euphorrae

3 years later.

“MINIMONI FOUUUUUULLLL!”

Praaaaaaaang!

“LILIIII! BEHAVE!!!!!!!!!!!”

Win menutup telinga sambil meringis mendengar kekacauan di lantai bawah. Suara Thanaerng barsahut-sahutan dengan Minimoni yang mengeong, diiringi gelak tawa Lili yang memenuhi seisi rumah. Entah barang apa yang pecah barusan, Win hanya bisa berharap itu bukan medali timnas miliknya.

“Yang, masih cocok nggak?”

Win memalingkan wajahnya ketika mendengar suara Bright. He held his breath, his boyfriend is absolutely extremely breathtaking. Looks unbelievably gorgeous in that white suit.

“Masih,” Win berdiri, membenarkan letak kerah jas milik Bright, kemudian mereka berdua sama-sama menatap cermin besar di hadapan keduanya. “Gila, cakep banget.” komentar Win.

“Aku?”

“Geer. Aku muji wajah aku sendiri,” Win mengibaskan rambutnya dengan satu tangan, melihatnya, Bright mengacak-acak rambut Win yang sudah disisir rapi.

“Ih, jangan, dong!” Win mendorong Bright menjauh, namun ia kalah cepat, Bright justru menarik tangannya mendekati tubuhnya. Then Bright leans in, he's so close, so close 'till Win can't feel his legs anymore. He's breathing and not breathing and all he feels is him, everywhere, filling everywhere, and then Bright whispers, “Kiss me.

For the first time since they had ever dated, Win kissed Bright first. And it just feels... different. His lips are softer, soft like a first snowfall, like biting into cotton candy, like melting and floating and being weightless in water. It's sweet, effortlessly sweet.

“Thank you, thank you, thank you,” Bright whispers again, Win feeling the pounding of his heart against his skin. “For what?”

“For kissed my flaws and made them perfect. I'm feeling alive again because you, darling.”

Win menahan dirinya agar tidak tergelak, “Apa kamu manggil aku tadi? Darling? Belajar darimana lo?”

Bright giggles slowly, “Ah, gak seru kamu, ah.” Then he kissed the top of Win's hand. “Shall we?”


Mereka berdua akhirnya keluar kamar dan menuju lantai bawah. Di ruang tamu, sudah tertata kursi-kursi yang melingkari meja panjang, dengan berbagai jenis makanan terhidang di atasnya. Dekorasi bunga mengelilingi setiap sudut rumah, di lantai berserakan mainan Lili, tapi tidak apa, itu membuat suasana menjadi lebih semarak.

“Nah, ini dia yang ditungguin! Lama banget, sih?!” Terdengar suara Thanaerng menggerutu, ia terlihat membawa semangkuk salad dan meletakkannya di atas meja. “Cepetan turun!”

Bright mengamit lengan Win, dari seberang ruangan, ia melihat Neen sedang memperbaiki letak bunga berwarna putih. Her favorites. Melihat Bright dan Win mendekatinya, Neen tersenyum dan melambaikan tangan. “Wow, look at you.” Bright smiles thinly, he bowed and said thank you to his ex-wife.

“Who would have thought... you will take this path again,” ucap Neen. “Neither do I,” balas Bright. “Thanks to you again, Neen. For the past years, for everything that we've been through as friends, as a couple, and parents for Lili. You still remain my best woman ever.”

“Ah. Don't say that in front of your boyfriends,” Neen memukul lengan Bright pelan, “But I agreed, Kak. Without your help, we won't be here.” Win menimpali. Neen tersenyum, “It was the least I could do for you both,”

The doorbell rings and Lili jumps off her room followed by Thanaerng to get the guest in. Suara sorakan terdengar dari halaman rumah Bright, yang kemudian berubah menjadi cicitan halus dan lembut saat menyebutkan nama Lili. “Coach Bright, we are here!!!!!!!!” nyaring suara Neo terdengar hingga ke dalam, kemudian terdengar suara pukulan diikuti dengan gerutu protes Dew, “Heh! Gue Coachnya sekarang!”


3 tahun berlalu sejak Win lulus kuliah dan resmi menjadi pemain basket profesional. Setelah ulang tahunnya yang ke 23, Win ditransfer dari tim U-23 menuju U-25 dan kembali berlaga bersama timnas hingga ke tingkat internasional. Piala Dunia FIBA yang berhasil dimenangkannya bulan lalu adalah piala terakhir yang ia berikan untuk timnas.

Mulai bulan depan, Win akan berlaga di NBA. Ia ditarik bergabung oleh salah satu klub basket professional di Amerika Serikat. They told Win that they have been eyeing him for a long time, and when they met in FIBA last match, they immediately offered Win the opportunity to join and a contract to become a professional basketball player in their club.

Win can't help but surprised. He called Bright from USA, crying because he was confused. On the one hand, he clearly wants to accept the offer, but on the other hand, he also doesn't want to live far from Bright.

Long before that, Bright actually had a desire to retire as a Coach. He felt his ambition in basketball was enough and it was time for him to rest. But Win didn't allow it, he said Bright was still worthy enough to share his basketball knowledge, so he complied. But as soon as he hears that Win is getting a good chance in the USA, Bright finally tells Win what he's wanted all along.

He wants to go back to being a doctor.

Bright selalu ingin berbagi dan bermanfaat bagi orang banyak. Ia merasa cukup membantu dengan apa yang ia bisa di GMM Klub, ia berhasil membawa anak didiknya menembus timnas, memenangkan banyak pertandingan, dan terus memupuk bibit-bibit pemain muda yang berkualitas. Bright feels enough. Kini ia ingin berbagi dalam hal lain, ia ingin membagikan ilmunya yang pernah ia dapatkan ketika masih sekolah, ia tidak ingin apa yang pernah ia pelajari menguap sia-sia.

He felt he made a mistake at the time, and this time he was going to make up for it.

And that's how they finally agreed. Win accepts an offer to compete in NBA, and he will moves to America, followed by Bright, who will continue his specialist medical education there.

And now, they throw a farewell party today, attended by their closest people, Neen, Thanaerng, Neo, First, Dew, Mond, and all GMM Club members.


“Omg, Coach Bright! Aduh, apa saya sekarang harus manggil dr. Bright?” Dew menyalami Bright yang baru saja selesai mengambil foto ID untuk sekolah spesialisnya dengan jas putih dokter. “Terserah lo aja, Coach Dew,” Bright memberi penekanan di akhir kalimat, sementara Dew tersenyum sombong, “Hehehehe, ternyata gini ya, rasanya jadi Coach. Kayak berasa punya kekuasaan untuk foul,”

“GMM jadi klub foul semenjak lu jadi Coach!” Neo menjitak kepala Dew dari belakang, “Masa kemaren kalah sparing sama anak SMA?!”

“Hey!” Dew mengaduh, “It just a fun game, Coach Bright. Suer. Main-main doang, gak serius. We are going easy for them, ya masa sih kita main pake spirit penuh lawan anak SMA? Kasian nanti mereka terkapar,” Dew memberikan alasan.

Bright hanya geleng-geleng kepala, ia melepaskan jas dokternya,“Yaudah, sini foto sama gue. Bikinin from this to this dong ntar di IG klub.”

“Sini-sini saya fotoin, Coach!” First mengambil kamera di tangan Bright, “Hey, gue sekarang Coachnya!” protes Dew lagi. “Iyaaaa, iyaaaaa Coach Dew! Sungkem sini sungkem,”


It all feels surreal.

Win still feels like he's dreaming when Lili calls him “Papa” even though he and Bright aren't married yet. He felt like he was still dreaming when yesterday he packed his suitcase and stuffed all his jerseys and basketball shoes in there. He will be going to USA, he's really going to play basketball for the world's top clubs. Unbelievable.

Bagi Win, mimpi tertingginya hanya menembus timnas. Cukup dengan bermain di tingkat nasional dengan jersey merah putih saja sudah membuatnya bangga. Dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa satu mimpi yang sudah ia raih menuntunnya ke mimpi-mimpi yang lebih besar, mimpi-mimpi yang ia anggap mustahil namun sekarang menjadi nyata.

But with Bright by his side, everything suddelny got easier.


“Di Las Vegas ada drive-thru wedding, by the way,” ucap Thanaerng. Win melirik adik tiri pacarnya itu, “Apa maksud lo?”

“Ya in case tiba-tiba kalian pengen married, tapi males sewa WO, drive-thru aja. Lebih baik daripada kawin lari.”

Neo dan First tergelak. Jokes kawin lari selalu lucu bagi grup si paling timnas. Win memelototi kedua temannya, kemudian kembali mengaduk sirup. “Gak keburu nikah dulu ah, mau main basket dulu.”

“Itu duda keburu kepentok bule-bule Amrik,” celetuk Thanaerng lagi, membuat Bright yang mendengar perkataan itu langsung menjambak rambut adiknya. “Sembarangan!”

Thanaerng mengaduh, ia balas menjitak Bright. “Heh, lu ya, duda. Besok lo udah ke Amerika sama Win. Plis lo jangan aneh-aneh di negeri orang! Lo disini nitipin gue rumah segede stadion sama lo ninggalin kucing garong lo itu, belum lagi gue harus jagain Lili kalo Kak Neen jaga di rumah sakit! Kan! Kalo dipikir-pikir, lo mau deket apa jauh tetep nyusahin gue, deh!” Ia mengomel panjang lebar.

“Makanya, nikah. Biar lo ada temen jagain Lili sama temen tidur di rumah ini.” jawab Bright cuek. “Lo aja kaga ngajak Metaverse nikah! Gue aja yang lo umpanin,” balas Thanaerng. Neen hanya geleng-geleng kepala melihat Bright dan Thanaerng berdebat. Ia kemudian menengahi, “Kalo kamu takut sendirian disini, tidur rumah aku aja.”

“Ya maunya gitu, Kak.” ucap Thanaerng. “Siapa juga orang gila yang mau tidur sendirian di rumah 15 kamar.”

“Gue, anjir. Lu kalo tidur di rumah bokap kan gue tidur sendirian disini.” kata Bright. “Gila kan? Ya lu orgil,” gerutu Thanaerng, “Apa gue kos-in aja yak rumah ini?”

Bright menjambak rambut Thanaerng lagi, “Lo boleh jastip M&M sepuasnya, tapi jangan kos-in rumah masa depan gue sama Win,”

“IDIIIIIHHHHHHHHHHHHHH,” Thanaerng pura-pura muntah, “Nikahin dulu, duda! Jangan ngomong doang, lu!”


“Foto bareng, yuk!”

Mond berteriak dari ruang tengah, ia sedang mengatur letak kamera bersama First dan Neo. Semua orang kemudian mendekat, mereka mengambil posisi masing-masing. Bright dan Win berada di tengah dengan Lili di duduk di tengah-tengah pangkuan mereka, Thanaerng berdiri di sebelah Bright sementara Neen di sebelah Win, Neo, First dan Dew duduk di bawah Lili, diikutii anggota klub yang lain.

“Siap-siap yaa!” Mond menekan tombol timer. “Hitung dari 10!” Ia kemudian berlari dan mengambil posisi foto bersama yang lain.

10

9

8

7

6

5

4

3

2

1

Click.

Bright kissed Win on his cheeks. He whispers something that made his boyfriend turns red and smile shyly. Win could only grip Bright's hand tightly.

All his dreams, life, and the whole world, he held it now.

fever cure

suara ketukan di pintu kamar membangunkan win dari lelapnya. ia tersentak sesaat ketika membuka mata, tak ada pijar lampu dari ruang kamarnya. win hendak bangkit untuk menekan saklar, namun kepalanya terasa berat. seluruh anggota tubuhnya seakan menolak untuk beranjak dari kasur. dan ketika suara ketukan pintu terdengar lagi, dengan sisa tenaga yang ia punya, win menjawab lirih, “masuk aja, nggak dikunci,”

win mengira sosok di balik pintu mungkin pawat, mingyu, atau wonwoo yang mungkin ingin mengecek keadaannya. namun saat lampu dinyalakan oleh sang tamu, win membelalak ketika mendapat sosok bapak kosnya yang berdiri disana sambil membawa nampan berisi gelas.

“loh, bapak?! ngapain, pak?”

bright mendekati win, ia memandang wajah win dengan seksama kemudian melayangkan telapak tangannya pelan ke kening win, “permisi ya,” ia membolak-balikkan telapak tangannya dan menggumam, “tuh, demam lagi kan, kamu.”

win melongo. bukan cuma gara-gara telapak tangan bright yang tiba-tiba mampir di keningnya yang panas, namun kehadiran mendadak laki-laki itu di dalam kamar indekosnya juga membuatnya keheranan. bersama dengan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat, ia berusaha mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, namun dengan cepat ditahan oleh tangan bright yang lain, “tiduran aja,”

layaknya orang sakit beneran, win menurut. ia kembali merebahkan tubuhnya, sementara bright mengambil alat pengukur suhu badan di nakas. “coba pake dulu,” dan ya, hasilnya kembali seperti semalam. 39 derajat. “kamu itu,” bright meletakkan alat tersebut kembali ke nakas, “sudah saya bilang kamu masih sakit, masih aja ngotot pergi kerja.”

win meringis, ia memegang keningnya sendiri. “gapapa pak, udah biasa.” bright berdecak, ia menyodorkan segelas teh hangat yang ia bawa tadi, “ya makanya jangan dibiasain.” persis kata pawat.

win meneguk teh hangat buatan bright, ia kemudian berceletuk, “serasa di rumah deh pak, apapun sakitnya, obatnya teh anget.” bright tertawa kecil, sambil melihat sekeliling kamar win, ia menarik satu kursi dan duduk di sebelah kasur.

“kamu gak balas chat terakhir saya. terus saya lihat dari rumah, kamar kamu lampunya nggak nyala.” ucap bright. win tertegun, seketika ia ingat kalimat terakhir yang bright ucapkan di kolom chat. belum sempat ia balas, kenapa bisa tiba-tiba k.o begini?!

“oh itu pak, saya...” namun ucapannya diputus cepat oleh bright, “kamu tidur aja,” bright kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu sibuk sendiri menatap layar gadget sambil tetap duduk di sebelah kasur win.

“terus bapak ngapain disini?” tanya win. “ya jagain kamu,” jawab bright sambil tidak melepaskan pandangannya dari ponsel.

“pak, saya tuh gak....”

“kemarin katanya gapapa tapi muntah juga jam dua pagi,” ucap bright lagi. akhirnya ia mengangkat kepala dan menatap win, “kamu tidur aja, biar saya disini sampe kamu tidur. boleh, kan?”

seperti di nina-bobo oleh kata-kata bright barusan, win tunduk dan mengangguk. ia menaikkan selimutnya, melirik bright dari ekor matanya satu kali lagi, yang ditatap sudah kembali fokus dengan ponsel, menonton sebuah video dengan volume rendah.

tidak mau memperlihatkan komuk tidurnya pada yang lebih tua, win berbalik badan, ia memunggungi bright, berusaha memejamkan mata dan menjemput mimpi, dengan bayang-bayang sosok bright yang masih setia di samping kasurnya.

setelah 20 chapter

Setelah membaca pesan dari Mix, Arm langsung bangkit dari duduknya dan bergegas masuk lagi ke venue. Ia harus menemukan Jumpol dan Tawan sebelum Mild menemui mereka lebih dulu. Dengan kelabakan, Arm mencari-cari sosok Jumpol dan Tawan di sekeliling venue. Sesekali ia melirik sekitar, tau-tau saja ia menemukan Gun, Jane atau Bright yang bisa ia suruh mencari Jumpol dan Tawan juga. Di tengah gelapnya venue yang hanya mengandalkan lampu sorot dari panggung, Arm terus membelah lautan manusia yang memenuhi venue, memandang satu per satu paras yang bisa ia lihat, siapa tahu ada wajah-wajah yang ia kenal. Namun nihil, dimana-mana ia tidak menemukan anak-anak buntutnya. Semakin Arm merangsek ke tengah venue, sinyal HT yang ia genggam semakin melemah, bercampur dengan sorak-sorai penonton yang semakin ribut.

Setelah pencarian yang cukup menguras keringat, Arm akhirnya mendapati sosok Jumpol dan Tawan sedang berdiri berdampingan, bersandar di sebuah pilar di belakang venue dekat tribun sambil berbagi sebungkus snack sponsor. Melihat raut wajah mereka berdua yang masih santai-santai saja dan cenderung masih bersahabat, Arm beranggapan Tawan dan Jumpol belum bertemu Mild.

“Heh!” Arm merangsek ke tengah-tengah Jumpol dan Tawan. “Tak goleki kon!” Meskipun capek karena sudah mencari mereka berdua ke seluruh penjuru venue, Arm bersyukur ia bisa datang tepat waktu dan berada di tengah-tengah mereka berdua kini, setidaknya jika nanti Mild benar-benar datang, ia bisa menengahi suasana.

“Lapo?”

“Gak popo.” Jawab Arm datar. “Aku ket mang ndek kene, enak gak rame ambek desek-desekan.” Ucap Jumpol. Arm hanya mangut-mangut, sambil mengunyah snack, ia terus memperhatikan keadaan sekitar, takut tiba-tiba Mild kecil luput dari pandangannya dan muncul di hadapan mereka.

“Lah jancok, band fakultas endi iki, cok? Lapo areke nyanyi Kepompong! Kon seng request yo, Arm?” tanya Jumpol.

“Hah?” Arm celingukan, bersamaan dengan intro musik dari band di panggung terdengar, dilanjut dengan vokalis yang mulai menyanyikan lagu “Kepompong.”

“Guduk aku, cok!”

“Yoweslah gapopo, apik lagune lagian.” Ucap Jumpol, kemudian ia dan Tawan mengikuti sang vokalis menyanyikan lagu Kepompong dengan heboh sambil berangkulan. Jancok, jancok. Sok-sokan kepompong, gak iling ae mari tukaran! Deloken ae yo kon lek marigini ketemu Mild, opo sek iyo kon kepompong-kepompongan.

Belum sempat Arm mingkem dari hasil ucapan batinnya barusan, tiba-tiba saja pundaknya ditepuk seseorang, tepat setelah band tadi menyelasaikan lirik terakhir dan pancaran kembang api muncul dari sisi panggung, Arm merasa jantungnya ingin meledak sekarang juga.

“Hai!”

Sosok Mild muncul saat Arm menoleh, ia melambaikan tangan tanpa perasaan bersalah. “Surprise!”

Arm menepuk jidat. Kan, benar. Ia terlalu larut dalam suasana konser sehingga tidak memperhatikan sekeliling. Melihat Mild yang tiba-tiba muncul, membuat raut muka Jumpol dan Tawan berubah, dari bahagia menjadi datar, cenderung terkejut, kaget, tidak percaya, entahlah. Arm tidak bisa mengartikannya. Tidak ada satupun yang berani bicara setelah itu, sampai akhirnya Arm memutuskan mengambil alih suasana, “Hei, Mild! Kok kamu di Surabaya?”

“Loh, kan aku udah bilang ke kamu Arm!”

Hash, jancok!

Jumpol dan Tawan bertatap-tatapan terlebih dahulu, bingung menyikapi situasi, kemudian keduanya memandang Arm dengan wajah penuh tanya. “Arm.”

“Anu..” Arm garuk-garuk kepala. Bingung mau menjawab apa.

NGINGGGGNGGGGGG.

Tiba-tiba terdengar suara microphone yang nyaring memecah suasana awkward diantara mereka berempat, dan bersamaan dengan itu, lighting di panggung mendadak mati. Jumpol dan Tawan refleks berjengit kaget, melupakan Mild di depannya dan beteriak-teriak di HT.

“New! Kok lampue mati? Aje, Jeje, ojok ngawur kon ayo urusi iku kabel e heh!”

“Woi! Maringene guest star e munggah, monitor backstage! Iki mati lampu opo yoopo?”

Keadaan HT menjadi ribut, semua orang sibuk meneriaki satu sama lain, Arm juga ikut kebingungan. Ia sempat berpikir mati lampu, namun layar besar di samping panggung masih menyala dan menampilkan iklan sponsor dengan benar. Mendengar Jumpol dan Tawan yang masih berteriak-teriak di HT, Arm hanya memandang Mild yang kini menatap heran mereka bertiga dengan pandangan bingung. Belum sempat Arm ikut berbicara di HT untuk menanyakan kondisi control room, tiba-tiba lampu sorot dari atas tribun menyala, menyinari panggung dan memperlihatkan bayangan seorang laki-laki sedang berdiri atas panggung sambil memegang gitar.

Arm mendelik melihat sosok yang sedang ada di atas panggung, tanpa pikir panjang ia melanggar peraturannya sendiri dan langsung berteriak di HT, “BRIGHT JANCOK! KON LAPO NDEK PANGGUNG?!!!!!!”

Bright yang sedang berdiri di atas panggung nampak sedikit berjengit, sepertinya suara Arm masuk ke dalam HT yang belum ia matikan. Sambil meringis, ia membuang HT yang berada di saku belakang celananya ke sembarang tempat di atas panggung, lalu menatap Arm dengan tatapan tengil.

“Halo semua, met malem. Bright disini.”

Suara nyaring ciwi-ciwi fans sejati Bright memenuhi aula. Arm menjambak kepalanya sendiri, fans Bright garis keras itu mana tau kalau yang sedang Bright lakukan sekarang sesungguhnya nggak ada di script malem ini!

“MONITOR HE BRIGHT LAPO ASTAGA!”

Setelah Arm berteriak, tiba-tiba keadaan saluran HT hening. Terdengar suara gemerisik beberapa saat, sampai kemudian suara yang tidak Arm sangka berbicara disana. “Halo, Prim disini. Semuanya bakalan aman kok ges, Ko Bright janji gak bakal ngerubuhno panggung. Mari kita saksikan pertunjukan lenong.”

Kemudian HT dimatikan. Terlepas dari wajah Jumpol dan Tawan yang masih panik, Arm melihat Bright yang sedang membenahi gitarnya diatas panggung, meskipun mungkin malam ini mungkin Bright memang akan melakukan sesuatu yang malu-maluin untuk dirinya sendiri, Arm yakin Bright nggak akan sampai hati untuk membuat pensi yang sudah ia bangun dengan taruhan nyawa (karena ngerjainnya bareng sama Tawan dan Jumpol) ini hancur dalam hitungan detik.

“Kalem, kalem.” Arm menenangkan Jumpol dan Tawan. “Satu orang tolong stand by deket panggung, aku tetep wedi adekku mencolot.”

“Ehem, ehem.” Bright menepuk microphone tiga kali. “Oke semuanya. Jadi, hari ini saya mau nyanyi. Fyi aja, saya ini sebenernya jebolan Indonesian Idol, tapi enggak dikasih golden ticket sama Mas Anang gara-gara pas itu saya nyanyi lagunya Krisdayanti. Yaudah daripada bakat terpendam saya ini sia-sia, saya nyanyi disini aja ya semua. Mas Anang kalo Mas lihat ini dan berubah pikiran, tolong datangi saya di Toko Emas Mulia ya, nanti saya bolehin kasbon emas deh,” Suara gelak tawa memenuhi aula. Jumpol geleng-geleng kepala. Bener Prim, Bright ini emang menampilkan pertunjukan lenong, bukan mau nyanyi.

“Oh iya. Sebenernya saya nggak mau nyanyi buat semua, sih. Saya cuma mau nyanyi buat satu orang.”

Lampu yang menyinari panggung sebelah kiri menyala dan berpindah haluan, menyorot Win yang berada di pinggir tribun, di layar LED, sosoknya terlihat berdiri sendirian sambil mengigit risol. Win yang kaget atas spotlight tiba-tiba tersebut, langsung keselek risolnya sendiri, membuat seluruh penonton tertawa. Dari atas panggung, Bright berkata. “Pelan-pelan makannya Win, aku nggak keburu ngajak kamu kawin lari, kok.”

“Oke semuanya. Siapkan telinga kalian baik-baik, ya. Semoga kalian semua bisa denger lagu yang saya nyanyiin malem ini, bener-bener ungkapan hati saya yang paling tulus dan paling jujur, buat seseorang yang sekarang wajahnya sedang tampil segede baliho partai politik di samping saya.”

Arm melongo. Disampingnya, Jumpol kayak kena serangan stroke mendadak. Ia mematung, tidak berkedip sama sekali melihat tingkah adiknya di atas panggung. Entah karena heran, bangga atau justru marah, Jumpol bahkan benar-benar sampai mengabaikan kenyataan bahwa di hadapannya sekarang sudah ada Mild, cinta matinya yang membuat ia perang dunia bertahun-tahun dengan Tawan. Tapi Jumpol sama sekali acuh, fokusnya berpusat pada Bright yang kini mulai memetik gitar dan bernyanyi.

Berjuta rasa rasa yang 'tak mampu diungkapkan kata-kata Dengan beribu cara-cara kau selalu membuat ku bahagia

Kau adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan Yang benar-benar kuinginkan hanyalah Kau untuk selalu di sini ada untukku

Maukah kau 'tuk menjadi pilihanku? Menjadi yang terakhir dalam hidupku Maukah kau 'tuk menjadi yang pertama? Yang selalu ada di saat pagi ku membuka mata

Izinkan aku memilikimu, mengasihimu, menjagamu, menyayangimu Memberi cinta Memberi semua yang engkau inginkan Selama aku mampu aku akan berusaha Mewujudkan semua impian dan harapan 'Tuk menjadi kenyataan

Win Metawin, Jadilah yang terakhir 'Tuk jadi yang pertama 'Tuk jadi selamanya...

Wajah Win yang tampil di LED paling besar di samping panggung pun sama seperti Jumpol, seperti terkena serangan stroke mendadak. Bahkan Win terlihat belum sempat menelan risol yang ia kunyah, terpana melihat penampilan mengejutkan dari Bright barusan.

Setelah lirik terakhir, Bright tersenyum genit, matanya menatap Win yang masih diam tak berkutik. “Tuh, sebentar aja, kan. Saya sebenernya nggak mau curi spotlight pensi ini lama-lama, karena enggak dibayar juga sama ketuanya. Tapi karena ini kesempatan sekali seumur hidup, dan saya juga udah terlanjur di depan, yaudah sekalian aja, ya.” Bright meletakkan gitar dan melepas microphone dari penyangganya. Lampu sorot kini secara bergantian menyinari wajah Bright dan Win, kemudian Bright berteriak di tengah panggung.

“Win Metawin, di depan ribuan bonek sak Suroboyo, aku bersaksi.”

“Aku mau jadi pacarmu, Win!”

ketik 2

setelah kejadian marah-marah kemarin, ini kali pertama win bertemu bright lagi. ia sebenarnya masih agak kesal dengan bright, tapi karena sudah dijanjikan posisi baru dengan gaji yang banyak, ya siapa yang nggak seneng, sih. terdengar agak tidak tahu diri, tapi kenyataannya win memang happy, ya mau gimana?

saat masuk rumah, win melihat bright sedang duduk di sofa, memperhatikan ponselnya dengan serius. entah apa yang ia lihat, mungkin belasan pesan hoax yang selalu disebarkan teman-temannya di grup whatsapp alumni, atau video perkakas life-hack, atau mungkin berita terkini hari ini yang suka ia tonton di youtube.

sebuah fun-fact, selama pacaran dengan bright, win dan bright sama sekali belum pernah berpegangan tangan.

bukannya udah pernah pangku-pangkuan?, itu mah kata wonwoo. entah dari angle mana dia melihat, tapi yang terjadi sebenarnya bukan pangku-pangkuan. kebetulan saja mereka duduk di kursi yang sama dengan tinggi yang berbeda, sehingga terlihat seperti itu. win awalnya pun heran kenapa bright jarang menyentuhnya, kecuali saat pertama kali mengecek ia demam atau tidak, itu saja mereka belum pacaran, antara love language laki-laki itu bukan physical touch, atau memang dia tidak mau menyentuh win lebih.

jika mereka pergi keluar berdua, paling mentok bright hanya merangkul bahunya saat menyebrang atau ketika dalam keramaian, setelah itu langsung melepasnya lagi. win tidak pernah bertanya sih, tapi kan kadang ia pengen juga pegangan tangan, atau ya syukur-syukur ciuman, kayak pasangan pada umumnya.

win hanya memperhatikan bright dari kursi meja makan, setelah sepuluh menit, pacarnya itu akhirnya mengangkat kepala. ia balas menatap win, menyadari sesuatu, “apa? kamu mau apa, sayang?”

anjir! win gelagapan. apa muka gue keliatan mupeng?

ia cepat-cepat menggeleng. “kamu ngapain disitu?, sini,” bright menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya. dan seperti biasa, win langsung menurut.

di samping bright, pikiran win lagi-lagi melayang ketika bahu mereka berdua bersentuhan. the sparks is here, that electricity win feels everytime bright is near. but the older never makes the move.

“kok bengong?” tanya bright. win hanya meringis, lalu menggeleng lagi. aduh, tapi ni si om-om kayaknya kalo gue gak make a move duluan gak bakalan cium-cium gue, deh. tapi kalo gue minta duluan, terkesan murah banget, gak, ya?

but fuck, it. win pemberani. my mom didn't give this name, “win” for nothing.

“can i kiss you?”

mendengar pertanyaan win, bright terlihat agak kaget. ia langsung mematikan ponselnya dan menatap win. satu detik, dua detik, tiga detik, kemudian dia tertawa.

“iih, kok ketawa sih?”

“lucu aja,”

“apanya yang lucu?”

“kamu,”

win merengut. minta cium kok diketawain, gak romantis banget ni bapak-bapak satu!

“kenapa kamu gak pernah cium aku?” tanya win. “hmmm.” bright bergumam. “bingung minta ijinnya gimana,”

“astagaaaaa. emangnya mau cuti, minta ijin segala?” win menatap bright heran, bener-bener jalan pikir om-om empat puluh tahun di hadapannya ini tidak bisa diterima akal sehat. “yaa masa saya langsung cium kamu gitu aja? ga sopan,”

“ya tapi aku kan pacar kamuuuu, bapak...”

“tetep aja,”

“yaudah. saya ijin cium kamu, ya, win.” win mengangguk cepat, tidak pernah rasanya ia mengiyakan sesuatu secepat ini. ketika lengan bright perlahan menarik tubuhnya mendekat, win bisa merasakan detak jantungnya berdegup sepuluh kali lebih cepat. dan ketika ia merasakan hembusan nafas bright sudah mengenai wajahnya, ia tahu the moment he had been waiting for finally came.

and finally, he feels it.

win closes his eyes and inhales, in a matter of seconds, bright kisses him slowly but passionately, a little bit wild but somehow still soft, he kisses win like he is starving for love for a lifetime.

he swallows, hard. bright closing whatever space is left between them. he pushes win around as he deepens the kiss. win feels dizzy, he can not think about anything right now because it feels sooo good.

bright hands are in win's hair, win's back, when win moaned, bright slowed down and let win gasp for a breath. he tucked win's hair and smiled.

bright whisper “i love you,” and win started to think that it was okay not to be kissed for a whole month but after that, he got all the feelings like this one. it was worth the fight last night to get comfort like this.

“sayang,”

“hmmm?” win menanggapi bright.

“pindah kamar aja yuk, takut diliat anak kosan.”

win tertawa. he gives bright a little peck on his cheek, then agreed and follows the older to his room.

he's 10 tapi om-om 40 tahun? 100000000, lebih matang lebih menantang

he's 10 tapi kerjanya di perkebunan sama peternakan, 10000000, kalo dia selingkuh tanahnya gue jual

he's 10 tapi masih main facebook? 10000, berarti dia gabisa genit sama mba-mba influencer sexy di instagram dan open bo di twitter

he's 10 tapi typingnya gak ganteng? tetep 10 lah, kan yang penting wajahnya 10!

he's 10 tapi itu bapak kos lo? INFINITY soalnya bapak kos gue bright vachirawit :)

predawn

“thanks ya, kak.”

mobil seungcheol berhenti di depan rumah bright atau bisa dibilang kosan win juga, tepat pukul tiga pagi. win membuka seatbeltnya dan mengambil tas beserta barang lainnya dari jok belakang. “yuup, sama-sama, win. lo sempetin tidur ya meskipun cuma bentar, nanti jam 9 balik ke venue.”

“iyaaa kak.” seungcheol menurunkan kaca mobilnya, “kok masih terang, win?” ia menunjuk lampu ruang tamu rumah bright yang masih menyala. win mengernyitkan kening, nggak biasanya lampu rumah masih menyala jam segini. apa si bapak lupa gak matiin lampu, ya?

“oh, kayaknya ada bang wonu kayaknya lagi konsul tesis.” jawab win sekenanya. “sama pacar lo?”

“iya.”

“wah, enak ya ngekos disini. bisa bimbigan gratis hahahaaha.” seungcheol kemudian membuka kunci pintu mobil, “see you ntar ya, win.” win bersiap turun dan melambaikan tangan pada partner kerjanya itu, “hati-hati di jalan ya, kak.” seungcheol balas melambaikan tangan, setelah klakson satu kali, mobilnya pergi meninggalkan jalanan.

win kemudian mencari kunci gerbang di pot bunga depan seperti pesan yang ia sampaikan pada bright tadi. namun, ia tidak menemukan kunci disana. khawatir bright kelupaan, win mengambil ponselnya dan hendak menelepon bright, tapi karena takut pacarnya itu sudah tidur, win mengurungkan niat. ia berjinjit sedikit, melihat kamar-kamar kos di lantai dua, berharap ada salah satu saja lampu yang masih menyala alias penghuninya belum tidur, namun nihil. semuanya sudah gelap.

iseng, win mencoba menggeser pintu pagar, dan ternyata, belum terkunci. lagi-lagi win mengernyit, apa bright lupa juga? setelah masuk dan menutup pagar, win pelan-pelan berjalan naik ke tangga kos. ia berusaha meminimalisir langkah kakinya sepelan mungkin agar tidak menyebabkan suara gaduh.

“win.”

hampir terpeleset saking kagetnya mendengar ada suara yang memanggil, win berpegangan erat-erat pada sisi tangga sebelum ia menoleh, ia kemudian melihat bright berdiri di daun pintu rumahnya sambil melipat tangan, “loh? kamu kok belum tidur?”

“sini dulu.” bright memiringkan kepala, memberi gestur agar win masuk ke dalam rumahnya. win menatapnya keheranan, jam 3 pagi ngapain disuruh masuk rumah? namun melihat wajah bright yang serius, win akhirnya menurut saja.

“kok bau alkohol?” ucap bright begitu win masuk ke dalam rumah. win berjengit kaget, bukan karena ditodong pertanyaan seperti itu, tapi karena bright mampu mencium bau alkohol yang melekat di bajunya dalam jarak yang tak terlalu dekat. “iya tadi aku mampir klub bentar...”

“kamu minum?” sela bright, “enggak, aku masuk doang... tadi...”

“jangan bohong ya win, saya tuh juga pernah muda.” lah, apa sih ini. jadi dia nyuruh gue masuk ke dalam rumah cuma buat marah-marah? “beneran enggak...” ucap win.

“saya gak suka ya kamu pualng pagi-pagi,” ucap bright dingin. “lah, kamu kenapa sih?” tanya win heran. “biasanya aku juga pulang pagi-pagi kok.” ia membela diri.

“iya tapi enggak sampai diantar atasanmu itu.”

“kak cheol?”

win menatap bright yang kini membuang muka, kemudian ia berkata “kamu... cemburu?”

selama berpacaran, bright belum pernah sekalipun marah. win sebenarnya sudah berkali-kali diam-diam pergi ke klub, padahal ia tahu bright tidak suka, dan walau akhirnya ketauan juga, bright juga tidak marah. ia sering pulang pagi karena bekerja, tapi bright tidak pernah mempermasalahkannya. baru kali ini win lihat bright seperti ini.

“kamu resign aja dari eo,” ucap bright memecah sunyi diantara keduanya. “lah, kok gitu sih?” protes win. “kamu dari awal juga tau kalo aku kerja di eo pasti pulangnya pagi-pagi gini, kalo kamu gak suka harusnya kamu gak pacarin aku, lah.”

“win.” bright menanggapi ucapan pacarnya dengan nada suara yang rendah, win tau bright sedang berusaha menahan emosinya agar tidak keluar. “iya dulu kan kamu masih single, bebas mau kemana aja terserah, mau pulang jam berapa aja terserah. sekarang kamu punya saya, harusnya kamu hargai saya juga yang nungguin kamu setiap hari, khawatir kamu pulang pagi pagi terus, apalagi barusan kamu dianterin laki-laki lain.”

“tapi kan kak cheol cuma atasan aku,” win masih berusaha membela diri. “kalo kamu gak mau kerja di perkebunan atau peternakan saya bisa cariin kamu posisi di kantor tambang. kamu mau yang mana tinggal pilih,” bright tetap pada pendiriannya.

“saya tuh serius sama kamu, win. saya sayang beneran sama kamu, makanya saya khawatir. kamu kira saya ini gak kepikiran tiap hari liat kamu pulang pagi, tidur cuma dua jam terus berangkat lagi? saya tuh gak mau kamu susah atau capek, bahkan kalo kamu memang gak mau kerja nanti juga gakpapa, saya aja yang kerja. udah kamu di rumah aja nungguin kos-kosan.”

win diam saja. bright belum pernah menceramahinya sepanjang ini. sebenarnya win sekarang sedang takut, makanya ia memilih tidak membantah.

“saya tahu kamu udah sering nurut sama saya. tapi sekali ini lagi aja, nurut lagi ya, sayang?” nada suara bright melembut, tapi ia tetap tidak mendekat. sedari tadi mereka berbicara dalam jarak kira-kira sepuluh langkah kaki.

win menghela napas, ia masih diam saja. tidak berani menjawab, tidak berani menatap bright pula.

“yaudah kalo kamu gak mau jawab sekarang gapapa. dipikir dulu. kalo kamu mau tidur sini, itu di sebelah kamar milo ada kamar kosong. kalo mau balik ke kamarmu sendiri, ya silahkan.” bright kemudian mengakhiri percakapan, dan berjalan memasuki kamarnya sendiri, lalu menutup pintu.

ih, dasar bapak-bapak. win menggerutu dalam hati. minimal cium kening kek habis marahinsambil ucapin goodnight, main ngeluyur aja.

ketik 1

saat mendengar suara-suara kawan kosnya mulai mendekat, win buru-buru ambil jarak dari bright, yang semula mereka berdua sama-sama mengaduk es buah, win langsung melipir untuk menata piring di meja yang jauh dari tempat bright berdiri.

“haaaai, haaaaaaai!” suara sky dan ryu terdengar bersahutan di depan pintu. win melambaikan tangan, mengajak keduanya masuk. “pak, permisi ya pak, saya masuk!” masih sibuk mengaduk es buah, bright hanya berkata iya tanpa menoleh. win melirik pacarnya itu sekilas, ceileh, pacar katanya, lalu kembali sibuk menata piring.

“eh kalo pacar lu masih bocil, gak boleh ciuman, loh.” terdengar sayup-sayup suara billkin dari luar. “tapi kan akunya bukan bocil!” disusul rengekan perth beserta tawa mingyu dan wonwoo, dan selanjutnya terdengar derap langkah kaki yang cepat dan semakin mendekat.

“pak! kak billkin gangguin saya lagi!” wajah perth muncul dari balik pintu, ia merengut sambil menunjuk billkin yang mengikutinya dari belakang. “ya emang kan pak? kalo masih kecil gak boleh ciuman!” seru billkin. “pacar aku udah legal! 18 tahun!” perth masih ngotot, ia hendak mengejar billkin lagi, tapi ditahan oleh ryu. “ih perth udah, deh. lu tuh, billkin kok diladenin. dia tuh cuma mau bikin lu nangis.” ryu kemudian memberikan sepotong pizza pada perth, “udah, lu makan aja.”

“billkin, stop ganggu adekmu,” bright menengahi sambil membawa semangkuk besar es buah ke meja makan. billkin tertawa, “rasanya percakapan pak bright ke gue tuh kalo gak 'billkin, stop ganggu adekmu,' atau 'billkin, minggu depan kamu cabut rumput',”

“ya lu sih, bandel.” wonwoo menanggapi sambil menyendok es buah ke dalam gelas, kemudian memberikannya pada mingyu. “OOOOOOHHHHHHH,” billkin lagi-lagi berteriak. “gituuuu, kalo udah pacaran cuma pacarnya aja yang diambilin, yang lain enggak....”

“heleh, iya iya sini gue ambilin juga buat semuanya,” wonwoo mengalah dan menuangkan es buah itu ke beberapa gelas. melihat wonwoo, bright ikut-ikutan menyendok es buah kemudian memberikannya pada win. win mendelik, ia memberi gestur menolak pada bright, tapi bright tetap menyodorkan gelas itu ke hadapan win.

“uhuk,” wonwoo batuk satu kali, “minum aja win, udah diambilin kok gak mau,” wajah win merah padam, ia memberikan tatapan mengancam pada wonwoo, sementara yang ditatap pura-pura tidak tahu sambil berusaha menahan tawa.

“wah, ini bapak yang masak semua, pak?” tanya mingyu. “nggak, saya tadi mendadak males. jadi gofood aja.” jawab bright. “oh... gara-gara apa tuh malesnya kalo boleh tau?” tanya mingyu lagi. wonwoo batuk lagi, ia memalingkan wajah, menyembunyikan tawa agar tidak terlihat yang lain. win yang melihat tingkah mingyu dan wonwoo yang semakin ngadi-ngadi, menginjak kaki keduanya dari bawah meja. “tiba-tiba badan saya pegel-pegel,” jawab bright singkat. mingyu dan wonwoo mengangguk-angguk, berpura-pura paham sambil melirik win dengan tatapan menggoda.

saat suasana mendadak sepi karena semua sibuk dengan makanan masing-masing, perth tiba-tiba berceletuk, “oh ya, pacar bapak mana?” win langsung tersedak mendengar pertanyaan itu, membuat bright buru-buru mengambilkan segelas air putih. mingyu dan wonwoo kembali berusaha menahan tawa, dari meja yang bersebrangan, wonwoo berbisik “kok lo yang salting sih?

“bukannya belum pacar ya? kan bapak belum bisa ketik 1 katanya.” ucap sky. “iya tapi bapak kan tadi katanya mau jemput terus diajak makan-makan?” tambah perth lagi. “ya lo liat deh sekarang disini ada gak orang lain selain anak kosan? ya berarti bapak gak jadi ngajak gebetannya,” sela billkin. perth mencibir, “ya sapa tau pacarnya anak kos!!”

win batuk-batuk lagi, kali ini lebih heboh dari sebelumnya. “kak win kenapa? demam lagi?” tanyanya polos. win menggelen-geleng, ia hanya mengucap 'gak papa' sambil minum air. “kalo pacar saya anak kos gimana?” tanya bright. win memelototkan mata, mencubit paha bright dari balik meja tapi yang disentuh hanya diam saja sambil tersenyum jahil. “yaaa kalo saya sihhhh, oke-oke aja pak. tambah enak yaa bukannya, rumahnya deket,” jawab wonwoo. win mengeluarkan tatapan mengancamnya lagi, namun mingyu menimpali, “kalo saya jadi pacar bapak mah, saya pamerin ke seluruh orang, pak. hey dunia, pacar gue juragan kos-kosan, loh!

bright hanya tertawa mendengarnya. “iya, ya. ya semoga nanti dia mau pamerin saya, lah.” win hanya menatap bright, mingyu dan wonwoo dengan pasrah. ia sendiri memang belum bilang ke bright jika mingyu dan wonwoo sama-sama sudah mengetahui hubungan keduanya, tapi melihat bright yang ikut play along dengan mereka berdua, nampaknya laki-laki itu sudah paham.

“tapi ya,” billkin mulai bersabda, “kalo misal pacar bapak emang anak kos, bang wonwoo, bang mingyu sama perth udah coret dari list soalnya udah punya pacar. sky, ryu sama gue bapak pasti gak mau soalnya kita masih kuliah.” billkin kemudian menodong telunjuknya pada win, “ya yang paling mungkin cuma sama kak win, sih.”

“hahaahahaha kan emang,” mingyu tiba-tiba sama nyeplos, membuat win berjengit dan wonwoo memukul bahunya. mingyu yang sadar ia kelepasan, menutup mulutnya sendiri, “ups, sori, gak sengaja....”

“gimana....” ryu menatap win dan bright bergantian, “bapak pacaran sama kak win?” sky melongo, “ini beneran?” billkin yang pertama mencetuskan pembicaraan itu juga ikut-ikutan terkejut, “demi apa sih, beneran?!”

“jadi orang yang bikin bapak gak bisa ketik 1 tuh kak win?” tanya perth. billkin menjitak kepala yang lebih muda, “lu nih masih aja bahas ketik 1!” bright hanya tertawa-tawa saja mendengar percakapan anak-anak kosnya. “pak, jawab dong!”

“win aja deh, yang jawab.” ucap bright. yeeeeee si bapak! enak aja melimpahkan tanggung jawab! win menggeleng-geleng kebingungan, sementara mingyu dan wonwoo akhirnya bisa tertawa dengan lepas. “lo apa gue yang jawab?” tanya wonwoo. win meringis, “baaaang, jangan gitu lah!”

“demi apa sih kalo beneran pacaran gue mau deh cabut rumput seminggu,” billkin tertawa, “masa iyaaaa sih,” lah, nantangin! bright menyenggol lengan win, memberikan tatapan agar win mengaku saja. win yang masih malu hanya menggelengkan kepala, menolak suruhan bright.

“yaudah billkin kamu cabut rumput seminggu, ya.” ucap bright. billkin menoleh cepat, “lah? kok gitu pak?”

“itu kata kamu kalo beneran pacaran kamu mau cabut rumput seminggu,” jawab bright datar. billkin menatap bright dan win bergantian, air mukanya membelalak kemudian ia berteriak, entah untuk keberapa kalinya hari ini, “BENERAN PACARAN?????? WAH KAK WIN MENURUT GUE, LO BARU AJA NGABISIN SELURUH JATAH HOKI SEUMUR HIDUP LO DENGAN PACARAN SAMA PAK BRIGHT SIH.....”

khusus hari ini gws anak-anak kosan santun bermartabat, selamat cabut rumput karena gue beneran udah pacaran sama si bapak xixixixi.

eleven wish

jam baru menunjukkan pukul 6.30 pagi ketika win terburu-buru keluar dari kamar kosnya dan mengunci pintu. ia berniat akan berangkat pagi untuk mengindari macet dengan karena ia akan naik busway hari ini. keadaan di lantai atas kos masing sepi dan kosong, belum ada tanda-tanda penghuni lain sudah bangun dan beraktivitas. win kemudian memakai sandal i ♥ dufannya dan bergegas turun.

sambil memantau pergerakan arus jalanan di jakarta pagi ini di ponsel, win membuka gerbang pagar dengan kaki kanan, bersiap akan lari sampai ia mendengar suara yang familiar menghentikan langkahnya, “win, mau berangkat?”

win menoleh dan mendapati bright sedang berdiri di taman bunganya sambil memegang selang air yang masih menyala. ia menggunakan sleeveless shirt warna putih dan celana pendek di atas lutut. dalam hati win merutuk, anjing lah, kenapa gue harus ketemu dia pagi-pagi gini!

“iya pak, hehe.” jawab win. bright mematikan selang airnya, kemudian berjalan mendekati win, “sudah sembuh?” win mengangguk, “udah gak demam nih pak, suer,” ia membolak-balikkan telapak tangannya sendiri di atas kening. “saya pengen pegang tapi tangan saya kotor habis cabut rumput,” bright terkekeh sementara win berjengit, PENGEN PEGANG KATANYA? GWS DAH LU PAGI-PAGI!

“udah sarapan?” win menggeleng, tepat sebelum ia melontarkan alasan kenapa ia berangkat pagi-pagi, bright langsung menyela, “sarapan dulu. nanti kamu sakit lagi. ayo, saya tadi bangun udah sempet siapin.”

“sekarang bukan senin kan, pak?” tanya win. bright memberikan gestur agar win mengikutinya masuk ke dalam rumah, “ya gapapa, sarapan bareng kan gak harus setiap senin. ayo,” daripada berdebat dan membuat waktunya habis, win memilih mengalah dan menuruti bright. “ada milo, tuh.” tambah bright lagi.

win langsung semangat ketika mendengar nama milo disebut. benar saja, ketika ia masuk, milo sedang duduk di atas meja makan, menonton cocomelon di televisi sambil disuapi oleh babysitternya. win melambaikan tangan, menyapa milo, “hai, milooo!”

“om yang kemarin!” wajah milo berubah semringah, “halo, om!” win tersenyum gemas kemudian ia mengambil kursi di sebelah milo, “makan apa tuuuh?” milo menunjuk-nunjuk roti dan telur mata sapi yang ada di piringnya, “uncle yang bikinin,”

“anak jaman sekarang tuh manggilnya emang uncle, ya. biar kekinian kata maminya,” bright kemudian bergabung ke meja makan sambil membawa sepiring roti untuk win. “lah, barusan dia manggil saya om, tuh, pak.” ucap win. “ya karena baru kenal aja, besok-besok kalo udah akrab pasti dia panggil uncle juga,” jawab bright. ia menyodorkan segelas air putih ke hadapan win, “kamu sarapan dulu.”

win menarik gelas dan piringnya malu-malu, baru saja ia akan makan satu suap, bright berbisik, “apa mau saya suapin juga kayak milo?” NAH KAN. mulai, mulai! win hanya menggeleng sambil tersipu, bright balas tertawa kecil lalu ia bergeser ke milo dan membantu babysitternya memotong buah.

setelah makan, win menyempatkan untuk bermain cilukba dengan milo. seketika ia lupa dengan tujuannya berangkat pagi karena anak berumur tiga tahun di depannya ini terlalu gemas. untuk kesekian kalinya, milo meminta babysitternya menari cocomelon, dan kemudian mereka berdua asik berjoget dengan iringan musik dari tv. win hanya tertawa melihat tingkah milo, dari arah dapur, bright mendekat dan menghampiri win di sofa.

“lucu banget pak, milonya.” ucap win. “iya, lucu ya?” bright ikut-ikutan menertawakan milo yang masih berjoget, “saya nanti kalo udah berkeluarga, pengen punya anak 9, biar kalo main bola bareng nggak kekurangan pemain.” win mengernyit, “lah, main bola bukannya 11 orang ya, pak?” bright mengangguk, “iya, yang dua kan saya sama kamu.”

BAJINGAAAAAAAAN! pak bright masih pagi udah tebar gombal aja! win batuk satu kali, ia hanya senyum-senyum saja menanggapi bright. “kamu mau punya anak berapa?” tanya bright. “saya terserah bapak aja,” mampus lo gue fight balik nih!

“9 berarti, ya.” kata bright. win hanya mengangguk-angguk, “iya gapapa deh pak, lumayan nanti kalo kita ada hajatan banyak yang bantuin,” bright tertawa, “yaudah kalo gitu besok, ya?” win menoleh ke arah bright, besok apa nih? pasti aneh lagi nih isi kepala si bapak.

“besok apa pak?” tanya win. “besok kita dp catering buat resepsi.” YA KAAAAAAANNN. ADA ADA AJAAAAA KAAAAAAN! win memukul lengan bright pelan, “bercanda mulu, bapak, nih.”

bright tertawa, “kamu mau saya anter?” oh iya, win sampe lupa kalo dia mau kerja. “nggak usah pak, saya gojek aja. jauh loh kantor saya, kan bapak kemaren udah tau. apalagi pagi gini pasti macet,”

“gapapa, itung-itung saya latihan,” bright kemudian bangkit dari sofa, dan mengambil kunci mobil yang tergantung di dinding, “latihan apa pak?” tanya win.

“latihan jadi pasangan yang baik dengan nganterin calon suami ke kantor tiap pagi,” bright mengucapkannya dengan nada yang datar dan air muka yang biasa saja, namun mampu membuat win belingsatan dan wajahnya langsung merah padam.

dah. gue pamit undur diri deh. gws semuanya.

One year later.

Jam besar di ruangan tengah sudah berdentang. Hari sudah resmi beranjak menuju esok, dan Jane masih berada di kamar Bright, berusaha menahan kantuk sembari mendengarkan kembarannya yang terus-terusan meracau sejak siang hari.

“Bantuin mikir dong, gendut…!” Jane melempar bantal ke arah Bright, berharap kembarannya itu mendadak sadar dari mabuknya, tapi sia-sia. Bright terus mengomel dengan kecepatan 234 kata per menit, tak berhenti meneguk botol wine yang ada di genggamannya, entah itu sudah botol keberapa. Dari tadi Jane ingin menyingkirkan botol itu, tapi takut Bright tiba-tiba ngamuk dan melemparnya hingga pecah.

Bright jarang mabuk, sebenarnya. Sering waktu dulu dia masih SMA, waktu masih bandel sama temen-temen sepergaulannya. Kadang-kadang ngekor Jumpol dan Arm, tapi lebih sering kedua kakak tertuanya itu pergi berdua tanpa mengajak Bright karena katanya Bright kalau mabuk ngerepotin, bisa naik meja di bar sambil joget dan gak mau turun sampe dia capek. Semenjak ketemu Win, Bright sudah jarang main ke club atau mabuk, selain karena Win anak rumahan dan nggak suka tempat berisik, Bright pernah dimarahin New gara-gara keseringan ngajak Win dugem, jadi dia diancem nggak boleh ngajak main Win lagi kalau terus-terusan diajak keluar ke tempat kayak gitu. Jadinya sekarang mereka kalau ngedate ke tempat yang tenang atau biasanya ya di rumah aja.

Win itu bener-bener buat Bright berubah. Dari anak yang manja banget udah jadi lebih mandiri. Dari anak yang cengeng banget udah jarang nangis lagi kalo kesel. Dari anak yang suka banget ngeluh jadi lebih bisa nahan diri. Jumpol bilang dia beneran pengen sungkem sama Win, soalnya kata Jumpol, Bright itu bener-bener kayak batu yang mau dilindes sama traktor sekalipun gak bakalan cuil, tapi begitu ketemu Win, dia bisa kayak besi dipanasin, alias mleyot. Jane juga ngerasa kepalanya nggak terlalu berat sebelah semenjak Bright pacaran sama Win, karena Bright udah nggak lagi ngerepotin. Udah nggak lagi minta dijemput tengah malem gara-gara dia mabok, udah nggak pernah berantem sama lawannya main futsal, udah nggak pernah kabur-kaburan ke luar negeri lagi tanpa ngabarin, dan udah nggak morotin duit mami sama papi sebanyak dulu (soalnya sekarang kalo kemana-mana Win juga ikut bayar, hahahaha). Kebiasaan jeleknya yang masih ada cuman males jaga toko, itu sampe sekarang masih gak berubah.

Jumpol sama Jane beneran nggak tahu gimana nasibnya Bright kalo nggak sama Win sekarang. Kayaknya dia bakalan tetep ngeghosting banyak anak orang, dugem sampe puyeng, dan gak bakalan lulus tepat waktu soalnya kebanyakan futsal. Selama di semester akhir kemarin, Win bener-bener ngebantu Bright buat ngerjain skripsinya, Win selalu nemenin Bright cari data, survey, begadang, kejar-kejaran sama dosbing, bahkan Win sampe rela molorin skripsinya yang sebenernya udah selesai duluan, biar dia bisa wisuda bareng Bright. Iya, Win sebenernya bisa selesai 3,5 tahun, tapi dia sengaja nunda sidang biar bisa barengan sama Bright lulus 4 tahun.

Mereka berdua udah bener-bener nempel terus deh, kek perangko di amplop. Kalo amplop gak ada perangkonya, ga bisa sampe tujuan. Kalo Bright gak ada Win, dia gak tau kemana arah hidupnya. Ya kayak sekarang ini. Waktu Bright tahu kalau Win mau lanjut S2 di Belanda, nyawanya kayak dicabut setengah sama malaikat. Jadi sekarang dia linglung dan milih buat mabuk aja.

“Ya udah kon juga S2 aja sana deh, biar bisa bareng sama Win terus.” Jane akhirnya buka suara setelah sekian lama cuma memandang-mandangi Bright yang meracau sendirian. Bright menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku gak mau belajar lagi, otakku kecil.”

Jane memutar mata sambil berkata, ancen, dalam hati. “Ya udah terus kon bingung apanya, sih? S2 tuh cuma 2 tahun, Bright. Lagian kon kan bisa nyusulin Win kesana, sebulan sekali, kek. Kita kan banyak duit, jangan kayak orang susah gitu, deh.”

“Ya tapi kan, LDR! Rasanya tuh, beda. Yaapa lek Win disana ketemu bule yang lebih cakep dari aku? Yaapa lek Win tiba-tiba nyaman ambek seseorang seng bisa menemani areknya tiap hari? Yaapa lek…” Jane memutus kata-kata Bright dengan menoyor kepalanya, “Yaapa lek kabeh seng mbok omongno iku durung tentu kejadian?”

Bright memegang kepalanya sendiri yang sudah terasa berat, ia menatap wajah Jane di depannya, terlihat samar-samar namun ia tahu kembarannya itu sedang kesal. “Win iku ke Belanda mau belajar, Bright. Bukan mau selingkuh. Aku ngerti kok, kon sayang ambek Win. Dan kudune lek kon sayang, kon kudu support kabeh geleme Win.”

“Aku geleme Win ambek aku terus.”

“Iku egois jenenge, cok.” Sekali lagi Jane menoyor kepala Bright.

“Wes lah, Bright. Kalian iku wes gede. Wajar lek misal jalan seng kate mbok pilih ambek Win iku wes gak sama. Seharus e it doesn’t matters, loh. Seng penting kalian saling percaya ae. Lek misal kon gak ngolehin Win ke Belanda, berarti kon gak percaya dong ambek arek e?”

“Gak gitu….” Bright siap-siap meneguk botol winenya lagi, tapi langsung dicegah oleh Jane. “Wes wes. Marigini muntah iso-iso kon yo, aku emoh ngeresiki.”

“Lek seng mbok khawatirno mek masalah LDR, iku gak isa dijadiin alasan. Kon tega, nahan Win ndek kene, gak lapo-lapo ambek kon, padahal areknya sebenere isa dapet kesempatan seng lebih baik ndek Belanda?” Jane menepuk-nepuk pipi Bright, berusaha membawa kesadarannya kembali.

“Aku nikah ae kali ya, ambek Win?” racau Bright tiba-tiba.

“Arek sinting!” Entah untuk kali keberapa, Jane menoyor kepala Bright. “Wes ah, males aku ngomong ambek arek gak kebek!” Jane kemudian bangkit dari kasur, meninggalkan Bright sendirian.

“Jane, Jane! Ojok ngaleeeeeeh! Huhuhuhuhu, Win wes mau ninggalno aku, saiki kon ninggalno aku pisan!” Bright merasa kepalanya berputar, ia mengaduh satu kali, berusaha menyeimbangkan badannya sendiri, lalu bergeser mencari bantal untuk merebahkan diri.

Ia berusaha tidur dengan perasaan yang gundah dan isi kepala yang kacau balau. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki mendekat, dari balik selimut, Bright meracau “Win?”

Byuuuuuuuuur.

Dan tiba-tiba semuanya basah. Bright otomatis bangkit dan misuh-misuh. Pusing di kepalanya mendadak hilang dan pandangan matanya kembali normal. Ketika ia membuka mata, ia melihat sosok Jane di depannya membawa sebuah ember. “Jancooook! Lapo kon nyiram aku heh?!! Mbok kiro aku iki aglonema?!!!”

“Cek kon sadar, blok. Wes iso meso kon? Bagus, berarti kon wes sadar. Wes yo, aku kesel ngacani kon ngomeeeel ae ket mang. Aku ngantuk, bye bye.” Kemudian Jane langsung ngacir keluar kamar Bright.

“Janeee! Janeeeeeeeeeeeee! Kasurku teles kebes! Terus aku turu endi he?! Aku turu mbek kooon!”

to be continued to another year.....

MITOS HAPPY MEAL

GUNJANE ONESHOT from GMM CHINDO UNIVERSE


Gun memarkirkan mobilnya di depan rumah Jane, butuh beberapa menit sampai akhirnya gerbang besar itu terbuka dan muncul wajah Jane dibaliknya dengan cemberut sambil bersungut-sungut. Karena Gun sadar hari ini ia tidak telat, maka kemungkinan penyebab dari marahnya Jane cuma dua, satu, cewek itu lagi mau halangan, yang kedua, saudara kembarnya pasti berulah aneh. Dari dua kemungkinan, karena Gun hapal jadwal datang bulan Jane, pilihan kedua lebih masuk akal terjadi.

“Hai cantik.” Gun menyapa Jane yang masuk ke mobil dengan serampangan dan menaruh barang-barangnya dengan kesal. “Bright kenapa?”

“Huh?” Jane menoleh ke arah Gun, “Kok kamu tau kalo Bright bertingkah?” “Ya wajah kamu udah bete gitu,” ucap Gun. “Siapa lagi yang bikin kamu bete kalo bukan Bright?”

Jane tertawa satu kali, kemudian wajahnya kembali cemberut. “Nih, Ko, dia mecahin highlighterku! Aku baru beli kemarin, huaaaaaaaaa!” Jane menunjukkan sebuah kotak kecil di tangannya yang ia sebut highlighter. Gun hanya menatap alat makeup yang sudah retak di beberapa bagian itu dengan pandangan prihatin, “Dia ngapain?”

“Masuk ke kamarku, dia pinjem charger. Tapi dia nyari chargernya tuh gak pelan-pelan jadi akhirnya nyenggol ini! Huhuhuhuhuhuhu ini aku baru beli! Baru aku swatch satu kali, di tangan lagi! Liat nih, Ko.” Jane membuka kotak highlighter tersebut, iya sih, dari kotaknya, terlihat masih baru. Cuma isi di dalamnya sudah hancur tidak berbentuk.

“Ya udah, beli lagi aja, ya.” Ucap Gun sambil menyalakan mesin mobil. “Duuuuh, Bright tolol emang! Kesel banget aku, hih!” Jane mengambil ponselnya, kemudian dengan berapi-api mengirim sebuah voice note pada saudara kembarnya, “Eh, jancok! Mana cepetan transfer duitnya buat aku beli highlighter lagi! OH YO SIJI MENEH, AWAS YA KON MASUK-MASUK KAMARKU MENEH! OJOK SENTUH KABEH BARANGKU MULAI SAIKI, TITIK!”

Gun tertawa mendengar Jane yang marah-marah, dengan kalem ia berucap lagi, “Beli lagi aja, Jane. Aku beliin, deh. Lima.”

“Jangan Ko, biar dia ini tanggung jawab.” Balas Jane, ia masih memelototi ponselnya menunggu jawaban Bright, sedetik kemudian ia menjerit lagi. “AREK SINTINGGGG!”

“Kenapa?”

“Masa dia transfer cuma SELAWE? BUAT APA ANJIR SELAWE EMANGNYA MAU BELI NASI PECEL???!!!!” Jane kembali mencak-mencak, dan mengirim voice note lagi, “HEH AREK SETAN! SENG GENAH KON LEK TRANSFER! MANA ADA HIGHLIGHTER HARGANYA DUA PULUH LIMA RIBU COK!”

“Emang harganya berapa, sih?” tanya Gun.

“800 ribu.”

Gun melongo. “Mahal amat, sekotak kecil gitu doang?”

“Dior ini. Kalo gak pake ini pipiku gatel-gatel.”

Gun tertawa mendengar jawaban Jane, kemudian ponsel Jane berdenting dan terdengar balasan voice note dari Bright, “HEH! MENDING KON YO NJUPUK O EMAS NDEK TOKO, TERUS BLENDER-EN, WES KAN ISO DADI BLING-BLING NDEK PIPIMU?! LAGIAN OPO KOTAK CILIK KOYOK NGONO AE HARGANE MEH SEJUTA! MENDING AKU TUKU BOBA ISO ENTOK SAK PANCI!

Melihat Jane yang sudah mau naik pitam lagi, Gun langsung menahan tangan Jane dan mengelusnya pelan, “Wes ya, wes. Tak beliin, tak beliin. Percuma kamu tu ngomong sama Bright, gak bakal diseriusin, nanti kamu capek.”

Jane merengut kecil, namun melihat tangannya digenggam Gun jadi amarahnya surut seketika, ia akhirnya mengalah. “Ya udah deh,” ia kemudian menekan beberapa tombol di ponselnya, lalu memasukkan ke dalam tas.

“Ngapain itu?”

“Ngeblock Bright.”

“Astaga….”


“Sebenernya yang bikin kesel tuh, gara-gara itu masih baru terus belum sempet kepake, tapi udah pecah. Bukan harganya.” Jane mengamit lengan Gun, keluar dari Sephora sambil menenteng beberapa paperbag. Tadi sih niatnya cuma beli highlighter, tapi namanya cewek, kalo udah liat makeup, jadi kalap dan ikut-ikutan beli yang lain.

“Kalo Bright tahu Ko Gun yang gantiin highlighterku, pasti de e besok langsung acak-acak meja makeupku terus dirujak kabeh iku.” Ucap Jane masih dengan nada kesal, sementara Gun tertawa. “Kamu mau makan dimana?”

“Waduh, rame semua lagi,” Jane mengedarkan pandangannya ke restoran-restoran yang ada di sekelilingnya.

“Malem minggu, nih. Ngapain sih semua orang yang pacaran makan kesini.” Gerutu Jane, Gun tersentil sesaat mendengar gerutuan Jane, kemudian ia berkata, “Mau makan di luar aja?”


Akhirnya mereka berdua berhenti di McDonalds, karena semua tempat makan penuh, nggak nyaman aja gitu mau makan berdua tapi sekelilingnya banyak orang lain. Ya udah akhirnya mereka drive-thru aja dan berniat makan di parkiran.

“Kamu apa?” tanya Gun.

“Mbak, Happy Meal mainannya apa?” Jane bertanya pada Mbak-Mbak McD. “Little Pony, Kak.”

“Aku Happy Meal aja deh, Mbak. Kudanya bisa milih kan?”

“Bisa Kak.”

“Aku mau yang pink, ya.”

“Oke, saya ulangi pesanannya ya.”


Jane tersenyum girang ketika mendapat kuda poni warna pink di bungkusan Happy Mealnya. Gun hanya geleng geleng kepala melihat tingkah Jane. “Kamu kayak masih kelas dua.”

“Biarin, lucu, kok!”

“Kayak Win, dia ngumpulin kuda-kuda itu juga,”

“Iya, ini aku balapan sama Win koleksi ini. Dia belum punya yang pink, bentar aku mau pamer dulu.” Jane mengambil ponsel, dan memotret kuda poni warna pink itu dan mengirimkannya pada Win.

“Aduh!” Gun berseru saat ia tidak berhati-hati membuka saos dan tumpah ke bajunya. Jane yang melihat kaus putih Gun berubah warna langsung panik dan melupakan kuda poni barunya, “Eh gimana sih!” Jane mencari-cari kotak tisu di sekitarnya, tapi tidak ada. “Ini mana tisunya mobilmu kok ga ada tisunya sih?!”

“Coba itu di dalem dahshboard, tolong ambilin!”

Jane membuka dashboard dengan terburu-buru, namun begitu membuka laci dashboard, ia melihat ada sebuket bunga mawar di dalam sana. Ia terpekik kaget dan melirik Gun yang sedang pura-pura melihat langit-langit mobil, tidak lagi panik dengan saos yang tumpah di kaosnya, dan terlihat senyum-senyum sendiri.

“Kak.” Jane menggoyang-goyangkan lengan Gun. “Kak, ini buat aku kan?” Gun menoleh, “Apaan sih kok manggil Kak? Kayak ke panitia ospek!” “Ihhhhh. Jawaaaaab. Ini buat aku kan?”

Gun tersenyum kecil, “Iyaaaaa.”

“Iiiihhhh! Dalam rangka apa?!!!!!!” Jane langsung melupakan tujuan awalnya mencari tisu dan mengambil buket mawar itu. Saat ia akan mencium bunganya, Jane menemukan sebuah kotak berwarna hijau ditengah-tengah, ia mendelik, mengedipkan mata, memastikan ia tidak keliru saat melihat label Tifanny & Co di atas kotak itu, Jane membuka isinya, sebuah kalung berbandul inisial namanya, J, yang berhari-hari lalu ia keluhkan ke Gun, pengen beli tapi mahal dan nggak punya uang gara-gara abis bolos nggak jaga toko satu minggu.

“AAAAAAAA APA INIIIIIIIII??!!!!!!!!”

Jane berteriak heboh sendiri, ia menggoyang-goyangkan lengan Gun lagi, sementara Gun cuma diem aja sambil senyum-senyum nggak jelas.

“Kak, jawab!”

“Gak mau jawab kalo kamu manggil aku Kak terus!”

“Yaudah terus manggilnya apa? Sayang? Pacaran aja belom.”

“Yaudah ayok.”

“Ayok apa?”

“Ayo pacaran.”

“Hah?”

Gun kemudian meletakkan kotak makannya,mengambil kotak kalung di tangan Jane, “Sini tak pakein,”

Jane mengangkat rambutnya, membiarkan Gun memasangkan kalung itu di lehernya, setelah selesai, Gun berbisik di telinga Jane, “Jadi pacarku, mau, ya.”

Jane menggigit bibir berusaha tidak teriak. Ia membalik badan, melihat Gun yang masih senyum-senyum sendiri lagi. “Hah?”

“Hah lagi. Kurang jelas? Aku udah ngomong di telingamu.”

“Nggak denger.”

Gun mengulangi kata-katanya, “Jane, aku mau kamu jadi pacarku. Gimana, terima gak? Kalo enggak, sini kalungnya balikin.”

“Eeeeeh!” Jane mengenggam kalungnya erat-erat. “Jangaaaan.”

“Berarti?”

Jane memutar mata, pura-pura berpikir, padahal sebenarnya ia sudah pengen berteriak bilang iya disini, biar orang satu parkiran tau dia ditembak sama Gun. Udah nunggu dari lama!

“Mau nggak?”

“Emmm. Gimana yaaaa.”

“Halah.” Gun menjambak pelan rambut Jane. “Kalo kamu bilang enggak, tak turunin disini lho kamu.”

“AAAA JANGAN!” Jane berteriak lagi. “Iya, mau.”

“Apa?” Gun pura-pura budek, “IYAAAA, MAUUUUU, KOKO GUN SAYAAAAAANG.” Jane akhirnya berteriak di telinga Gun, membuat Gun langsung membekap mulut Jane, “Ssst! Jangan teriak-teriak! Entar kedengeran tukang parkir!”

“Biarin! Biar semua orang tau kalo sekarang kita udah pacaran!” ucap Jane. Gun tertawa, “Terserah kamu, deh. Sekarang mana tisunya?”

“Kamu sengaja seh,” Jane melemparkan sekotak tisu pada Gun, “Yes! Kita jadian duluan sebelum Bright-Win! Jane 1 – 0 Bright!”

“Eh, tapi Ko, jangan ngomong siapa-siapa dulu gimana? Bright sek galau mampus, tuh. Aku takut arek e semakin depresi kalo tau kita pacaran tapi dia belum pacaran sama Win.”

Gun hanya mengangguk. “Iya gapapa. Aku sih santai aja, yang penting kan udah pacaran sama kamu.” Ia mengedipkan sebelah matanya pada Jane.

“YA TUHAAAN GENIT BANGET IH MALES!”

“Kan genit ke kamu doang, sayaaaang.”

“Tapi gemes.” Ucap Jane, “Cium jangan?”

ON CLOUD NINE – AN EPILOG

One year later.

Win menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin. Ia membetulkan letak rambutnya yang agak berantakan, kemudian membenahi pula baju berkerah yang ia gunakan untuk manggung pagi ini. Asik, udah rapi.

“Udeh, cakep.” Celetuk Harit sambil menepuk bahu Win. “Hadeeeuh. Mau ketemu siapa sih, cakep amat?” tambah Toptap. Win hanya cengengesan, “Kan mau ketemu jamet Inbox, Kak.”

“Jamet inbox tuh mau lu kucel, bau iler, belum mandi juga tetep tergila-gila sama lo, Win.” Kata Harit. Win tertawa, “Ke backstage yuk! Keburu Paduka Gulf marah-marah lagi.” Win kemudian mengambil microphone miliknya sendiri (sekarang udah bisa beli mic mahal yang bikin suaranya tambah yahud, cuy!) lalu mengajak kedua seniornya itu beranjak ke backstage sebelum diteriakin Gulf si manager galak (iya, Gulf masih tetep jahat sampe sekarang).

Setahun berlalu sejak Win menduduki posisi sebagai vokalis di Lights Down Low, dan sudah setahun pula karirnya di dunia entertainment mulai berjalan mulus bahkan cenderung menanjak. Sejak kejadian debutnya yang dipenuhi hujatan dari netizen dan membuatnya sedih dan sempat patah semangat, dari sana Win belajar bahwa dalam setiap perjalanan pasti ada proses. Tidak semuanya serta-merta sempurna dalam kedipan mata, semuanya butuh waktu.

Dalam setahun terakhir, Win sudah mengabdikan dirinya dengan sungguh-sungguh di Lights Down Low. Ia mengambil banyak kelas vokal tambahan, belajar menulis lagu, dan jika senggang, sesekali ia belajar piano bersama Toptap dan gitar dengan Harit. Di samping jadwal manggung Lights Down Low yang padat, Win juga menerima beberapa tawaran iklan dan juga menerima kesempatan untuk menjadi cameo di beberapa film. Ya meskipun bukan peran yang penting-penting sih, kadang cuma jadi penyanyi cafe yang manggung di scene romantis pemeran utama yang lagi lamaran, jadi stranger ganteng yang ditabrak sama pemeran utama cewek terus pemeran ceweknya akhirnya ditabrak mobil dan malah jatuh cinta sama pengemudinya, dan pernah juga dia dapet peran jadi anak anggota dewan yang ketahuan korupsi terus kabur ke luar negeri.

Ngomong-ngomong, anggota dewan, jadi inget seseorang. Kalo di pikiran Win sih, ya siapa lagi kalau bukan Pak Bri Caleg. Jadi….. tentang Bright, ya. Hubungan Win dan Bright memang masih berjalan seperti biasanya, sama seperti satu tahun lalu. Tetap dekat. Masih saling berbagi kabar tentang kegiatan sehari-hari. Sesekali makan siang atau makan malam bareng, sesekali juga nonton bioskop berdua. Sesekali juga saling main ke indekos masing-masing (meskipun akhirnya digangguin Gulf, Harit, Toptap, Janhae dan Ciize), yang jelas hubungan mereka berdua masih baik-baik saja.

Tapi memang belum beranjak ke tahap yang jauh lebih serius.

Win sadar kesibukan Bright di dunia politik sekarang memang mengurangi waktu mereka berdua untuk saling mengenal. Namun, di tengah-tengah itu semua, Win bersyukur Bright masih mau meluangkan waktu untuk bertemu, meskipun hanya sekedar 10 menit (yang di awal pertemuan mereka ia bilang itu bukan date), sekarang Bright sudah mau menyebutnya sebagai ‘date’ singkat. Dan by the way, Bright sudah bukan caleg lagi sekarang. Ia juga bukan anggota DPR RI. Bright kalah dalam putaran pileg tahun lalu. Kini, ia masih ada di Partai Banteng Merah, menjadi politisi muda yang gencar menggemborkan pentingnya generasi Z untuk mengatahui dan belajar politik.

Bright menyebut kekalahannya sebagai sebuah pembelajaran. Dia sendiri sadar bahwa dirinya masih belum ada pengalaman yang lebih di dunia politik, ia masih baru dan masih harus banyak berproses. Kekalahannya tidak serta-merta membuat Bright jatuh dan menyerah, justru kini ia sedang berjuang mencari banyak pengalaman dan juga menambah ilmu untuk kembali maju dalam pileg 4 tahun mendatang.

Win tidak habis kagum dengan pola berpikir dan sikap Bright yang pantang menyerah. Bright sudah banyak habis waktu, tenaga dan juga harta semasa kampanye tahun kemarin, namun saat ia kalah, tak sekalipun Win melihat Bright bersedih. Ia masih ingat ketika akhirnya proses perhitungan suara ditutup dan Bright tidak masuk dalam jajaran posisi teratas, laki-laki itu sama sekali tidak menunduk, melalui siaran langsung Partai Banteng Merah di salah satu stasiun televisi, Bright justru tersenyum lebar, bertepuk tangan paling keras untuk kolega-koleganya yang berhasil menduduki kursi dewan, dan dengan besar hati memberi selamat pada mereka semua. Win yang menonton siaran langsung itu bersama Gulf, Toptap dan Harit, melihat ketiga seniornya di band tadi menangis jelek. Bukan menangis gara-gara Bright kalah, tapi menangis melihat Bright yang tetap tegar meskipun sudah rugi bermiliar-miliar rupiah.

Win! Kalo Bright bangkrut please jangan tinggalin dia, ya!

Gulf sempat menawarkan Bright untuk kembali ke manajemen, bukan sebagai vokalis Lights Down Low lagi, tentunya. Tapi untuk menjadi penyanyi solo. Namun Bright menolak dengan halus. Ia berkata, bahwa ia masih mau berjuang untuk mengejar mimpinya di dunia politik, sampai ia bisa duduk di kursi dewan, menyampaikan aspirasi masyarakat dan menepis anggapan bahwa para anggota dewan itu hanya bisa duduk-duduk cantik sambil makan uang rakyat. Lagi-lagi Win nggak habis pikir, bisa ya ada orang yang segigih itu buat mimpinya sendiri. Kalo gini, gimana saya gak jatuh cinta pada Anda, Kakanda Bright?

“Win!”

Tepat sebelum Toptap membuka penampilan Lights Down Low pagi ini dengan denting pianonya, teriakan seseorang yang familiar memecah fokus Win. Ia mencari-cari asal suara tersebut, dan dari ratusan jamet Inbox di depannya, Win menemukan seseorang dengan setelan jas formal mengangkat poster wajahnya, tersenyum sambil melambaikan kedua tangannya, “Semangat Win!”

“BRI?!!! LU NGAPAIN GABUNG SAMA JAMET-JAMET INBOX?!”


Selesai membawakan dua buah lagu, Win buru-buru turun dari panggung, di backstage, ia melihat Bright sudah duduk di dalam tenda, didampingi Kapook di sampingnya, terlihat tengah ngobrol dengan King Nassar.

“… iya, kadang-kadang bisa kunjungan kerja ke luar negeri, gitu deh.”

“Aduh… Keren banget lo, anak muda!” Nassar menepuk-nepuk bahu Bright dengan bangga, kemudian ia menoleh saat Win mendekat.

“Yang ini, nih, anaknya?” Bright mengangguk sambil mengedipkan sebelah mata, Win bergidik ngeri. Ape nih?!

Nassar kemudian bertepuk tangan. “Halo, Win ganteng! Duet yuk, kapan-kapan! Nyanyi lagu gue tapi, yang ‘seperti mati lampuuuu, ya sayang~~’ bisa lah ya? Bisa laaaah, elu kan multitasking!”

“Multitalent, King.” Koreksi Kapook. “Oh iya, multitalent.” Nassar merangkul Win, “Eh Neng Kapook, fotoin saya sama Win, dong! Terus masukin Lambe Turah! Bilang kayak ‘Eh ape nih, ape nih? Desas-desus project baru, nih?!

Kapook tertawa, “Saya udah bukan admin Lambe Turah lagi, King!”

“Eleeeeh. Tapi situ masih kenal sama adminnya yang baru kan? Atau masukin ubur.ubur.com? Bebas gue mah, yang penting exposure, exposure! Mayan lah, gue mau pansos dikit ama Win, banyak dia sekarang followersnya!” seru Nassar.

“Yaudah, sini saya fotoin.” Kapook akhirnya berdiri dan mengambil tempat untuk memotret Nassar dan Win.

“Gimana nih, Win, gayanya?”

Win kebingungan ditodong King Nassar kayak gitu, ia menatap Bright meminta pertolongan, namun Bright hanya tertawa sendiri sambil merekam tingkah Win yang canggung di samping King Nassar.

“Woi, gimana Win?”

“Aduh, saya juga bingung, King! Gaya seperti mati lampu aja, gimana?”

“Lah, kagak punya gaya gue! Gue bukan anggota BTS, gak bisa bikin koreo!”

“Gini aja, gini!” Bright tiba-tiba menyela, ia membentuk simbol hati dengan ibu jari dan telunjuknya, “Gaya sarangheyo!”

“Oh ya, boleh, tuh boleh!” Nassar mengikuti bentuk jari yang dicontohkan Bright, kemudian berpose ke arah kamera. “Ayo, Win! Satu, dua, tiga, Saranghae!”


“Mas, saya tunggu di luar, ya.” Kapook berbisik pada Bright, kemudian ia tersenyum kecil pada Win, dan beranjak pergi, meninggalkan Bright dan Win berdua di dalam tenda artis. Win memasang wajah memelas pada Kapook, seakan mengatakan “jangan ditinggal berdua, mbak!” tapi Kapook cuek saja dan tetap melangkah keluar. Bukan apa, sih. Cuma Win udah lama enggak ketemu Bright gara-gara politisi itu habis kunjungan kerja ke Makassar sekitar satu minggu lebih. Sekarang, ngelihat Bright lagi setelah lama gak ketemu bikin Win mules kayak baru pertama kali kasmaran.

“Kok diem?” tanya Bright pada Win. “Emm….” Win gelagapan, ia mencari-cari benda di sekitarnya yang bisa ia gunakan sebagai bahan pembicaraan. “Udah makan?” Win mengulurkan sekotak food support dari fansnya pada Bright.

“Udah gue icipin semua tadi, waktu lo masih main game di panggung.” Jawab Bright. Win garuk-garuk kepala salah tingkah. “Kangen juga dapet food support, semenjak resign dari band, sekarang gak pernah ada yang ngirimin gue food support enak-enak kayak gini, dari partai dapetnya nasi kotak mulu.” Kata Bright, ia akhirnya mencomot juga kotak makan di tangan Win.

“Kan ada Mbak Kapook.” Ucap Win. “Minta dimasakin aja.”

“Orang dia masak air aja menguap semua satu panci,” gerutu Bright. “Kapan-kapan masakin gue, dong.” Win melongo, “Aku?” Bright menggangguk.

“Mending lo tanya dulu deh, gue bisa masak apa gak,” ucap Win. Bright tertawa, “Apapun yang lo bikin, gue pasti makan, kok. Gak peduli rasanya, yang penting effortnya. Kalo buat gue, lo pasti bakalan masak pake cinta kan?”

Win merasakan wajahnya menghangat, ia buru-buru buang muka, memalingkan pandangannya dari Bright. “Ih, kok salting?” Bright menarik lengan Win, “Win? Lihat gue, dong!”

“Gak mauuuuu.” Win tetap memalingkan wajahnya, “Malu.” Bright tertawa. “Duh, kita udah kenal setahun kok lo masih malu-malu aja.” Win tetap geleng-geleng kepala, “Malu, Bri!”

Hening sesaat. Win melebarkan telinga, ia tidak mendengar suara apapun dari Bright. Jangan-jangan gue ditinggal lagi?! Tapi ia takut kalo noleh, wajahnya masih merah. Akhirnya, Win memanggil nama Bright, “Bri?”

Tidak ada jawaban.

“Bri? Lo pergi, ya?”

Tetap tidak ada jawaban.

“Gue mau noleh, awas ya kalo lo ngagetin gue.”

Win akhirnya memutuskan untuk menoleh, dan benar saja, ia langsung terjengkang ke belakang, melihat Bright masih ada dibelakangnya, tapi kali ini ia berlutut dengan memasang wajah tengil, sambil membawa sekotak cincin.

“LO NGAPAIN?????!!!!!!” Win berteriak histeris.

“Gue mau nembak lo. Ternyata lo udah sadar diri buat lihat kebelakang, yaudah deh gue gausah tipu-tipu buat nyuruh lo balik badan,” jawab Bright santai.

Win masih melotot melihat Bright yang berlutut, tidak tahu harus berucap apa, jadi ia hanya mematung di depan Bright sambil menggigit bibir.

“Win, sama gue terus, ya? Mungkin gue emang belum jadi apa-apa, sih. Ibaratnya yaaa.. Di karir gue yang sekarang gue masih merintis. Belum sukses-sukses amat, nggak kaya-kaya amat. Tapi dengan lo… Gue ngerasa cukup, Win. Gue ngerasa hidup gue rasanya udah lengkap.”

Bright kemudian berdiri, ia mengambil cincin dalam kotak, dan melingkarkan di jari manis Win. Kemudian ia memandang telapak tangan Win lekat-lekat, mengamati cincin darinya yang sudah melekat secara sempurna di jari Win. Cup. Tiba-tiba Bright mencium punggung tangan Win tanpa aba-aba, membuat jantung Win rasanya langsung melorot jatuh ke bawah dan tidak kembali lagi.

“Gue nggak terima penolakan. Gue udah kalah pileg, gagal dapet kursi dewan, masa lo tega bikin gue kalah juga buat dapet kursi di hati lo, Win?”

Stress! Win rasanya ingin membekap mulut Bright sekarang juga. Please diem atau gue pingsan sekarang!

“Win, kok diem aja?”

“Katanya nggak terima penolakan?” balas Win, ia menatap balik mata Bright yang sedari tadi menghujam pandangannya.

“Ya tapi jawab, kek. Jangan diem. Gue kan jadi bingung lo seneng apa enggak gue tembak,” Si goblok masih nanya!

“Gak ada orang yang bisa menangin kursi di hati gue selain lo, Pak Bright. Dari dulu, dari awal dan selamanya, ini,” Win menunjuk jantungnya sendiri, “Cuma buat lo seorang,” Win ganti menunjuk jantung Bright, meletakkan telapak tangannya disana dan merasakan degup jantung Bright yang berdetak sangat kencang. “Wei, wei, santai dong!”

Bright menghela napas lega, ia menangkupkan tangannya di atas telapak tangan Win yang masih bersandar di dadanya, “Gue yang nembak tapi lo yang bikin gue deg-degan, Win!”

Win tertawa. “Eh Pak, lo gak mau ngajak gue nikah sekarang kan?” Bright mengernyitkan kening, “Kenapa gitu?” Win menunjuk baju Bright. “Itu lo udah pake jas. Kayak udah siap ke penghulu.”

“Ooh.” Bright kemudian memandang setelan outfitnya sendiri. “Iya juga, ya? Ya kalo lo mau sekarang, ayok, sih Win? Mas Mew aja yang jadi penghulunya.”

“JANGAN GILA!” Win berteriak. Kapan sih Bright bisa berhenti membuat pergerakan yang tiba-tiba?! “Aduh, jangan dulu deh, Mas. Belum siap, aku tuh.”

“Mas?” Bright tertawa, “Lu bener-bener minta dikawinin deh kalo manggil gue Mas.”

“Kalo Mbak Kapook yang manggil Mas, nggak pengen ngawinin?” tanya Win.

“Gak lah,” ucap Bright. “Kan gue cintanya sama lo doang,”

Win memukul lengan Bright pelan, “Gombal!”

“Win.”

“Hm?”

“Lo happy gak, sama gue?”

Win kemudian mengalungkan lengannya di leher Bright, ia menatap mata Bright lekat-lekat, “I've been on cloud nine ever since I met you, Bri.”

Then Bright kissed Win's lips quickly, biting his lips gently and passionately, followed by the beating of their hearts, the rhythm of love that had long been longed for.


On cloud nine; an idiom; meaning to; very happy, extremely happy because something very good has happened to you, if you say that someone is on cloud nine, you are emphasizing that they are very happy.