari sebuah ajaran tidak berdasarkan masuk atau tidak akalnya suatu ajaran. Bahkan jika ajaran tersebut tidak masuk akal, namun mengajarkan banyak kebijaksanaan dan welas asih, maka saya akan mempelajarinya dengan seksama, sekalipun itu hal yang diluar kewajaran seperti menyembah Indomie.

Kebenaran bukanlah hal yang penting, namun kebaikan hatilah yang paling penting.

Kebijaksanaan untuk membiarkan orang mempercayai apa yang ingin mereka percayai. Kebijaksanaan untuk tidak melakukan apapun, dan membiarkan segalah hal berjalan di jalurnya masing-masing

Selanjutnya, dalam perjalan hidupku, aku dikenalkan dengan sebuah cerita pendek yang berjudul “The Egg” by Andy Weir.

Cerita pendek ini berisi tentang, bagaimana kita semuanya sebenarnya adalah satu. Cerita pendek ini juga mengajarkan tentang empati dan welas asih.

“Kita menyakiti orang lain, artinya kita menyakiti diri sendiri. Kita berbuat baik kepada orang lain, artinya kita berbuat baik pada diri sendiri,”

Mendefinisikan ulang arti welas asih, mendefiniskan ulang artinya kemanusiaan dan empati.

Cerita pendek ini mengubah hidupku menjadi lebih baik, di sinilah aku menemukan makna hidup, sehingga akhirnya pencarianku akan Tuhan telah berakhir.

“Temukan Tuhan dalam dirimu,”

Prinsip kebijaksanaan, empati dan welas asih menemaniku menjalani hidup, sehingga pada akhirnya aku bisa perlahan-lahan menghilangkan kebencian dalam diriku.

Kebencian terhadap diriku sendiri memudar, bersamaan dengan memudarnya kebencianku terhadap orang lain.

Ku menerima diriku.

Salam, Rohmat Subekti.

Selamat datang lagi! Bagi siapapun yang sampai ke halaman ini, semoga kalian semuanya berbahagia.

Semakin kita dewasa, maka semakin sedikit waktu luang yang kita punya. Maka dari itu saya berniat memindahkan tulisan saya yang tadinya berada di google site, ke instance writefreely.

Kenapa? Karena saya tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurus google site yang menurutku sangat ribet untuk dikelola.

Sekarang ini, saya hanya ingin fokus menulis saja, tampilan minimalis kini malah menjadi favorit bagiku.

Di writefreely ini, saya bisa fokus menulis tanpa harus mempedulikan tampilan blog. Inilah kenapa pada akhirnya saya memindahkan tulisan saya ke sini.

Oh, dan tentu saja alasan utama kenapa saya memilih writefreely adalah, karena saya bisa dengan mudah memindahkan tulisan saya hanya cukup import dan export saja.

Oke, hanya inilah yang ingin saya katakan.

Salam, Rohmat Subekti.