universallss

Jella merenggangkan badan, menatap laporannya yang tinggal dua lembar lagi. Melirik jarum jam, Jella memutuskan turun ke lantai satu sambil menenteng kunci gerbang.

Setelah sampai di ruang tengah, ternyata ada Erin dan Gisel yang lagi main uno stacko sama tiga cowok kosan, Jefran juga di ruang tengah, tapi sibuk menatap laptop. Karin jangan ditanya, mahasiswi juruan farmasi memang mengabdikan diri sebagai budak praktikum dan laporannya.

“Nggak ada yang mau keluar lagi, kan?” tanya Jella.

“Nggak,” sahut mereka kompak.

“Oke, gue tutup gerbang, ya.”

“Mau dibantu—” kalimat Erin terputus karena Jefran ikut menyambar.

“Sini gue bantuin,” kata Jefran deklaratif, tanpa persetujuan siapapun, dia berdiri dan berjalan keluar mengikuti Jella.

“Makasih, Jef,” kata Jella ketika Jefran mengambil alih tugasnya.

“Lo harus protes ke Bu Sumi sih, La.” kata Jefran sambil mengunci gembok.

“Kenapa?”

“Biar dikasih gaji,” sahut Jefran sambil menyerahkan kembali kuncinya ke Jella.

Jella menyimpan kuncinya di saku celana, geleng-geleng, “emang gue satpam komplek?”

“Loh, emangnya bukan?” Jefran bertanya balik dengan nada kaget yang dibuat-buat.

“Enak aja,” Jella nggak bisa menahan tawa.

Jefran ikut ketawa. Jella berniat naik lagi ke atas dan Jefran kembali ke tempatnya semula.

“Buru-buru banget, La? Sini dulu lah.” tanya Naka ketika melihat Jella berlalu.

“Iya, mau indomie, nggak?” Hema mengangkat mangkuk yang dipegangnya.

“Laprak gue belum selesai nih,” jawab Jella sambil berhenti berjalan, kemudian melanjutkan setengah bercanda, “lo semua gabut? Kerjain laprak gue aja.”

“Gue bantuin mau?” sahut Jefran out of nowhere. Sahutan itu membuat semua kepala menoleh ke arahnya.

“Eh, nggak usah, gue bercanda doang,” sahut Jella cepat.

“Gue serius,” jawaban Jefran lagi-lagi menarik perhatian.

“Ah, bisa aja lo.” Jella nyengir, “udah ya, gue ke atas dulu.”

“Laprak tulis tangan kalau lo lupa,”

“Inget kok, gue kan budak praktikum juga.”

“Lo mau nolongin gimana?” tanya Rigo.

“Apa aja, bantu nyuapin makan atau bantu ngipasin. Gue bisa kok cosplay jadi dayang-dayang,” kata Jefran, masih menatap laptopnya sambil senyum-senyum.

“Stress,” Naka geleng-geleng.

“Ngegas boleh, tapi pake otak,” sahut Rigo dengan ujaran bernada salty.

Erin dan Gisel sudah sibuk kasak-kusuk, Gisel mengangguk mantap ke Erin lalu berkata ke Jefran, “gue juga punya tugas makalah, kerjain dong, Jef.”

“Ogah.”

“HA! KETAHUAN! Lo naksir ya sama Jella?!” Erin menuding.

“Iya.”

“Gue cukup kaget, tapi jawaban lo nggak meyakinkan,” kata Erin dengan nada sangsi.

“Nah! Mungkin karena itu Jella nggak ngerasa lo suka sama dia, lo nggak meyakinkan,” Naka menimpali kalimat Erin.

“Gue serius suka sama Jella.”

Erin dan Gisel kompak menoleh satu sama lain dengan mata melebar, lalu kembali bisik-bisik, “this is getting interesting.”

“Mau dibantuin nggak?”

“Biarin usaha sendiri, biar seru.”

“Bantuin,” kata Jefran.

Gisel tiba-tiba berdiri, “sini lo, bersimpuh di hadapan gue dulu.”

“Harus banget lo bertingkah kayak gitu di depan indomie gue?” Hema memeluk mangkuknya.

Gisel menatap Hema sengit tapi ia kembali duduk, “usaha sendiri dong, Jef.”

“Kalau masih nggak bisa juga, tenang aja, gue punya kenalan dukun.”

“SIALAN.”

Ed Sheeran bilang, “people fall in love in mysterious ways,” dan Jella setuju sama kata-katanya.

Jella sudah membuktikannya sendiri saat pertama kali ikut aksi demo di depan rektorat. Cuaca siang itu panas terik. Teman-teman sedepartemennya yang juga ikut jadi perwakilan berada di barisan terdepan, di dekat para ketua himpunan departemen yang sedang berorasi. Sedangkan Jella berdiri di barisan paling belakang, nggak niat, tapi tetap ikut buat cari pengalaman dan alasan buat skip kelas.

Jella menaikkan masker dan menurunkan topi yang dipakainya sampai hampir menutupi mata. Ia memanggil salah satu temannya yang masih di barisan belakang bersamanya, “Li.”

“Iyaa, kenapa?” sahut Lila sambil menoleh.

“Gue minggir, ya.”

“Kemana? Ngapain?”

Jella menunjuk pepohonan, “capek.”

“Mau gue temenin, nggak?”

“Gue sendiri aja.”

Setelah mendapat kata 'oke' dari temannya, Jella betulan mundur dan duduk di bawah pohon sendirian. Ia menundukkan kepalanya, silau juga harus menatap kumpulan orang dengan almamater kuning di cuaca seterik ini.

Cewek itu masih menunduk saat seseorang berjongkok di sebelahnya.

“Lo nggak apa-apa?”

Jella menoleh, tapi nggak menatap ke wajah orang yang bertanya, hanya sebatas figurnya. Sambil menggelengkan kepala, Jella menjawab, “nggak apa-apa.”

Cowok itu menyodorkan sebotol air mineral, “sorry, gue lihat lo lemes banget. Ini minum dulu.”

Jella baru mengangkat kepala setelahnya. Tepat saat Jella menatap wajahnya, cowok itu menoleh ke arah teman-temannya yang memanggilnya. Meski begitu, Jella masih bisa mengenalinya.

Cowok itu, Jefran Noah Baskara, anak teknik departemen sipil. Jangan tanya bagaimana Jella yang anak FMIPA bisa tahu, username instagram cowok itu seringkali nangkring di instastory teman-temannya—yah, tipikal cowok yang punya banyak teman.

Jella pernah stalk akunnya, tapi cuma sebatas itu. Jella nggak pernah berpikir untuk tertarik atau bahkan sampai jatuh hati ke Jefran, setidaknya sampai dia tiba-tiba berjongkok di sebelahnya dan menyodorkan sebotol air mineral.

Kalau kejadian itu nggak pernah hadir dalam sejarah hidup Jella, mungkin Jefran hanya akan berakhir di 'list cowok good-looking' menurut Jella.

“Makasih,” kata Jella, berharap Jefran menoleh, tapi dia sudah keburu berdiri. Jefran sempat mengacungkan ibu jarinya ke arah Jella sebelum berlari kembali ke teman-temannya dan menyatu dengan kerumunan.

... and again,

People fall in love in a mysterious ways, maybe just 'because he asked you if you were okay and gave you a bottle of water'.

“Makasih, Jella,” ucap Jefran setelah dibukakan gerbang oleh Jella, seperti biasa.

Setelah memarkirkan motornya, Jefran mengambil alih tugas Jella menutup dan mengunci gerbang, membiarkan Jella menunggu di teras.

Selesai, Jefran berbalik dan mendapati sesuatu yang mungkin akan membuat Jella berteriak takut. Kalau itu betulan terjadi, bukan cuma anak-anak kost yang bakal heboh, mungkin tetangga juga bakal bangun. Jefran memutuskan untuk bertindak sendiri dan berjalan cepat mendekati Jella.

“Lo kenapa mundur-mundur?” Jefran bertanya bingung karena Jella terus berjalan mundur dengan langkah kecil.

“Lo sendiri kenapa maju-maju?!” Jella bertanya panik, suaranya setengah membentak. Jefran melongo sebentar, lalu sisi jahilnya muncul. Sambil memasang wajah serius, Jefran kembali melangkah mendekat.

Jella membelalak dan jantungnya memompa lebih cepat. Punggungnya sudah membentur tembok. Demi Tuhan, Jella nggak ingin menatap mata Jefran yang akan membuatnya kelihatan lebih gentar, tapi sepasang mata cokelat gelap yang dibingkai bulu mata lentik itu seolah mengunci pandangannya. Jarak mereka kini terlalu dekat sampai Jella takut Jefran bisa mendengar detak jantungnya yang menggila. “J—Jef—”

Jella menahan napasnya ketika tangan Jefran terangkat, mendekat, lalu meraih sesuatu di pundaknya. Jefran mundur, menunjukkan seekor kumbang hitam di tangannya. “𝐿𝑜𝑜𝑘, 𝐼 𝑡𝑜𝑜𝑘 𝑡ℎ𝑒 𝑏𝑢𝑔.”

Normalnya, Jella bakal histeris melihat kumbang seukuran itu sempat hinggap di pundaknya. Tapi sekujur tubuhnya kaku, tidak bisa bereaksi apa-apa. Jefran masih berdiri di depan Jella, tidak melakukan hal lain selain mengambil kumbang itu.

Jefran menatap Jella yang masih diam dengan wajah memerah. Jefran takut wajahnya bakal berubah jadi biru kalau dibiarkan lebih lama lagi, “La?”

”....”

Jefran melambaikan tangannya di depan wajah Jella menepuk pipinya pelan, “𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎, 𝑏𝑟𝑒𝑎𝑡ℎ𝑒.”

Seolah baru ditarik ke permukaan setelah tenggelam, Jella mengambil napas dalam-dalam. Jefran menatapnya cemas dan Jella menatapnya balik. Saat mata mereka bertemu, Jella rasa dia lebih baik betulan menenggelamkan diri di danau kampus.

“𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎, 𝑠𝑜𝑟𝑟𝑦—”

Kalimat Jefran terputus karena Jella sudah lebih dulu kabur ke kamarnya di lantai atas.

𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆

From Jefran's POV:

Pernah nggak, lo dijauhi seseorang tapi lo nggak tahu apa kesalahan lo?

Mungkin sebagian pernah sih, ya. Dan sialnya, sekarang gue juga mengalaminya. Kalau lo mengira ini cuma terjadi dalam hitungan hari, lo salah. Ini udah terjadi selama berbulan-bulan.

Ini bermula ketika ada seorang cewek yang pindah ke kost yang gue tempati. Dia mengisi satu-satunya kamar kosong yang baru aja ditinggal penghuni yang sudah lulus. Nama cewek itu Jella, dia satu angkatan sama gue dan penghuni lainnya. Kesan pertama gue waktu melihatnya adalah cantik, dan gue suka. Gue sendiri nggak yakin maksud suka disini adalah love interest atau apa, makanya gue mau memastikan. Tapi Jella justru menjauhi gue.

Setiap kali anak-anak kost kumpul—buat sekadar sambat tentang tugas atau makan-makan ketika ada yang traktir, gue selalu iseng duduk di sebelah Jella. Gue juga selalu mengumpulkan niat buat menyapa lebih dulu. Tapi sebelum gue sempat ngomong apa-apa, bahkan ketika bokong gue baru menyentuh lantai, Jella sudah lebih dulu berdiri. Entah untuk pergi ke kamar mandi atau mengambil minum, lalu kembali dan duduk di tempat yang berbeda.

Ketika kami nggak sengaja berpapasan pun, Jella selalu kelihatan buru-buru. Mentok-mentok, dia cuma memberi senyum tipis lalu pergi. Bahkan, gue pernah berpapasan sama Jella yang membawa kantong berisi sampah. Kayaknya mau dia buang di tong besar depan kost, tapi begitu melihat gue, dia masuk lagi ke kamarnya. Gue yang sudah sumringah mau menyapanya langsung kicep.

Selalu begitu. Terlalu sering sampai gue berpikir kalau dia memang sengaja dan itu bukan sebuah kebetulan. Lagian, dia kelihatan lebih terbuka waktu sama tetangga kost yang lain.

Itu membuat gue bertanya-tanya, memangnya gue ini punya salah apa?

Gue mau nanya ke orangnya langsung, tapi gimana ya, gue cuma pernah ngomong sama Jella pas kenalan, itu pun cuma beberapa kata. Oke, kalau kayak gini, gue kelihatannya cupu banget, tapi balik lagi: ya gimana ya.

Daripada bingung sendiri, gue memilih bertanya ke Rigo. Sengaja nggak nanya ke Naka atau Hema. Gue takut Hema keceplosan, karena gue lihat Hema cukup sering berinteraksi sama Jella. Kalau Naka, gue takut malah dia yang berujung mepet Jella.

Terus, setelah bertanya ke Rigo, lo tahu responnya gimana?

Dia cuma melihat gue dari atas ke bawah seolah menilai, lalu geleng-geleng kepala.

Gue balas memicingkan mata, “adakah sesuatu dari penampilan gue yang layak untuk nggak disukai?”

“Sangat pede dan narsis,” Rigo ganti mengangguk-angguk, “lo mirip mantannya kali.”

“Lebih absurd lagi.”

“Salah mulu. Tanya langsung aja, lah!” Rigo tiba-tiba nyolot, “lagian kenapa sih penasaran banget? Lo demen ya?!”

“Ya, kan dijauhin tanpa alasan tuh nggak enak, Go.” Gue ngeles.

“Halah, demen kan lo?!” Rigo makin nyolot, “LO TUH YA—NGANGONG NGANGONG FAFIFU WASWESWOS.”

Rigo berujung ngomel dan nge-roasting gue. Ternyata, bertanya ke Rigo juga bukan keputusan yang tepat. Akhirnya, gue masih bingung dan Jella masih gitu-gitu aja. Huf.

Ada beberapa malam dimana para kuli dosen bisa bernapas lega tanpa dibebani tugas dan praktikum, malam ini misalnya. Berhubung semua kamar mereka ada di lantai dua, mereka berkumpul di ruang tengah di lantai satu, tepat di tengah-tengah antara dapur dan garasi.

Tapi paling lama sampai jam sepuluh, lebih dari jam segitu, mereka bubar. Kalau masih lanjut, ya di kamar masing-masing, cowok-cowok dan cewek-cewek. Bukannya apa-apa, meski sudah saling kenal dekat, tapi rasanya agak kurang etis kalau cowok-cewek berkumpul sampai larut malam, apalagi kalau suara mereka terdengar oleh tetangga.

Karena bersebelahan dengan garasi dan gerbang juga belum ditutup, mereka bisa melihat Jefran dan motornya masuk. Jefran melepas helm dan jaket lalu dia sampirkan begitu saja di motornya. Jefran berjalan mendekat, disambut pertanyaan bernada manja oleh Hema, “tumben kamu udah pulang?”

Mereka semua menatap Hema geli, kecuali Naka yang justru membalas dengan nada yang sama, “nggak rapat, sayang.”

Jefran geleng-geleng. “Nih, martabak,” katanya sambil meletakkan dua kotak martabak di tengah karpet lalu duduk di sebelah Jella.

“Wih, makasih, Jef,” seru Erin antusias dan mulai membuka satu kotak bersama Hema.

“Ini mah terang bulan,” komentar Hema setelah membuka kotaknya.

“Udah bener martabak,” Karin ikut mengomentari setelah mengambil sepotong.

“Terang bulan tuh lebih kreatif, inovatif, estetik, dan puitis,” sahut Gisel.

“Perkara nama makanan aja diributin,” balas Naka.

“Lo tim apa, Go? Martabak apa terang bulan?” Erin meminta suara dari Rigo.

“Hok lo pan,” jawaban Rigo dibalas toyoran oleh Hema.

Gisel, Karin, Erin, dan Hema masih 𝑜𝑝𝑒𝑛 𝑑𝑖𝑠𝑐𝑜𝑢𝑟𝑠𝑒 tentang nama makanan yang tepat. Sedangkan Naka dan Rigo memperhatikan Jella dan Jefran dari tempatnya. Naka berbisik ke Rigo, “taruhan gocap, Jella bakal bangun terus pindah tempat.”

Rigo mengangguk, “oke, kata gue Jella bakal tetep disitu.”

Jefran cuma ketawa-ketawa menyimak perdebatan teman-temannya tanpa sadar kalau diperhatikan. Sewaktu menoleh ke samping, Jefran mendapati Jella sudah berdiri, seperti biasa. “Mau kemana?”

“Ambil minum,” jawab Jella, masih sambil berdiri.

“Sini, gocap,” Naka cekikikan sambil berbisik ke Rigo.

“Nanti aja,” kata Jefran. Jella menurut dan kembali duduk meski aslinya dia lagi deg-degan.

“Sini, balikin.” Rigo merebut lagi uangnya dari tangan Naka.

Diskusi Gisel dkk. makin serius. Mereka bahkan mulai mencari sumber-sumber terpercaya untuk mengetahui sejarah per-martabak-an di Indonesia. Membaca tulisan di 𝑏𝑙𝑜𝑔, menonton video di 𝑦𝑜𝑢𝑡𝑢𝑏𝑒, bahkan mungkin salah satu dari mereka berhasil menemukan jurnal penelitian yang membahas hal itu.

Jella megambil sepotong martabak. Kalau boleh jujur, Jella mau ketawa lepas karena tingkah teman-temannya yang mirip anggota Srimulat. Tapi dia takut kalau nanti ada cokelat yang menempel di giginya, atau kalau ternyata makannya belepotan, terus Jefran melihatnya. Jadi, Jella cuma ketawa seadanya.

“Sorry, gue nggak tahu lo sukanya rasa apa.”

Jella menoleh dan sadar kalau Jefran ngomong sama dia, Jella langsung beralih menatap ke potongan martabak di tangannya lalu menjawab, “gue makan apa aja kok, Jef.”

“Ada yang spesifik nggak?”

Jella menoleh lagi sambil mengangkat alis.

“Lo sukanya rasa apa?”

“Hm?”

“Biar gue tahu kalau nanti mau beliin lagi.”

”... oh, gue suka yang keju,” jawab Jella sambil menepis pikiran kalau Jefran nanti bakal membeli khusus untuknya.

“Aaah, 𝑜𝑘𝑎𝑦 𝑛𝑜𝑡𝑒𝑑.” Jefran senyum. Jella nggak menjawab, tapi Jefran bertanya lagi, “kita jarang ngobrol ya, La?”

Jella cukup bingung harus menjawab apa, “eh—iya, Jef.”

“Kenapa, ya?”

”....”

“Tapi nggak apa-apa sih, kalau sering-sering takutnya naksir.”

Jella melongo. Betulan melongo dengan ekspresi blank. Sumpah, Jella tahu kalau Jefran juga bisa bercanda dan lucu, tapi nggak pernah terpikirkan sekalipun olehnya kalau bercandanya Jefran bisa begini.

Jefran sendiri mengira Jella bakal merespon kalimatnya sambil ketawa. Tapi reaksi yang diberi cewek itu membuat Jefran merasa kalau kalimatnya tadi cukup 𝑎𝑛𝑛𝑜𝑦𝑖𝑛𝑔. Jadi, Jefran buru-buru menambahkan, “bercanda doang, La.”

“Hahahaha,” Jella ketawa meskipun hatinya ketar-ketir. Cuma ketawa soalnya takut salah ngomong. Tapi dia lalu melanjutkan dalam hati, 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑔𝑜𝑏𝑟𝑜𝑙 𝑎𝑗𝑎 𝑔𝑢𝑒 𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑛𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑛𝑎𝑘𝑠𝑖𝑟!

Jefran nggak membalas apa-apa lagi. Dia menoleh ke Naka dan Rigo yang ternyata memperhatikannya sambil tersenyum mengejek. Jefran menghela napas, ya sudah, alamat jadi bahan bercandaan minimal selama satu semester.

you're my star and i wanna be the last person; ——-

Perayaan kecil-kecilan ulang tahun Jella berjalan lancar. Meskipun dengan cara yang paling bisa ditebak, alias, lampu tiba-tiba mati dan muncul seseorang dengan lilin menyala di atas kue sebagai satu-satunya cahaya. Jella nggak berekspektasi teman-temannya bakal memberinya kejutan. Teman-temannya juga mengajak pacar masing-masing, dan Jella kenal mereka semua personally. Jella dipenuhi rasa senang, kecuali setitik perasaan kecewanya yang berusaha ia tepis, karena Jella pikir, ia nggak boleh kecewa.

Jefran menjadi orang yang memegangi kue dengan lilinnya dan muncul ditengah kegelapan. Tapi saat teman-temannya menyanyikan lagu selamat ulang tahun, Jefran cuma tersenyum. Saat lagu berakhir, ia cuma berkata, “𝑚𝑎𝑘𝑒 𝑎 𝑤𝑖𝑠ℎ.”

Jella belum mendapat ucapan selamat ulang tahun dari pacarnya itu, 𝑛𝑜𝑡 𝑒𝑣𝑒𝑛 𝑎 𝑡𝑒𝑥𝑡. Bukannya nggak bersyukur, tapi Jella lebih mengharapkan ucapan dari Jefran daripada perayaan yang diberikannya tanpa kata.

Jella jadi berpikir keras. Apa karena dia tadi langsung memotong kuenya menjadi kecil-kecil tanpa memberi Jefran suapan pertama? Bukannya nggak mau, tapi Jella sudah malu duluan. Apalagi kalau mengingat berisiknya celetukan jahil dari teman-temannya.

Otaknya mau mencari alasan lain ketika pintu kamarnya diketuk. Jella lupa kalau teman-temannya masih di bawah dan dia cuma izin ke kamar sebentar buat mengambil cardigan.

“Jella?” Jefran memanggilnya dan Jella merasakan sensasi aneh yang menyenangkan di perutnya. Jella selalu memperhatikan bagaimana Jefran bicara kepada teman-temannya, 𝑎𝑛𝑑 𝑒𝑣𝑒𝑟𝑦 𝑡𝑖𝑚𝑒 ℎ𝑒 𝑡𝑎𝑙𝑘𝑠 𝑡𝑜 𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎, ℎ𝑖𝑠 𝑣𝑜𝑖𝑐𝑒 𝑠𝑒𝑒𝑚𝑠 𝑡𝑜 𝑏𝑒 300 𝑡𝑖𝑚𝑒𝑠 𝑠𝑜𝑓𝑡𝑒𝑟. 𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎 𝑖𝑠 𝑎𝑏𝑜𝑢𝑡 𝑡𝑜 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑜𝑟𝑚 𝑖𝑛𝑡𝑜 𝑗𝑒𝑙𝑙𝑦 𝑒𝑣𝑒𝑟𝑦 𝑡𝑖𝑚𝑒 𝑠ℎ𝑒 𝑡ℎ𝑖𝑛𝑘 𝑜𝑓 𝑖𝑡.

Jefran kembali mengetuk pintunya dan Jella buru-buru membukanya. Jefran tersenyum, “keluar, yuk?”

Jella mengangguk, berjalan bersisian dengan Jefran. Saat Jella mau bergabung dengan teman-temannya yang lagi main uno stacko sambil menunggu orderan gofood sampai, Jefran menahannya. “Ayo, kan aku ngajak keluar tadi.”

“Waduh, mau kemana, nih?” tanya Hema.

“Jef, anak gadis pas pulang harus tetep gadis, ya!” itu sahutan dari Gigi.

Sebelum celetukan-celetukan lainnya terdengar, Jefran lebih dulu menutup telinga Jella dengan kedua tangannya dan menuntunnya ke mobil. Jella cuma ketawa. Setelah Jefran membawa mobilnya bergabung bersama kendaraan lain di jalan, Jella baru bertanya, “kita mau kemana?”

“Mau keliling-keliling aja sampe habis bensin,” Jefran menyahut jahil. Jella cuma manyun, lalu menyalakan musik dan ikut bernyanyi. Membuat sesi carpool dadakan. Jefran ikut bernyanyi sesekali, tapi lebih sering cuma memperhatikan Jella. Ia tahu Jella kecewa, tapi berusaha untuk menutupinya. Jefran memarkirkan mobilnya di salah satu kafe outdoor.

Sesi carpool dadakan Jella berhenti, ia menatap Jefran dan bertanya, “kesini?”

“Iya. Random aja sih, soalnya tempatnya bagus.” Jefran tertawa lalu mengajak Jella turun.

Mereka memilih tempat duduk dan memesan makanan. Jefran menatap Jella yang mengedarkan pandangannya. “Mau foto nggak?”

“Mauuu.”

Jefran memotret Jella dan juga ikut berfoto—dibantu salah satu pengunjung kafe. Setelah selesai, Jella mengecek foto-foto yang dikirim dari ponsel Jefran.

“Sayang,” panggilan Jefran membuat Jella memusatkan perhatian ke arahnya, Jefran tersenyum sebelum melanjutkan, “cek twitter deh.”

Jella menurut, lalu mengalihkan tatapannya dari Jefran dan merengut. “Aku pikir kamu nggak mau ngucapin beneran.”

“𝐻𝑎𝑝𝑝𝑦 𝑏𝑖𝑟𝑡ℎ𝑑𝑎𝑦, Jella sayang. Aku sengaja mau ngucapin terakhir, biar diinget terus.”

“Idih.” Jella ketawa, “caption kamu 𝑐ℎ𝑒𝑒𝑠𝑦 banget.”

“Emang, 𝑦𝑜𝑢'𝑟𝑒 𝑚𝑦 𝑠𝑡𝑎𝑟, 𝑚𝑦 𝑏𝑟𝑖𝑔ℎ𝑡𝑒𝑠𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑟, 𝑚𝑦 𝑓𝑎𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑡𝑎𝑟,” Jefran ketawa, “isi dm dan chat kamu pasti lagi penuh sama yang ngasih ucapan atau yang ngetag kamu di 𝑖𝑛𝑠𝑡𝑎𝑠𝑡𝑜𝑟𝑦. Makanya aku mau jadi yang terakhir.”

Jella ikut ketawa. Memang betul sih, ada banyak ucapan yang dia terima, tapi ucapan dari Jefran adalah yang paling ia tunggu. “𝑇𝑒𝑙𝑙 𝑚𝑒 𝑦𝑜𝑢𝑟 𝑤𝑖𝑠ℎ𝑒𝑠.”

“Doa-doa buat kamu selalu aku sebut waktu aku beribadah, tapi kalau kamu mau dengar...” 𝐽𝑒𝑓𝑟𝑎𝑛 𝑐𝑙𝑒𝑎𝑟 ℎ𝑖𝑠 𝑡ℎ𝑟𝑜𝑎𝑡 𝑎𝑛𝑑 𝑐𝑟𝑜𝑠𝑠𝑒𝑑 ℎ𝑖𝑠 𝑓𝑖𝑛𝑔𝑒𝑟𝑠, “𝐷𝑒𝑎𝑟 𝐺𝑜𝑑, 𝑝𝑙𝑒𝑎𝑠𝑒 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑐𝑡 𝑡ℎ𝑖𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑜𝑛, 𝑔𝑖𝑣𝑒 ℎ𝑒𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑦 𝑚𝑜𝑟𝑒 𝑦𝑒𝑎𝑟𝑠 𝑡𝑜 𝑏𝑒 𝑖𝑛 𝑡ℎ𝑒 𝑤𝑜𝑟𝑙𝑑, 𝑔𝑖𝑣𝑒 𝑚𝑒 𝑎𝑠 𝑙𝑜𝑛𝑔 𝑎𝑠 𝑝𝑜𝑠𝑠𝑖𝑏𝑙𝑒 𝑡𝑜 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑒 𝑤𝑎𝑙𝑘𝑖𝑛𝑔 𝑤𝑖𝑡ℎ ℎ𝑒𝑟, 𝑏𝑟𝑖𝑛𝑔 ℎ𝑎𝑝𝑝𝑖𝑛𝑒𝑠𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑜 ℎ𝑒𝑟 𝑙𝑖𝑓𝑒, 𝑏𝑒𝑐𝑎𝑢𝑠𝑒 𝑠ℎ𝑒 𝑖𝑠 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑜𝑛 𝑤ℎ𝑜 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑠 𝑚𝑒 𝑓𝑒𝑒𝑙 𝑙𝑜𝑣𝑒 𝑎𝑠 𝑏𝑒𝑎𝑢𝑡𝑖𝑓𝑢𝑙 𝑎𝑠 𝑦𝑜𝑢 𝑡𝑎𝑢𝑔ℎ𝑡.”

Jella tertegun. Sebelum ia mengendalikan dirinya, Jefran kembali berucap sambil mengusap belakang kepalanya, “oh iya, kadonya ketinggalan di kamar, nanti aja ya pas pulang. Satu lagi, 𝑠𝑖𝑛𝑐𝑒 𝑦𝑜𝑢 𝑔𝑎𝑣𝑒 𝑚𝑒 𝑙𝑒𝑡𝑡𝑒𝑟 𝑜𝑛 𝑚𝑦 𝑏𝑖𝑟𝑡ℎ𝑑𝑎𝑦, 𝐼 𝑤𝑟𝑜𝑡𝑒 𝑡ℎ𝑒 𝑟𝑒𝑝𝑙𝑦.”

Jella menerima sodoran kertas terlipat dari Jefran, “kok kertasnya wangi banget?!”

Jefran cuma mengangkat alisnya sambil tersenyum, songong. Jella mulai membaca suratnya. Semakin Jella membaca kebawah, matanya mulai berkaca-kaca.

𝐵𝑢𝑎𝑡 𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎, 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎 𝑔𝑎 𝑏𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑏𝑢𝑘𝑎.

𝐻𝑎𝑖, 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑡𝑢𝑎. 𝑆𝑒𝑚𝑜𝑔𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 ℎ𝑎𝑙-ℎ𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑖 𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑘𝑎𝑚𝑢, ℎ𝑎𝑙-ℎ𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑖𝑘𝑖𝑛 𝑎𝑘𝑢 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑘𝑎𝑟𝑒𝑙𝑎 𝑗𝑎𝑡𝑢ℎ ℎ𝑎𝑡𝑖. 𝑆𝑒𝑚𝑜𝑔𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑦𝑎, 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑖𝑛𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑤𝑘𝑤𝑘𝑤

𝑇𝑒𝑟𝑢𝑠, 𝑎𝑘𝑢 𝑗𝑢𝑔𝑎, 𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎. 𝐴𝑘𝑢 𝑗𝑢𝑔𝑎 𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑟𝑎𝑝 𝑠𝑒𝑚𝑜𝑔𝑎 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑠𝑎𝑚𝑎-𝑠𝑎𝑚𝑎. 𝐼𝑡𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑎𝑘𝑢 𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑇𝑢ℎ𝑎𝑛. 𝑆𝑒𝑚𝑜𝑔𝑎 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑛𝑔𝑒𝑟𝑎𝑦𝑎𝑖𝑛 𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑑𝑖 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛-𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑢𝑡𝑛𝑦𝑎? 𝑃𝑎𝑠𝑡𝑖, 𝑎𝑘𝑢 𝑢𝑠𝑎ℎ𝑎𝑖𝑛. 𝐹𝑟𝑜𝑚 𝑡ℎ𝑒 𝑏𝑜𝑡𝑡𝑜𝑚 𝑜𝑓 𝑚𝑦 ℎ𝑒𝑎𝑟𝑡, 𝐼 𝑡𝑒𝑙𝑙 𝑦𝑜𝑢, 𝐼 𝑙𝑜𝑣𝑒 𝑦𝑜𝑢 𝑗𝑢𝑠𝑡 𝑡ℎ𝑒 𝑤𝑎𝑦 𝑦𝑜𝑢 𝑎𝑟𝑒. 𝐾𝑎𝑚𝑢 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑟𝑒𝑠𝑒 𝑑𝑎𝑛 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑛𝑔𝑒𝑟𝑒𝑝𝑜𝑡𝑖𝑛.

𝑆𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑚𝑢, 𝑎𝑘𝑢 𝑗𝑢𝑔𝑎 𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎𝑎𝑛, 𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑐𝑢𝑎𝑙𝑖 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 ℎ𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑖𝑘, 𝑦𝑎?

𝐴𝑘𝑢 𝑗𝑢𝑔𝑎 𝑠𝑎𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑚𝑢, 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑒𝑡. 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎, 𝐽𝑒𝑓𝑟𝑎𝑛 𝑔𝑎𝑛𝑡𝑒𝑛𝑔.

Jella mengusap matanya, mau nangis tapi ya malu banget. Nangis mulu.

“Nangis aja gapapa.”

“Nggak ah.”

Jefran ketawa sambil mengusap kepala Jella gemas. Kalau nggak ingat ini tempat umum, Jella pasti sudah dipeluk-peluk dan diciuminya.

“𝐻𝑎𝑝𝑝𝑦 𝑏𝑖𝑟𝑡ℎ𝑑𝑎𝑦, 𝑓𝑟𝑜𝑚 𝑡ℎ𝑒 ℎ𝑎𝑝𝑝𝑖𝑒𝑠𝑡 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑜𝑛 𝑡𝑜𝑑𝑎𝑦, 𝐽𝑒𝑙𝑙𝑎.”