euphorrae

right where you left me

2 years after bright departure to london.

“demi apa sih, kak! seneng banget loh aku dapet mentor kak pond!”

phuwin berjingkrak-jingkrak menyambut pond masuk ke halaman rumahnya, sementara yang lebih tua tersenyum kecil. tidak menyangka bahwa teman kecilnya ini sudah akan menginjak bangku kuliah. phuwin, yang dulu selalu mengikutinya, bright dan win bersepeda dan main futsal sampai malam, sekarang tingginya sudah hampir melebihi dirinya.

semenjak bright berpacaran dengan win di awal masa kuliah, bright sering mengajak pond bermain ke rumah win. dari situ pond tau bahwa ada seorang anak kecil bermata sipit yang selalu mengikuti win kemanapun win pergi. namanya phuwin, ia tetangga sebelah rumah win, konon katanya karena saat ia lahir, win adalah orang pertama yang menjenguknya selain orang tuanya, maka dari itu hingga kini phuwin selalu menempel dengan win.

dan semenjak bright pergi ke london dan putus dengan win, pond sudah jarang berkomunikasi dengan win, apalagi phuwin. pond sudah tidak pernah melihat postingan win di media sosial, ia juga tidak tahu dimana win bekerja, dan tak pernah berpapasan dengan win di seantero mall ataupun tempat umum lainnya di jakarta. sama seperti bright, presensi win seperti hilang di peredaran pond.

sebelum menginjakkan kaki di ruang tamu phuwin, pond mendengar sebuah isakan. bukan isakan yang heboh sih, lebih tepatnya suara orang sedang tersedu pelan diiringi alunan lagu yang sangat mellow. pond kemudian mengucap permisi, dan ketika ia masuk, ia melongo melihat win sedang menelungkupkan kepalanya di satu tangan sambil bersandar di sofa. saat melihat pond, ia buru-buru mengelap air matanya, kemudian berlari pergi. phuwin yang baru saja muncul dari dapur menatap tingkah tetangganya itu sambil geleng-geleng kepala.

“maaf ya, win! gue lupa bilang kalo hari ini ada kak pond! jangan tambah nangis lu!” – yang kemudian dibalas suara bantingan pintu.

“dia kenapa?” tanya pond.

phuwin menunjuk kalender besar di dinding rumahnya. “tanggal 28 nih sekarang, jadwalnya dia berduka,”

“aaah,” pond mengangguk paham.

“lo... ada kabar dari bright?” tanya phuwin.

pond menggeleng. “gue bener-bener terakhir kontak 2018. sekitar 6 bulan setelah dia berangkat. bright terakhir cerita, dia masih kepikiran win. habis itu dia tiba-tiba ilang aja,”

“temen lo tuh....” phuwin menuang segelas air mineral untuk pond. “bodoh, ya?”

pond tertawa. bahkan seorang anak yang baru mau lulus sma saja sudah bisa menilai bright bodoh. “agak,”

“bukan agak lagi, kak.” phuwin melirik ke kamar atas, isakan win masih terdengar samar. “lo udah tau belum kalo win sebenernya dateng ke bandara itu, dia mau jawab iya?”

“hah?”

“win mau jawab iya. dia udah bawa koper, visa dan lain-lain. semuanya udah siap di mobil. dia harusnya hari itu tinggal berangkat aja, sayangnya temen lo terlalu cemen,”

“win mau nerima lamaran bright?”

“ya iyalah. dia tuh tiba-tiba aja maunya. tiba-tiba ngajak tunangan, tiba-tiba ngajak pindah ke london. emang ada orang yang bisa secepat itu memutuskan sesuatu kalo berhubungan dengan masa depan? kenapa sih, dia gak sabaran banget?”

pond tertegun. selama ini berarti bright salah sangka? 6 bulan pertama di londonnya yang merana, bright habiskan untuk meratapi win yang tidak mau untuk ikut dengannya ke london. turns out it was all just in his head.

pond mengeluarkan ponselnya, ingin mengirimi bright pesan namun tangannya ditahan phuwin. “jangan,”

“kalo lo bilang ke bright, gue yakin dia pasti langsung terbang ke jakarta sekarang juga. gue kasian sama win, kayaknya dia belum siap. biarin mereka masing-masing dulu sampe dua-duanya sadar,”


today, 2023.

bayang-bayang dirinya menangisi bright dua tahun yang lalu muncul kembali di kepala win. entah setan apa yang merasukinya— atau mungkin malah malaikat, ia mengiyakan ajakan bright untuk bertemu malam ini.

masih menggunakan setelan kantor, win mengunjungi cafe tempatnya dan bright berpacaran dulu. tempat ia pertama kali melihat bright lagi setelah lima tahun, saat phuwin dengan santainya duduk di sebelah mantan calon tunangannya itu tempo hari. bright yang memilih cafe ini, win setuju saja. tempat ini tak lebih banyak menyimpan luka dibanding bandara tempat bright menarik ucapan dan meninggalkannya ke london lima tahun lalu.

lima belas menit kemudian, bright datang. ia duduk dengan ragu di depan win, matanya sayu. win menatapnya canggung, “udah pesen?”

bright hanya mengangguk. “nanti dianter,”

“lo... apa kabar?” bright melanjutkan ucapannya dengan suara yang lirih.

“baik...” win menjawab pelan, “lo..?”

“baik juga,” jeda sesaat, “win, gue.....”

“maaf,” bright menunduk. “maaf gue terlambat,”

“terlambat buat apa?”

“semuanya,” jawab bright. “gue terlambat.... terlambat sadar kalo apa yang gue lakukan lima tahun yang lalu itu adalah hal tertolol yang pernah gue lakuin,”

win menghela napas, “ya... baguslah,”

“bagus?”

“ya bagus lo udah sadar. gue lima tahun ini nunggu lo sadar tapi lo gak sadar-sadar. mati suri ya lo lima tahun ini?”

“win....”

win terkekeh. ia menepuk lengan bright pelan. “gue minta maaf waktu itu juga terlalu lama. gue nggak memposisikan diri di tempat lo yang harus segera berangkat. gue juga kalut sama pikiran gue sendiri kok, bright. kita sama-sama salah. kita sama-sama udah berduka masing-masing, kan? gue rasa semuanya udah impas.”

bright akhirnya berani mengangkat kepala begitu mendengar jawaban win yang lugas. setelah beberapa saat ia melempar pandang pada win, baru kali ini ia bisa melihat sosok win, orang yang pernah ia cintai dan mungkin masih sampai sekarang, terlihat seperti sosok yang jauh berbeda namun dengan rasa yang masih sama. entah bagaimana, tapi bright bisa merasakannya. win terlihat jauh lebih bijak, percaya diri dan dewasa, namun bright tahu di dalam hati win, gejolak bimbang dan gelisah pasti masih ia rasakan.

“mungkin waktu itu lo bener, win. it's too soon,”

win mengangguk setuju. “also we are too young and naive to understand each other,”

“i don't know it will be this easy,” ucap bright.

“apanya?”

“buat ngobrol lagi sama lo setelah lima tahun,”

“setelah KITA GAGAL TUNANGAN dan lo kabur gitu kali ya, maksudnya?”

bright tertawa. ia mengulurkan tangan, “bro?”

“bro.”

5 years ago...

it's 28 and the weather is getting warm.

flowers, candles, fancy food, and a gift. bright has prepared all, he throws glance at the mirror to make sure himself looks neat.

lonceng di pintu berkerincing, sosok win muncul dari baliknya sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada waitress. bright melambaikan tangan, memberi tanda posisi duduknya pada win.

“hai,”

win melongo, tidak membalas sapaan bright, ia memperhatikan meja bundar di hadapannya yang sudah tertata rapi dengan berbagai macam hidangan, bunga dalam vas, dan juga lilin-lilin cantik yang menyala.

“bright, please deh...”

“apa?” bright terkikik, ia kemudian berdiri, menarik kursi di hadapannya, melingkarkan tangannya di bahu win dan menyuruh pacarnya itu duduk.

“what's with these pricey things....?”

“Today is 28,” jawab bright singkat, “because it's 28, and we've been doing it for five years, why should it be this fancy?” tanya win.

“because it's not usual 28,”

win mengernyitkan keningnya, ia menatap bright yang mengeluarkan ponsel, mengetik sesuatu disana, lalu mengangkat kepalanya tepat saat ponsel win berdering. bright memberi kode pada win untuk melihat ponselnya. win keheranan, mereka sedang duduk berhadapan, mengapa bright mengiriminya pesan?

win membuka ponselnya dan membuka pesan yang dikirim bright. baru membaca satu kalimat yang tertera dalam tangkapan layar di ponselnya, matanya langsung berkaca-kaca, tanpa melanjutkan membaca isinya, win menatap bright dengan pandangan haru. “ini beneran?”

bright tersenyum kecil, “iya,”

“aaaaah!” melupakan ponselnya, win langsung berdiri dan memeluk bright, memeluknya erat sekali sambil membenamkan wajahnya di pundak laki-laki yang selalu ia harapkan hadirnya dalam setiap satuan waktu. bright membalas pelukan win, ia berbisik di telinga win, “thank you for always being supportive...”

“dear mr. bright vachirawit, congratulations! we're pleased to inform you that your application for master's degree has been accepted and you are invited to enroll in february 2018 for a course of study to the business degree with us, university college london.

win menyeka air matanya yang tidak tahu sejak kapan mulai mengalir, ia menggenggam tangan bright erat. “kamu harus berangkat ya, ini kan impian kamu dari dulu. kamu nggak usah khawatirin aku, aku gapapa kok, yang penting kamu bisa lakuin hal yang kamu mau,”

bright mengelus telapak tangan win pelan, ia tersenyum, tersenyum lama sekali sambil terus menatap tangan kanan win yang sedang digenggamnya. tak ada kecurigaan apapun, win hanya berpikir bright sedang menerawang jauh, menerka-nerka, setelah ini, seberapa sering mereka akan saling berepgangan tangan erat seperti sekarang jika nanti bright sudah pergi ke london?

tiba-tiba bright melepaskan genggamannya dan merogoh saku, ia kemudian meletakkan sebuah kotak beludru di telapak tangan win. degup jantung win berhenti sesaat, pikirannya menolak untuk memahami apa yang sedang ada di telapak tangannya sekarang. namun ketika bright membuka kotak tersebut dan win melihat sebuah cincin yang melingkar ada di dalamnya, rasanya seluruh organ tubuhnya berhenti bekerja sesaat.

“win, would you be my fiancee?”

fiancee.

fiancee.

never ever in win's wildest dream, he would hear those words from bright in the near future. at least, not now. not today.

“bright....”

“hm?” bright mengeluarkan cincin itu dari kotak, ia hendak memasangnya di jari manis win. “come with me to london, will you?”

“bright, aku....”

win refleks menarik tangannya, membuat bright yang akan melingkarkan cincin sedikit tersentak kaget. “win, kenapa?”

“sorry, aku....”

win memainkan tangannya gelisah, bergantian menatap jari manis dan cincin yang ada di tangan bright, “don't you think it's too soon?”

“too soon?” bright mengedipkan mata. “we've been together for five years, win.”

“iya, tapi...” win memutus kontak mata dengan bright yang terus memandangnya. ia menunduk, “would you give me some time to think?”

bright menghela napas berat, salah langkah kah ia? namun melihat win duduk dengan keadaan yang nampak tak nyaman, bright akhirnya mengalah. “okay. take your time.”

win mengangguk pelan, ia terlihat berusaha mengumpulkan seluruh nyawa dan pikirannya yang baru saja menghilang entah kemana. bright melempar senyum dari tempat duduknya, “happy anniversary, win.”


two weeks passed and win hasn't answered yet.

bright hates this, but he begins to doubt his decision to ask win to get engaged.

terlalu cepatkah gue? jangan-jangan win never portrait his future with me? didn't he love me enough? apa dengan gue ngajak dia tunangan, gue malah menghambat semua mimpi dan hal lain yang mau dia kejar?

pikiran-pikiran itu terus muncul di kepala bright. sehari, dua hari, tiga hari, dan terus membayangi hingga dua minggu berlalu. besok, bright akan berangkat ke london dan ia juga belum menemukan kepastian dari win. dalam hari-hari biasa, bright berusaha tidak menyinggung hal tersebut, begitu juga win. namun hati kecilnya selalu berharap bahwa suatu saat win akan datang dan memberinya jawaban yang ia inginkan. tak harus berangkat besok bersamanya, win bisa menyusul. kapan saja, bright pasti menunggu.

but little did bright know, suddenly he don't know what possessed into him, this time he let his intruisive think sweep board.

di suatu pagi pada bulan januari yang dingin, awan mendung dan suasana sendu, bright berdiri di depan pintu keberangkatan internasional, menunggu win yang berjanji datang ke bandara. jika ini masih bright dengan isi kepala yang sama dua minggu yang lalu, ia akan berharap win datang dengan membawa koper dan memakai baju hangat sepertinya. jika ini masih bright yang sama, dengan yang akan melingkarkan cincin pada jari win, ia pasti akan langsung berlari dan memeluk win yang sedang melambaikan tangannya dari parkiran mobil.

bright diam dan dunia disekitarnya seakan-akan berhenti bergerak. lidahnya kelu dan tangannya kebas. ketika win berjalan mendekatinya, ia mematung di tempat. dan ketika ia menyadari win berdiri di depannya, dengan tangan kosong, tanpa membawa koper, troli atau apapun, hatinya seakan dipecut seratus kali secara bersamaan dan tanpa ampun.

“hai,”

“win,”

“iya?”

“just forget about what i asked two weeks ago, ok?”

“maksudnya?”

panggilan terakhir untuk pesawat menuju london. bright mengeluarkan kembali kotak cincin dari dalam sakunya dan menyerahkannya pada win. “keep this for me. one day, if our path still crossed, i'll take this back and ask you once again.”

“bright, ini apa maksudnya?”

“let's just break up,”

“and i take back my words yesterday. please just giving up on me, win. “


Gong Xi Fa Chai

Pov: Perth (Pacar baru Chimon)

“Imlek tahun ini kamu bareng sama keluarga aku yaa, nanti aku jemput!”

Chimon udah ngomong kayak gitu dari awal tahun baru kemaren, tapi mulesnya masih kerasa sampe sekarang. Iya, hari ini tuh pertama kalinya aku ikut acara Imlek bareng keluarganya Chimon. Mulesnya bukan gara-gara mau ketemu orang tuanya atau kokonya, tapi tuh kalian semua tau kan kalo udah pake embel-embel “keluarga aku”, siapa yang bakal kalian temuin?

Yup, sepupu Chimon yang sekampung itu. Sebenernya gak sekampung banget sih, cuma ada Koko New, Win, adeknya, Prim, terus sama keluarga Mix, Kokonya Krist, sama adeknya, Love. Aku belum terlalu kenal sih sama keluarga Mix, yang aku tau Mix punya kucing namanya Angela. Terus kata Chimon pacarnya punya tambak sama peternakan sapi, cuma aku gatau itu dia bercanda apa enggak.

Kalo Win, aku kenal soalnya dia pacar Bright. Aku sering futsal sama Bright, soalnya. Kadang-kadang Win ikut, kadang-kadang nonton doang. Nah, masalahnya tuh sebenernya disitu. Kata Chimon, keluarga besar dia sama keluarga besar Bright itu udah kayak sodara padahal gak ada ikatan darah. Jadinya di acara imlek besok, pasti ada mereka, nih. Hueeee, aku bayanginnya aja udah mules. Ketemu banyak orang baru, takut banget. Tapi gapapa, ayo Perth bisa.

Kata Chimon, hari ini acara di rumah Mix. Aku udah bingung mau pake baju apa dari dua minggu sebelumnya. Akhirnya aku ajak Billkin jalan-jalan ke Pakuwon beli baju. Lumayan, ngajak anak bos Pakuwon jadinya aku dapet diskon 75% plus gratis Chattime, heheheh. Billkin kemarin bilang, dia juga diundang sama Bright buat Imlek di rumah Mix. Waktu aku tanya, lah itu kan acara keluarganya Chimon? Kenapa Bright yang ngundang? Billkin cuma jawab, “Mboh, ancen arek iku sakkarepe dewe,”

Tapi Billkin bilang dia harus ikut acara di rumahnya dulu, jadi kalo sempet dia mau nyusul. Ya udah deh, aku disuruh berangkat duluan. Sekarang aku udah siap, udah pake baju baru, udah dandan cakep, pake parfum yang banyak biar harum. Tinggal nunggu dijemput Chimon.

Sekitar jam delapan, Chimon udah sampe depan rumah. Terus aku keluar, abis nyapa, aku nawarin biar aku aja yang nyetir mobil, tapi dia gak mau. Ya udah aku biarin aja dia yang nyetir. Katanya, di rumah Mix udah rame banget. Aku gak bilang kalo aku nervous, tapi Chimon kayaknya tau. Dia cuma ketawa sambil ngelus tanganku dan bilang santai aja, keluarganya gak ada yang gigit, kok.

Begitu sampe rumah Mix, aku agak kaget soalnya itu bener-bener rame banget. Halaman rumahnya penuh sama mobil parkir. Ini satu komplek saudara dia semua, kali ya?

“Oh, itu mobil arek-arek Citraland. Mereka bawa mobil sendiri-sendiri. Aku juga gapaham kenapa gitu padahal kan bisa bareng?” Chimon kayaknya tau aku heran. Dia terus gandeng aku masuk ke dalem rumah Mix, duh tanganku makin dingin, malu banget digandeng Chimon jadinya dia harus pegang tanganku yang keringetan.

***

“Bright, anakku ojok mbok uncal-uncal!”

Belom aja aku narik satu napas, kakiku udah diinjek sama dua orang yang lagi kejar-kejaran di ruang tamu. Aku liat Mix lagi ngejar Bright yang lari kenceng sambil gendong kucing putih. Di belakangnya, Win ikut lari sambil ketawa kenceng banget, dia ngerekam tingkah dua anak itu pake hape. Terus di ruang tengah, aku liat Kokonya Bright, Ko Jumpol, lagi buang-buang duit alias dia lagi bagi-bagi angpao tapi gapake amplop, dilempar-lempar aja duitnya sambil dia berdiri di atas kursi. Suasananya ribut banget tapi kayaknya seru. Chimon masih aja gandeng tanganku, dia kayaknya lagi nyari spot aman buat aku duduk. Kebetulan di deket pantry gak ada banyak orang, cuma ada Jane lagi motong kue, Chimon ngajak aku duduk disana sambil sekalian ambil minum dulu. Lagi-lagi, belom aja itu aer nyampe di kerongkongan, aku udah denger orang teriak-teriak di belakang.

“CIYEEEEEEEE CHIMON AJAK PACAR BARU CIEEEEEEEEEEEE!”

“GENG CHIMON SEKARANG SINCIA UDAH PUNYA GANDENGAN GENGGGG!”

“ADUH TERUS NTAR SIAPA DONG YANG CUCI PIRING? BIASANYA KAN YANG GABAWA GANDENGAN YANG CUCI PIRING!”

Chimon mukanya kayak udah cape banget, tapi dia tetep nyuruh aku minum air, terus dia berdiri dan ngejar semua sepupunya yang barusan teriak-teriak. Aku jadi ditinggal sendirian di pantry sama Jane. Cewek itu cuma ketawa, “Harap maklum ya, Perth. Orang-orang disini tuh semua otaknya gak ada di tempatnya, agak miring,” Aku cuma angguk-angguk aja, terus aku bantuin Jane naruh buah jeruk ke piring. Abis itu Jane ngajak aku gabung ke ruang tengah. Aku agak bingung soalnya Chimon gak ada, tapi yaudah deh mending aku ikut Jane aja daripada kayak anak ilang. Mungkin Chimon masih kejar-kejaran sampe keluar komplek, biarin aja.

“Oh, ini Perth bukan?”

Tiba-tiba ada mas-mas, iya mas-mas, bukan koko-koko, nyapa aku. Aku kayaknya belum pernah ketemu mas-mas ini, tapi seingetku dia pacarnya Mix. Pernah ditunjukkin fotonya sama Chimon waktu kita lagi tidur-tiduran di kamarnya kemaren. Aku cuma ngangguk aja sambil bilang iya, terus masnya ngajak aku salaman. “Earth,” Oh iya, namanya Mas Earth. Baru inget. Ini dia yang punya tambak sama peternakan.

“Kamu suka mancing?”

“Hah?” Aku agak heran tiba-tiba Mas Earth nanya gitu. Ini konteksnya dia mau aku jawab beneran apa bercanda, ya?

“Belum pernah sih, Mas.”

“Hmmm.” Dia ngangguk-ngangguk. “Mix suka mancing,” ?????? Maksudnya apa??

“Oooh, gitu ya, Mas. Hobinya Mix mancing ya,”

“Iyaa, mancing kangen, hehehehehe.”

????????????????? Menurut kalian aku harus ketawa atau pulang ke Pakuwon aja??????

Akhirnya aku cuma ketawa canggung aja, sebenernya jokes itu lucu banget tapi aku mau ngakak masih sungkan. Mas Earth terus sibuk ngefotoin kue keranjang sama jeruk di meja, aku jadi lega tapi agak bingung. Lega soalnya gak diajak ngomong lagi, tapi bingung mau ngapain soalnya gak ada yang ngajak ngobrol.

“Ohhh, ini yang namanya Perth? Lah, ngguwanteng gini cik, pinter banget Chimon kalo milih!”

Bahuku di toel dari belakang, waktu noleh aku liat ada cece-cece cantik banget, tinggi banget kayak model. Aku gak tau itu siapa, terus baru paham waktu Ko Jumpol ikut nyamperin dan ngerangkul cece-cece tadi. “Perth, ni calon bojoku,” Ooh pacarnya, aku senyum terus salaman sama cece itu, namanya Davi. Sumpah dia baik banget, Ce Davi terus ajakin aku ngobrol, sampe aku lupa kalo Chimon ilang gak tau kemana.

Abis itu, aku liat ada papi maminya Chimon sama orang tua yang lain udah mulai gabung ke ruang tengah. Terus kita mulai acara intinya dulu, waktu mau doa baru deh aku liat Chimon, Bright, Win sama Mix muncul dari halaman belakang. Mereka berempat keliatan ngos-ngosan sambil bajunya kayak udah kusut gitu, kayanya mereka abis guling-guling di halaman, aku gak tau. Chimon langsung buru-buru duduk di samping aku, eh si Bright sama Win ikut-ikutan duduk di kursi aku sama Chimon, Bright duduk sebelah aku, Win di sebelah Chimon. Terus mereka berdua kayak sengaja geser-geser badannya mulu jadi biar aku sama Chimon duduknya makin dempet. Hadeeeeh, pengen aku pukul tapi lagi di rumah orang!

Abis acara inti selesai, kita makan-makan. Pas acara makan-makan, Nanon sama keluarganya dateng. Bukannya salam atau apa, dia malah masuk rumah sambil mainin lato-lato kenceng banget. Haduh, ini bahaya. Bener aja, yang lain langsung ketrigger. Bright, Win sama Mix langsung adu lato-lato sama Nanon dan gak jadi makan. Chimon sebenernya juga mau join tapi aku tahan, aku suruh dia makan dulu.

“Kalo pasangan baru tuh gitu ya, emang. Pacarnya makan diambilin, gak habis, di suapin. Lah aku? Lihat tuh cok pacarku malah ngapain,” Win tiba-tiba nyeletuk, dia nunjuk Bright yang lagi adu skill lato-lato bareng Nanon.

“Win gak makan?” aku tanya. Win menggeleng, “Ntar aja, bareng Bright,”

“Ngenteni Bright selak entek iku Win, wes emplok en ae iku lato-lato,” kata Chimon. Aku nge-husssh-in Chimon, tapi Win cuma ketawa. “Ya udah aku makan ambek kalian aja,” Begitu Win jalan ke tempat prasmanan, aku denger Bright teriak dari halaman depan, “YANG! Aku tolong ambilin makan, dong! Aku mau berkompetisi lato-lato mbe arek ngelamak iki!”

“MOH!”

“Aaaaaaaa, Winnnn! Yaudah kalo gitu suapin aku!!!!!!”

“Hadeeeeeh!!!!!!!”

Win bilang hadeh-hadeh gitu, ujung-ujungnya dia juga ambil makan satu piring doang, dia nyuapin Bright yang masih main lato-lato. Kata Chimon gak usah heran, Bright-Win kalo gak aneh, bukan Bright-Win.

***

Abis makan, Chimon ngajak aku ketemu orang tuanya. Iya sih, tadi aku belum sempet ketemu. Pas ketemu, kita ngobrol-ngobrol bentar, maminya Chimon selalu baik. Aku dikasih angpao tebel banget, hahahah. Aku juga ngobrol sama Ko Gun sama Jane, kita diajakin liburan ke Eropa bulan depan. Wih, aku sih, mau-mau aja, ya. Seru kayaknya, hehehehehe.

“Nikahin dulu kali, Ai.” Bright tiba-tiba ikut nimbrung, dia lagi ambil es buah di meja, ternyata daritadi dia nguping.

“Yang mana, Bright? Kembaranmu apa Chimon sama Perth?”

“Chimon sama Perth, lah. Kembaran gendut jangan dulu, Ai. Dia nyuci piring aja gak bisa, kok mau berumah tangga,”

“Tak keplak kon, yo!” Jane ngelempar kulit jeruk ke Bright, terus narik kupingnya.

“Aduh! Tapi kalo dia bawel kayak gini, udah ambil aja Ai! Angkut deh ke rumah Ai, cek gak ceriwis ae ndek rumah!”

“Eh, kalo aku nikah, jadwal jaga tokoku mbok pek, loh! Gelem ta kon?!”

“Oiyo! Emoh, emoh! Jangan nikah dulu lek gitu!”

Maminya Chimon cuma geleng-geleng, kayaknya semua orang disini udah maklum sama tingkahnya Bright. “Salam ya, ke mamimu, Bright.”

“Iyah, calon besan,” jawab dia ngasal.

“Ko, kayaknya kamu lebih susah dapet restunya Bright deh, daripada Ko Jumpol atau mami papinya Jane,” kata Mami Chimon ke Ko Gun.

“Oh iya jelas. Sini, langkahi mayatku dulu,” kata Bright tengil, Ko Gun cuma melengos aja, dia kayak udah gedek banget sama Bright. “Gampang lah Mi, tinggal suruh Win stop bayarin paket codnya dia aja, udah bakal minta ampun dia sama aku.”

“Yah, Ko. Jangan gitu dong, Ko. Aku tuh nitip paket cod ke Win biar ada alasan buat ke rumah dia tiap hari, tauk!”

“Basi, Bright, basi!”

Ya, gitu deh. Terus sekarang gantian aku liat Ko Gun sama Bright kejar-kejaran keliling rumah. Kayaknya hari ini tema Imleknya kejar-kejaran. Aku milih tetep duduk sama Jane aja di samping maminya Chimon, mejeng disitu biar keliatan jadi calon menantu yang baik. Chimon akhirnya ucul juga, main lato-lato sama Nanon dan Mas Earth. Biarin aja, selama dia gak nitip paket COD ke rumahku, aku bakalan terus sayang Chimon.

Segitu aja ya temen-temen ceritaku ikut acara di keluarga besar pacarku, kapan-kapan kita cerita-cerita lagi, dadah!

Win's always been a bit of a romantic. He waited for the right person but was too shy for love. Despite his outgoing vibe, he didn't want to risk rejection. Back in Harvard, when he first saw Bright, he felt something special. From the get-go, Win noted all of Bright's quirks and faves. Favorite food, music, how he liked his coffee – Win kept track of the details. Life took them on separate paths for years, but Win never forgot how Bright had that special spot in his heart.

One day, they found themselves in the same city again – total luck. Dew set up a meeting at their old café, where they first met, on purpose. Turns out, Dew had a plan – he wanted Bright and Win on board for his new project. While waiting for Dew to grab his girlfriend, Bright and Win caught up for hours, reminiscing and sharing future dreams. Win felt a rush of emotions; his feelings for Bright were still strong. Every time he saw Bright, his heart fluttered, and he couldn't stop smiling. He loved Bright's quiet, thoughtful nature and admired his passion. Despite the time and distance, Win realized he still had feelings for Bright. —

And Bright had always been a quiet and reserved person. When he met Win for the first time, there was this spark, and Bright knew he had a crush on Win, but talking about it? Nope, too risky for their work relationship.

A few days ago, Dew couldn't resist teasing Bright about his obvious crush on Win. “Come on, Bright, why don't you just go over and talk to him?” Dew joked. “You've been staring at him for the past 10 minutes!”

Bright blushed, “I don't know. I don't think he's into me,” he mumbled.

Dew rolled his eyes, nudging Bright. “You'll never know unless you try. Just ask him out. What's the worst that could happen?”

Long time ago, Dew knew Win liked Bright, and vice versa, but they were too shy to admit it, worried about risking their friendship. Dew got tired of their secret glances even though he always dropped hints to both Bright and Win, trying to make them see they were perfect for each other. But, as expected, they just brushed him off, not wanting to mess things up.

But today, Dew watched his friends grow closer, and it felt like a dream. From a distance, he felt joy and happiness seeing Bright and Win walk out of the coffee shop hand in hand, big smiles on their faces. Dew also felt proud, like he played a small but crucial role in bringing them together. Dew noticed how Bright and Win looked at each other and always had each other's backs. He was sure they were meant to be together. Setting them up was the right call, and Dew had no regrets. Bright and Win? Definitely meant to be together.

Bright was strolling down the office hallway when he heard some noise from Dew's office. He gave a casual knock, and when Dew opened the door, there he was, in messy clothes, with his girlfriend trying to hide her red face.

“Hey, Bright. What's up?” Dew asked, looking a bit flustered.

“Just wondering if you wanted to grab lunch,” Bright replied, trying not to stare at the messy scene.

“Oh, sorry. We were just, um, talking,” Dew said, a tad embarrassed.

“Got it, no big deal. I'll leave you to it,” Bright said, feeling a bit awkward. “Catch you later.”

“Sure thing,” Dew replied, visibly relieved, and shut the door.

Bright walked off, shaking off the awkwardness of the moment. Glad Dew and his girlfriend worked things out, he continued down the hallway. Suddenly, he bumped into Win.

“Hey Bright, what's going on?” Win asked.

“Nothing much, just heading to my office,” Bright replied, trying to keep things casual.

“I was thinking of catching up with Dew, maybe grabbing lunch together. You in?” Win suggested.

“Bad timing. Dew's in a meeting right now,” Bright said, throwing out a quick excuse.

“Ah, got it. I'll hit him up later then,” Win said, turning to leave.

Bright let out a sigh of relief, happy that Win didn't press further. He didn't want to spill the beans about Dew and his girlfriend's private moment. Feeling a tad guilty for the fib, Bright just wanted to keep things smooth for everyone.

“Hey Win, do you want to grab lunch together with me, just in case?”

Win was hesitant. He was used to spending his lunch breaks with Dew and wasn't sure how he would feel about spending time with Bright instead.

“Mmm... I don't know, I'm not sure how I would feel about hanging out without Dew.”

“Come on, it'll be fine. We don't always have to do everything together as a trio. What do you think?”

“Okay, let's do it. Where do you want to go for lunch?

“How about that new sandwich shop down the street? I've been wanting to try it out.”

“Sounds good to me. Let's go!” -

Honestly, either Bright or Win was a little nervous but also excited to spend some quality time together. They stopped at the sandwich shop and ordered their usuals: a turkey and cheese for Bright and a veggie wrap for Win. As they sat down at a table by the window, they both felt a little awkward at first.

“So, um, what do you want to talk about?” Bright asked, trying to break the silence.

“I don't know,” Win replied. “We've never hung out without Dew before. It feels kind of weird.”

“Yeah, I know what you mean,” Bright said.

Surprisingly, Bright and Win had never really talked about personal stuff before, but today was different. Over lunch, they went beyond work talk and chatted about everything – favorite TV shows, future plans, even stuff they never shared with Dew.

Bright spilled about his family and dealing with anxiety. Win, being a good listener, shared his family tales and life challenges. Turns out, they had more in common than they thought – both art lovers and nature enthusiasts.

As they walked back to the office, they felt a stronger connection. Hanging out without Dew wasn't weird; it was unexpectedly cool. They left the sandwich shop feeling closer, planning to do this again soon. As they strolled through the lush green grass, back way to their office, Win asked Bright something that always stuck in his head.

“Hey, Bright, can I ask you something?”

“Sure, what's up?”

“Why do you always talk to me only in the group chat, but you never text me personally?”

“Oh, I just thought it's easier to include everyone in the group chat so no one feels left out.”

“Kind of feels like you're avoiding one-on-one chats with me.”

“No way! I value our friendship. Sorry if it seemed that way.”

“Before today, it was always work stuff when we hung out.”

“I didn't realize that. My bad, Win.”

“It's cool. Just know you can talk personal stuff with me too.”

“You serious? Didn't know that was an option,” Bright laughed.

“Totally. We're friends, after all.”

Friends, got it.”

As they both reached their office and Dew's room door was still closed, Win opened the room passcode with the employee card, he turned his head to Bright and said, “Just text me personally, ok?”

Dew, the usually cool CEO in the office, was on a total flip today. He was going off on the staff, making a fuss over what looked like a tiny issue. Bright, who was just trying to get some work done nearby, couldn't believe his eyes. He ambled over to Dew, wondering what got into him. “Hey, Dew, everything cool? You're not your usual zen self today.”

Dew shot him a frustrated look, “No, man. Just had a blowout with my girlfriend, and now I'm here, losing it over staplers or something.”

Bright chuckled, trying to lighten the mood. “Staplers can be tricky, I get it. But seriously, what happened?”

Dew sighed, “I don't know, dude. We argued about who knows what, and now I'm a ball of nerves. I hate it.”

Bright clapped him on the back, “Same old story, huh? I get it. Let's take a breather, man. Maybe grab a coffee and spill the beans. It might help, you know?”

Dew cracked a half-smile, appreciating the offer. “Yeah, maybe you're onto something. I just need to get my head straight.”

-

They strolled out of the office, leaving the heated moment behind, opting for a coffee break to untangle the mess that had Dew all wound up.

“What happened, Dew?”

“Just a big misunderstanding, you know? Things got out of hand, and now I'm not sure if we can sort it out.”

“What's the fight about?”

“I don't know, man. It's like we're both crazy busy with work, and suddenly, we're in this serious argument. We never used to fight like this before. She was acting all different yesterday. Super demanding, expecting me to be at her beck and call. I thought we were good, you know?”

Bright nodded, “Yeah, that sounds rough. It's always tricky when things change out of the blue.”

Dew sighed, “Exactly. I'm just trying to figure out what went wrong.”

“Maybe she's going through something. You know, life stuff.”

“Could be. I just wish she'd tell me if something's up. It's driving me crazy.”

Bright patted Dew on the back, “Maybe, over coffee, you can talk it out. See where her head's at.”

Dew shrugged, “Yeah, maybe. I just need to cool off first.”

Bright gave Dew a nod, “Dew, I get it. Couples fight, it's normal stuff. You and her, you love each other, right?”

Dew sighed, “Yeah, we do. But things got messy, you know?”

Bright tapped Dew's shoulder, “Listen, man. You're a hard worker, but maybe you've been overdoing it. She needs your attention too. Maybe she's going through a rough patch.”

Dew nodded, “Actually, she is. Work's been crazy for her, and she's juggling a lot.”

“Got it,” Bright said, “Communication, my friend. That's the key. Talk to her, and understand what's going on. And hey, make time for each other. Even in the crazy busy.”

Dew scratched his head, “You're right, Bright. I need to step up, and listen more. And, I should apologize to the team for that blow-up earlier.”

Bright grinned, “They'll get it. You got this, Dew.”

“Thanks, Bright. It meant a lot to me. Nice to have someone to chat with about it.”

“No problem. That's what buddies are for. Always here to listen and toss in some advice.”

“And it's kinda cool. You're not the relationship expert, but your advice was on point.”

“Well, I might not be a pro, but I've picked up stuff from watching others and reading.”

“Haha, total Harvard vibes there. Anyway, your advice was solid. You should find yourself a partner, someone to chill with and watch your back.”

“What's with the sudden matchmaking talk?!” Bright pouted. Dew chuckled, “So I have someone to whine about my dating life with.”

“Hey, I'm here for you, even if I'm not in the dating game.”

“It's different, you know. Single folks talk a different language.”

“Whatever,” Bright shrugged, “I don't know if I'm ready for that yet, Dew. Just enjoying the solo ride for now.”

“Ya, ya, ya,” Dew patted Bright's back head, “Kalo lo udah siap, Win jomblo, tuh.”

“Apaan sih....”

“Wkwkwkwk.” Dew laughs, ia mengeluarkan korek dan rokok dari saku jasnya, “Temenin gue nyebat?”

Bright and Dew met at Harvard two years ago, both in the same class. They hit it off, bonding over sports and hitting the gym for basketball or runs. Soon, they found more common interests – outdoor adventures, trying new foods, and exploring the city's shops and museums.

Despite busy schedules, their friendship grew stronger. Two years later, still best friends, they had tons of shared memories. One day, Dew asked Bright to meet his girlfriend and childhood friend from Columbia University. Bright, being the good friend he was, agreed right away.

Walking to the meeting spot, Bright felt a bit nervous. He'd never met Dew's girlfriend and didn't know what to expect. When they arrived, Dew introduced Bright to his girlfriend – a beautiful woman with flowing hair and a warm smile that relaxed Bright. Then there was Win, Dew's childhood friend. Tall, athletic, with styled hair and confident brown eyes. It was evident they'd been good friends for a long time.

-

Dew seemed to have it all – good looks, intelligence, wealth, popularity, and talent. And now, he even had a beautiful girlfriend to complete the picture. Bright felt a twinge of jealousy as he watched Dew and his girlfriend walk by. Despite his own good looks and smart brain, Bright always felt like he was lacking something. And now, seeing Dew with his beautiful girlfriend only reinforced those feelings.

But as he stood there, watching the couple walk away hand in hand, he couldn't help but feel like he was missing out on something special. Dew and his girlfriend walked ahead of Bright and Win, chatting and laughing together. Bright and Win followed behind them, feeling a little awkward as they walked in silence.

Bright didn't know what to say to Win, and it seemed like Win didn't want to talk either. They just walked side by side, watching as Dew and his girlfriend leaned into each other and continued their happy conversation. They looked so happy and in love, and Bright couldn't help but wish he had someone to share his life with.

As they continued walking in silence, Bright and Win felt a bit awkward around each other. The silence hung in the air. Win tried to break it with a joke, saying, “People in love stink,” but Bright didn't find it funny. He couldn't shake the feeling that he was the only one without a happy relationship.

At the restaurant, Bright stood in line with Dew's girlfriend while waiting for Dew and Win to pay. Nervous about talking to someone he'd never met, Bright hesitated. To his surprise, Dew's girlfriend was super friendly and easy to chat with. Before long, they were talking like old friends.

“Hi, I'm glad to finally meet you. I'm Bright.”

“Hi Bright, it's nice to meet you too. I've heard a lot about you from Dew.”

“Oh really? I've heard a lot about you too. Dew has told me what a great girlfriend you are.”

“Aw, thank you. Dew is a great boyfriend. I'm lucky to have him.”

“Yeah, he's a great guy. I've known him for a couple of years now, and he's always been there for me”

“That's so sweet. I can tell that you guys are really good friends.”

“Definitely. I consider him one of my closest friends. And I'm happy to see him so happy with you.”

“Thank you, that means a lot to me. It's clear that you and Dew have a really strong friendship. I'm glad to be a part of that.”

As they talked, Bright began to see what a great person Dew's girlfriend was. She was smart, funny, and kind, and she clearly cared a lot about Dew. Bright could see why Dew was so smitten with her.

After a while, Dew and Win returned with their food, and the four of them sat down to eat. Bright was happy to be included in their little group, and he enjoyed getting to know Dew's girlfriend and his childhood friend, Win, even better. -

As the night grew late, Bright and Win sat on a bench, smoking and watching Dew and his girlfriend happily chat. They seemed so deeply in love.

“I'm tired of watching them being all lovey-dovey over the years,” Win told Bright. Bright nodded, feeling the same way he did when he first met Dew and his girlfriend.

“It's a bit much, but also kinda sweet,” Bright replied.

“Exactly. Happy for them, but can't help feeling a bit jealous.”

“I get it. I compare myself to them and wonder why I'm not in a happy relationship like that.”

“Yep. But I don't want to rush into anything just to be in a relationship. It has to be with the right person.”

“Totally. The right one will come along when the time's right.”

“Hope so. In the meantime, happy to get to know you and chill like this. At least I'm not the only third wheel,” Win said, smiling at Bright.

Bright laughed, stomping out his cigarette. “Same here, Win.”

meninggalkan ingar bingar acara di belakangnya, dew menundukkan badan dan berpamitan kepada kolega dan senior yang ada dihadapannya. ia berterima kasih sembari menyambut jabat tangan mereka-mereka yang tak ada habisnya. malam ini ia kenyang pujian. rasanya seluruh orang yang hadir di perhelatan malam ini telah menghujaninya dengan kata-kata baik yang membuatnya tersanjung.

sembari menghela napas, dew melepaskan kancing di jas putihnya, ia meninggalkan hall dan menuju backstage, ruang tunggu tempatnya bersiap-siap. namun, sebelum membuka tirai yang menghalangi jalannya masuk, samar-samar telinganya menangkap suara dari dalam ruangan tersebut.

thank you for the hard work,

you too,

i may not have said this before, but i'm glad i got to know you and achieved all of this with you,” “and dew, of course,

me too, win. you're one of the most incredible people i've ever met. hopefully, we can still face a lot of good things together,” “with dew too, of course.

hah?

dew gak salah denger, kan?

itu barusan suara bright-win, kan? dua partner kerjanya? dua orang yang nggak pernah mau ngobrol hal lain di luar kerjaan? dua orang yang selalu milih diem-dieman kalau dew nggak ada?

dew mengintip dari balik tirai, ia ingin teriak sekarang juga. kedua teman dekatnya itu sedang duduk berhadapan, saling menatap sambil berjabat tangan. ini langka, anjir!

dew membuka tirai, dan tepat sesuai dugaannya, mereka berdua langsung melepaskan jabatan tangannya dan memasang muka datar, seolah tak terjadi apa-apa. “yo, did i miss something?”

“apa?” tanya win datar. “gak ada,”

bright menggelengkan kepala, ia kemudian berusaha mengalihkan pembicaraan, “udah selesai ngobrol sama yang lain? any offers?”

dew mengambil sofa di antara mereka berdua, ia melepaskan jasnya dan membuka sebotol air. “banyak, sih. tapi ya masih in a casual talk aja. gue bilang, kalo mau serius, silahkan dateng ke kantor,”

“good thing,” jawab bright. win di seberang mengangguk setuju.

“anyway,” dew selesai menegak airnya, “congrats for us? i think?” ia merangkul kedua laki-laki di sebelahnya. “forbes, bro! 30 under 30!”

“never in my wildest dreams,” ucap win. “thanks, dew. kalo bukan karena lo waktu itu, gue gak mungkin ada disini,”

“second that,” bright menimpali. “it's all thanks to you, dew,”

“gak, gak, gak,” dew menepuk-nepuk pundak bright dan win, “it's all thanks to us, we made it happen, together.” ia kemudian mengeratkan pelukannya, “so, what's next, guys? unicorn? decacorn?”

“let's keep going 'till hectocorn,” ucap win, ia melirik dew dan bright dengan tatapan optimis.

“siapa takuut?! let's gooooo!”

and soulmates can come in the form of friends, too. the way they stood there pretending to just be friends when all the while everyone in the room could plainly see that they are only existing for each other.

suara tetesan air hujan masih terdengar beradu dengan atap bangunan. bright membuka gorden jendela kamar win, ia kemudian menoleh pada si empunya ruangan dan berkata, “masih deres, nih, win.”

“yaudah, di rumah aja, ya?”

“oke,”

bright kemudian berjalan menuju dapur kecil di ujung ruangan, ia mulai membongkar perabotan yang ada disana, sementara win memperhatikan tingkah laki-laki dua puluh tujuh tahun itu dari sofa depan televisi, “mas, kamu ngapain?”

“hm?” bright muncul sembari membawa sebuah panci di tangannya, ia meringis, melihat bright yang membawa perkakas memasak, win langsung refleks bangkit dan bersiap menghentikan pacarnya itu, “stop. stop disitu. jangan kamu sentuh kompor aku ya, bisa-bisa meledak ini satu kosan.”

“ya tapi mas laper, win.”

“sini aku aja yang masak!”

win langsung merebut panci yang dipegang bright, kemudian mendorong laki-laki itu agar menjauhi kompor. win tahu skill memasak yang dimiliki bright adalah minus, cenderung kosong bahkan. entah sudah berapa kali aroma gosong menguap di udara, atau hambarnya masakan hasil karya bright yang win tahu. yang jelas, setelah membuat listrik kosannya konslet sebulan yan lalu gara-gara bright salah menyalakan oven, win tidak mengijinkan pacarnya itu menyentuh dapur lagi.

“tapi mas bisaaa, win.”

“bisa bikin konslet, iya.” win membuka kulkas, memunggungi bright, mencari bahan masakan yang ia bisa olah menjadi makanan.

“yaudah kamu yang masak, mas yang ambilin bahan-bahannya. gak harmful kan kalo gitu?” ucap bright, ia menarik-narik lengan baju win.

“ya udaaah,” win akhirnya mengalah, ia membiarkan bright mengeluarkan bahan-bahan masakan dari kulkas sesuai resep yang ia pilih.

ya, hari libur di masa pacaran mereka, kurang lebih isinya, kayak gini, lah.

awalnya hari ini mereka berdua janjian mau nyobain restoran ramen yang baru buka. tapi sialnya, sejak pagi jakarta di guyur hujan dan tidak berhenti sampai sekarang. malas keluar karena terlanjur nyaman di kasur dan males bermacet-macetan, akhirnya mereka berdua memutuskan di rumah saja.

baik win maupun bright sama sekali tidak masalah rencananya hari ini gagal karena hujan. toh akhirnya, mereka tetap menghabiskan waktu berdua. di dalam ataupun di luar rumah, sebenarnya sama saja.

kalau lagi berduaan sama bright gini, win suka ingat-ingat ke hari pertama mereka ketemu. di nikahan salah satu rekan kerjanya, yang ternyata mempersunting atasan bright. mereka ketemu di belakang meja katering waktu prosesi lempar bunga, karena sama-sama belum mau nikah, waktu itu.

lucunya, dua hari setelah acara, mereka bertemu lagi di kantor win. bright yang sedang melakukan visit, tak sengaja berpapasan dengan win yang baru saja olahraga sore di basement kantor. karena sebelumnya belum sempat bertukar nama, mereka berdua akhirnya duduk berdua dan mengobrol di coffee shop depan kantor win sambil menunggu macet sore agak terurai.

setelah itu, semuanya mengalir apa adanya dan keduanya semakin dekat. setelah bertukar nomor ponsel, bright dan win semakin intens berkomunikasi, sesekali bertemu saat jam lunch atau setelah jam kantor selesai. sekitar tiga bulan setelah pertemuan kedua, mereka memutuskan untuk berpacaran.

masih lucu, bagi win. sebelumnya, ia tidak pernah membuka hati dengan seseorang secepat ini. apalagi bright adalah completely stranger, orang yang belum pernah ia tahu dari siapapun sebelumnya. win yang sebelumnya sok-sokan jadi cowo independent, merasa gak butuh bantuan siapapun karena ia biasa sendiri, akhirnya luluh juga setelah ketemu laki-laki yang suka ngacak-ngacak ujung kepalanya setiap ketemu. percaya deh sekarang sama ucapan yang diacak-acak rambut, yang berantakan hati!

buat bright, mengenal win juga membuatnya akhirnya bisa kembali membuka jalan untuk berani menjalin hubungan baru. presensi win yang tiba-tiba muncul dan membekas pada pandangan pertama, membuat bright mau menerima kehadiran orang baru lagi di hidupnya setelah single hampir lima tahun.

setelah win, datang ke kondangan rasanya lebih menyenangkan. bukan hanya karena sekarang sudah ada seseorang untuk digandeng, tapi bright juga merasa punya teman untuk mengometari katering nikahan, memikirkan berapa biaya dekor yang dihabiskan, dan, bisa ikut rebutan di prosesi ritual lempar bunga, tentunya.

selama ini mereka berdua belum ada yang berhasil dapet, sih. makanya belum nikah-nikah. tapi bright santai saja, win juga tidak terlalu buru-buru. mereka berdua masih sama-sama nyaman mengejar karir dan menikmati hidup tanpa dibebani cicilan rumah.

“mas, udah, nih.”

win membawa sepiring pasta, harumnya memenuhi seluruh kamar, bright yang sedari tadi menunggu dengan perut keroncongan, menyambut piring yang dibawa win dengan semangat.

“eits, main makan aja. makasihnya mana?” win menarik kembali piringnya, ia lalu mencondongkan tubuh, menepuk pipi sebelah kanannya dengan satu jari, “makasih sama aku dulu,”

bright tertawa melihat tingkah win yang manja. sedikit tidak percaya jika laki-laki di hadapannya ini adalah laki-laki yang sama yang membuatnya rela menyetir bolak-balik jakarta-bandung dalam satu hari yang sama hanya untuk mengajaknya berpacaran.

“kita baru kenal 3 bulan, mas?”

“ya emang kenapa? aku udah naksir kok,”

“kamu yakin nggak cuma penasaran sama aku?”

“kalo aku cuma penasaran kenapa aku sampe nyamperin kamu ke bandung, win? aku nanti ada meeting lagi sama klien jam 7 malem. aku bilang ke kamu sekarang soalnya kalo aku nunggu selesai meeting, aku nggak tahu jam 10 malem nanti aku bakal masih naksir kamu apa enggak,

“maksudnya apa, sih?”

“ya aku maunya kamu jawab sekarang,”

“kalo nggak mau?”

yaudah. aku balik ke jakarta sekarang. yang penting aku udah ngomong ke kamu kalo aku serius,”

mas,”

hm?

kalo aku jawabnya nanti 00:00, kira-kira kamu masih naksir aku, gak?

kenapa 00:00?

soalnya besok tanggal cantik, 10.10. mau jadian pas tanggal cantik,

ya ampun....

sekelebat ingatan tentang bagaimana ia dan win memulai hubungan muncul di pikiran bright, ia tersenyum kecil kemudian mendekati pipi win dan mendaratkan sebuah kecupan disana.

“makasih ya, sayang akuuuu.”

win senyum-senyum. telinganya sudah merah tapi ia berusaha untuk tetap terlihat cool. “mau disuapin, gak?”

“mau, lah.”

“kalo gitu satu lagi,” kali ini win menunjuk pipi kirinya.

sadar dirinya sedang digoda, bright mendekatkan wajahnya ke wajah yang lebih muda, tepat sebelum menyentuh pipi kiri win, ia malah menggeser bibirnya dan mengecup bibir win.

“mas!” win refleks mendorong bright ke belakang karena kaget. bright tetawa, “apa? udah tuh sekalian di bibir. jadi aku boleh makan, gak? atau kamu aja yang aku makan?”

“gak!” win membalas cepat, ia merengut dan langsung memberikan piringnya pada bright, “besok aku mau pitching sama klien, jangan aneh-aneh kita malem ini,”

“yang mau aneh-aneh juga siapaaaa,” bright mencibir, ia kemudian mulai menyendok pasta di piringnya, “kamu mau?”

“mau, lah!”

“satu dulu,” gantian, bright yang menunjuk bibirnya, win cemberut dan memukul lengan bright, “kamu mah! aku yang masak, loh!”

“ih, masa kamu doang yang dapet cium? aku enggak?”

win memutar mata, kemudian ia menghujani pipi bright dengan kecupan dari segala sisi. sambil membetulkan letak kacamatanya, ia menatap bright, “puas?”

“muach,” bright membalas, kemudian ia menyodorkan sesendok pasta ke mulut win, “aaaaaaaaa,”

kadang-kadang kita memang gak perlu mencari. ada beberapa hal di dunia yang bakal datang dengan sendirinya ke kita, jika sudah waktunya. dan yang bisa lakukan cuma menerima. menerima baik buruknya, kurang lebihnya, sedih senangnya. apapun yang sudah digariskan oleh takdir, yakin aja, apa yang diberikan semesta untuk kita, itu pasti yang terbaik.

suara tetesan air hujan masih terdengar beradu dengan atap bangunan. bright membuka gorden jendela kamar win, ia kemudian menoleh pada si empunya ruangan dan berkata, “masih deres, nih, win.”

“yaudah, di rumah aja, ya?”

“oke,”

bright kemudian berjalan menuju dapur kecil di ujung ruangan, ia mulai membongkar perabotan yang ada disana, sementara win memperhatikan tingkah laki-laki dua puluh tujuh tahun itu dari sofa depan televisi, “mas, kamu ngapain?”

“hm?” bright muncul sembari membawa sebuah panci di tangannya, ia meringis, melihat bright yang membawa perkakas memasak, win langsung refleks bangkit dan bersiap menghentikan pacarnya itu, “stop. stop disitu. jangan kamu sentuh kompor aku ya, bisa-bisa meledak ini satu kosan.”

“ya tapi mas laper, win.”

“sini aku aja yang masak!”

win langsung merebut panci yang dipegang bright, kemudian mendorong laki-laki itu agar menjauhi kompor. win tahu skill memasak yang dimiliki bright adalah minus, cenderung kosong bahkan. entah sudah berapa kali aroma gosong menguap di udara, atau hambarnya masakan hasil karya bright yang win tahu. yang jelas, setelah membuat listrik kosannya konslet sebulan yan lalu gara-gara bright salah menyalakan oven, win tidak mengijinkan pacarnya itu menyentuh dapur lagi.

“tapi mas bisaaa, win.”

“bisa bikin konslet, iya.” win membuka kulkas, memunggungi bright, mencari bahan masakan yang ia bisa olah menjadi makanan.

“yaudah kamu yang masak, mas yang ambilin bahan-bahannya. gak harmful kan kalo gitu?” ucap bright, ia menarik-narik lengan baju win.

“ya udaaah,” win akhirnya mengalah, ia membiarkan bright mengeluarkan bahan-bahan masakan dari kulkas sesuai resep yang ia pilih.

ya, hari libur di masa pacaran mereka, kurang lebih isinya, kayak gini, lah.

awalnya hari ini mereka berdua janjian mau nyobain restoran ramen yang baru buka. tapi sialnya, sejak pagi jakarta di guyur hujan dan tidak berhenti sampai sekarang. malas keluar karena terlanjur nyaman di kasur dan males bermacet-macetan, akhirnya mereka berdua memutuskan di rumah saja.

baik win maupun bright sama sekali tidak masalah rencananya hari ini gagal karena hujan. toh akhirnya, mereka tetap menghabiskan waktu berdua. di dalam ataupun di luar rumah, sebenarnya sama saja.

kalau lagi berduaan sama bright gini, win suka ingat-ingat ke hari pertama mereka ketemu. di nikahan salah satu rekan kerjanya, yang ternyata mempersunting atasan bright. mereka ketemu di belakang meja katering waktu prosesi lempar bunga, karena sama-sama belum mau nikah, waktu itu.

lucunya, dua hari setelah acara, mereka bertemu lagi di kantor win. bright yang sedang melakukan visit, tak sengaja berpapasan dengan win yang baru saja olahraga sore di basement kantor. karena sebelumnya belum sempat bertukar nama, mereka berdua akhirnya duduk berdua dan mengobrol di coffee shop depan kantor win sambil menunggu macet sore agak terurai.

setelah itu, semuanya mengalir apa adanya dan keduanya semakin dekat. setelah bertukar nomor ponsel, bright dan win semakin intens berkomunikasi, sesekali bertemu saat jam lunch atau setelah jam kantor selesai. sekitar tiga bulan setelah pertemuan kedua, mereka memutuskan untuk berpacaran.

masih lucu, bagi win. sebelumnya, ia tidak pernah membuka hati dengan seseorang secepat ini. apalagi bright adalah completely stranger, orang yang belum pernah ia tahu dari siapapun sebelumnya. win yang sebelumnya sok-sokan jadi cowo independent, merasa gak butuh bantuan siapapun karena ia biasa sendiri, akhirnya luluh juga setelah ketemu laki-laki yang suka ngacak-ngacak ujung kepalanya setiap ketemu. percaya deh sekarang sama ucapan yang diacak-acak rambut, yang berantakan hati!

buat bright, mengenal win juga membuatnya akhirnya bisa kembali membuka jalan untuk berani menjalin hubungan baru. presensi win yang tiba-tiba muncul dan membekas pada pandangan pertama, membuat bright mau menerima kehadiran orang baru lagi di hidupnya setelah single hampir lima tahun.

setelah win, datang ke kondangan rasanya lebih menyenangkan. bukan hanya karena sekarang sudah ada seseorang untuk digandeng, tapi bright juga merasa punya teman untuk mengometari katering nikahan, memikirkan berapa biaya dekor yang dihabiskan, dan, bisa ikut rebutan di prosesi ritual lempar bunga, tentunya.

selama ini mereka berdua belum ada yang berhasil dapet, sih. makanya belum nikah-nikah. tapi bright santai saja, win juga tidak terlalu buru-buru. mereka berdua masih sama-sama nyaman mengejar karir dan menikmati hidup tanpa dibebani cicilan rumah.

“mas, udah, nih.”

win membawa sepiring pasta, harumnya memenuhi seluruh kamar, bright yang sedari tadi menunggu dengan perut keroncongan, menyambut piring yang dibawa win dengan semangat.

“eits, main makan aja. makasihnya mana?” win menarik kembali piringnya, ia lalu mencondongkan tubuh, menepuk pipi sebelah kanannya dengan satu jari, “makasih sama aku dulu,”

bright tertawa melihat tingkah win yang manja. sedikit tidak percaya jika laki-laki di hadapannya ini adalah laki-laki yang sama yang membuatnya rela menyetir bolak-balik jakarta-bandung dalam satu hari yang sama hanya untuk mengajaknya berpacaran.

“kita baru kenal 3 bulan, mas?”

“ya emang kenapa? aku udah naksir kok,”

“kamu yakin nggak cuma penasaran sama aku?”

“kalo aku cuma penasaran kenapa aku sampe nyamperin kamu ke bandung, win? aku nanti ada meeting lagi sama klien jam 7 malem. aku bilang ke kamu sekarang soalnya kalo aku nunggu selesai meeting, aku nggak tahu jam 10 malem nanti aku bakal masih naksir kamu apa enggak,

“maksudnya apa, sih?”

“ya aku maunya kamu jawab sekarang,”

“kalo nggak mau?”

yaudah. aku balik ke jakarta sekarang. yang penting aku udah ngomong ke kamu kalo aku serius,”

mas,”

hm?

kalo aku jawabnya nanti 00:00, kira-kira kamu masih naksir aku, gak?

kenapa 00:00?

soalnya besok tanggal cantik, 10.10. mau jadian pas tanggal cantik,

ya ampun....

sekelebat ingatan tentang bagaimana ia dan win memulai hubungan muncul di pikiran bright, ia tersenyum kecil kemudian mendekati pipi win dan mendaratkan sebuah kecupan disana.

“makasih ya, sayang akuuuu.”

win senyum-senyum. telinganya sudah merah tapi ia berusaha untuk tetap terlihat cool. “mau disuapin, gak?”

“mau, lah.”

“kalo gitu satu lagi,” kali ini win menunjuk pipi kirinya.

sadar dirinya sedang digoda, bright mendekatkan wajahnya ke wajah yang lebih muda, tepat sebelum menyentuh pipi kiri win, ia malah menggeser bibirnya dan mengecup bibir win.

“mas!” win refleks mendorong bright ke belakang karena kaget. bright tetawa, “apa? udah tuh sekalian di bibir. jadi aku boleh makan, gak? atau kamu aja yang aku makan?”

“gak!” win membalas cepat, ia merengut dan langsung memberikan piringnya pada bright, “besok aku mau pitching sama klien, jangan aneh-aneh kita malem ini,”

“yang mau aneh-aneh juga siapaaaa,” bright mencibir, ia kemudian mulai menyendok pasta di piringnya, “kamu mau?”

“mau, lah!”

“satu dulu,” gantian, bright yang menunjuk bibirnya, win cemberut dan memukul lengan bright, “kamu mah! aku yang masak, loh!”

“ih, masa kamu doang yang dapet cium? aku enggak?”

win memutar mata, kemudian ia menghujani pipi bright dengan kecupan dari segala sisi. sambil membetulkan letak kacamatanya, ia menatap bright, “puas?”

“muach,” bright membalas, kemudian ia menyodorkan sesendok pasta ke mulut win, “aaaaaaaaa,”

kadang-kadang kita memang gak perlu mencari. ada beberapa hal di dunia yang bakal datang dengan sendirinya ke kita, jika sudah waktunya. dan yang bisa lakukan cuma menerima. menerima baik buruknya, kurang lebihnya, sedih senangnya. apapun yang sudah digariskan oleh takdir, yakin aja, apa yang diberikan semesta untuk kita, itu pasti yang terbaik.